Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jawe

5 Mei 2017   18:13 Diperbarui: 5 Mei 2017   18:17 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sambungan dari: satu dan dua

Tentu di Kampung Suka Maju Maimunah jadi topik terpanas untuk digosipkan, terutama Perempuan. Ibu-ibu yang awalnya keselek terhadap Mantunya sedikit bisa bernapas lega. Karena sejelek-jeleknya tabiat istri anaknya, masih tergolong jauh dari Maimunah.

“Meski Siti suka cemberut. Tapi, ya suka memasak. Untunglah tidak kayak Mantu Buk Mamad.” Aku Ibu Ida pada sesama teman rumpinya.

Posisi Perempuan yang serupa Maimunah bisa sedikit menghibur diri. Karena ocehan mertua mulai sedikit gersang menimpa. Para mertua sedikit merasa puas terhadap Mantunya. Ya, masih bolehlah dibanding dengan Mantu Ibu Mamad yang telah divonis ‘Mantu terkutuk’ oleh mereka.

“Masih untung kamu! Coba kalau aku seperti Maimunah.” Kesal Mantu Ibu Ida. Tentu dalam hati, kalau tidak? Ah, bahaya. Pasalnya, Ibu Ida selalu merasa tidak puas dengan Mantunya. Ada-ada saja kesalahannya dan omelan mertuanya selalu di-loudspeaker. Jadi jelas memalukan jika itu terjadi.

Ibu Mamad yang sudah lama ngegalau sejak kehadiran Maimunah, kini suara-suara warga Kampung yang menyayangkan Maimunah terdengar deras ke telinganya. Selanjutnya suara itu menusuk-nusuk hatinya. Menambah beban rasa atas kegagalan misinya: ingin Maimunah menggantikan posisi pengurus rumah tangga sebelum Mantu selanjutnya hinggap dan ia bisa istirahat. Karena seliweran kata-kata yang kadang sampai melalui orang ketiga dan tak jarang langsung disampaikan padanya, ia anggap cemooh dan hinaan untuk menjatuhkan martabatnya—tidak bisa mengkudeta Mantu. Rasa di hati bertambah perih.

Ibu Mamad yang biasanya ceria bertetangga kini tidak lagi. Dari yang paling heboh bersuara jadi pendengar nanar setiap berintraksi. Gurat kesedihan selalu terpancar dari mukanya. Lain lagi tubuhnya semakin ringkih saja. Semua itu membenarkan kalau Ibu Mamad telah berubah seratus delapan puluh derajat atas kelakuan Maimunah.

Malu pada tetangga? Ya. Mertua mana yang tidak malu kalau orang-orang mengaggap Mantunya tidak pada umumnya? Apalagi perbedaan itu dianggap jelek dan juga digosipkan. Ibu Mamad merasa Mantunya bagian darinya. Sedih? Tepat sekali. Siapa pun pasti merasa demikian jika misi gagal total. Apalagi hendak berkuasa, eh balik dikuasai. Menyakitkan, bukan?

Tapi Ibu Mamad tidak tinggal diam. Selalu mencari solusi agar jadi pemenang. Begitu tipikalnya. Setelah gagal melobi Pak Mamad agar bertindak mencegat kelakuan Maimunah. Sekarang dengan perasaan akan mendapat kartu As ia meminta secercah harap melalui suami Maimunah, anaknya. Bukankah istri yang baik mendengarkan kata-kata suami? Begitu optimisnya.

Ibu Mamad mendapati Wanto sedang menikmati segelas Kopi di meja makan. Tidak ada Maimunah. Kesempatan yang baik meyampaikan maksudnya. Sebab siang hari Wanto tidak ada di rumah, kerja. Pergi pagi pulang sore, layaknya Maimunah—yang jadi Guru TK dan Kursus Komputer. Hari minggu saja libur, dan Maimunah juga ada, hingga tidak tepat menyampaikannya.

“Kenapa belum tidur?” Sapa Ibu Mamad.

“Belum ngantuk Bu.”

“Maimunah?”

“Udah dari tadi tidur Bu. Capek katanya.”

“O. Eh, Wan. Lihat ni,” Sambil menyodorkan tangan. “Otot-otot sudah mencuat keluar. Dagingnya juga sudah belel. Tulang pipi Ibu juga sudah menonjol. Ibu sudah tidak kuat lagi ngu... .”

“Lo, Ibu sakit? Ayo saya antar ke dokter.” Sambil kaget Wanto memotong penjelasan Ibunya.

“Ngak!—‘Siapa yang sakit? Pikirnya’—“Ibu hanya capek. Ingin istirahat. Itu saja.”

“Yah, Bu. Kirain?” Wanto lega. “Ya Ibu istirahat saja. Ini sudah malam. Saya juga sudah mau istirahat.”

“Hah! Bukan. Lama-lama kurang tanggap aja ko!” Suara Buk Mamad meninggi.

“Eeheeeem!” Pak Mamad sedari tadi tersenyum sendiri di ruang tamu menyimak pelobian istrinya. Terpaksa  berdehem kencang. Guna menegor Ibu Mamad yang semakin tak keruan.

“Tu, Bapak terganggu Bu. Jangan keras-keras ngomongnya.” Wanto menerangkan. Kemudian Pak Mamad lanjut menyelami Kitab Fikih yang tebal dihadapannya sambil menyimak obrolan anak-beranak itu di ruang dapur.

“Maksud Ibu,” Mulai menjelaskan. “Eh, ko sadar kan sudah jadi Aman Mayak1? Jadi,” Jeda sebentar dan melirik ke kamar Wanto, setelah merasa aman. “Ibu seharusnya sudah tidak lagi ngurusi rumah. Paham, kan?” Lanjutnya.

Wanto sudah tau maksud Ibunya. Kendati begitu, ia tetap bergeming. Memikirkan apa yang harus ia sampaikan. Ibu Mamad merasa pesimis melihat Wanto lemas. Seolah ia sudah paham harapannya akan tetap sirna.

“Bu, janji saya ke Maimunah kan begitu. Tidak melarangnya bekerja.” Dengan ekspresi ketidak berdayaan.

“Yang larang siapa Wan? Ya, Inen Mayak2 kerjanya setangah hari saja.” Bisiknya.

Memang air mata dianggap sebagai olah raga. Tapi tentu tidak ada orang yang ingin berolah raga dengan hati sesak. Ruang dapur yang berhadapan langsung dengan Kamar pengantin, membuat kucuran air mata merembes ke pipi Maimunah. Meski hanya sayup-sayup terdengar dari balik pintu, tapi jelas Ia mengarti maksud obrolan suami dan mertuanya. Baginya, keduanya sedang berusaha memarjinalkan impiannya: sebagai wanita karir.

Jam sudah menunjukkan angka sebelas, malam. Ia melihat Maimunah telah tidur pulas. Padahal belum. Sebelum ia merebahkan badan ia memanjatkan do’a. Salah satunya tentang titik terang masalah antara Ibu dan Istrinya. Setelahnya ia memejamkan mata.

“Belum tidur?” Wanto terbangun. Sesengukan Maimunah mengganggunya.

“Aku harus bagaimana bang? Aku punya impian.” Ia coba berkata sebaik mungkin. Berusaha tidak terlihat cengeng. Maimunah memang wanita kuat.

“Maksudnya?” Wanto bingung.”Kau sudah tau?”

“Aku sudah lama tau bang. Obrolan Ibu dan abang tadi bukan yang pertama. Tetangga juga sering menyampaikan. Semua memandang sinis padaku.”

“Tidak perlu diambil hati omongan tetangga.”

“Gak gitu bang. Lama kelamaan saya tidak enak sama Ibu. Abang tau kan? Aku bukan tidak ingin ngurusi rumah.”

“Nanti kujelaskan ke Ibu. Ibu pasti paham.”

“Aku juga tidak enak makan saja. Tidak pernah masak.”

“Terus?”

“Ya Abang cari solusi.”

Solusi? Ah, itu yang membuat Wanto pusing. Baginya itu ibarat buah simalakama dari kedua Wanita yang bersinggungan. Sulit mencari keadilan atau tidak ada yang merasa dirugikan bagi kedua Wanita yang ia hormati itu. Ia harus patuh pada Ibunya, jika tidak durhaka akan menimpa. Selain itu ia juga tidak bisa dipungkiri sangat mencintai istrinya. Siapa yang harus dikorbankan?

“Sabar. Badai pasti berlalu.”

“Sabar kata abang? Terus sampai kapan Ibu merasa tidak enak? Abang gak kasihan?”

Serentetan pertanyaan Maimunah menambah keruh sungai yang sedang tercemar.

“Terus bagaimana menurutmu?”

“Aku ingin segera Jawe3 bang?”

“Hah! Jawe?”

Wanto jelas tidak percaya solusi itu yang muncul dari istrinya. Karena ia tidak kepikiran melakukan Jawe secepat ini. Tidak ada rencana begitu. Ia merasa gagal atas salah satu niatnya bersegera menikah dulu: mengistirahatkan sementara Ibunya. Tapi, itu mungkin ada baiknya: beban ibunya akan berkurang meski batal istirahat dan Maimunah tidak baper dengan Ibunya. Terus apa tanggapan tetangga? Setidaknya akan berkurang dan lambat laun akan tenggelam.

Wanto pun mantap akan Jawe dengan keluarga Pak Mamad. Itu memang lebih baik, pikirnya.

Catatan:

[1] Aman Mayak: Sebutan untuk pengantin pria sampai sebelum memiliki buah hati.

[2] Inen Mayak: Sebutan untuk pengantin Wanita sampai sebelum memiliki buah hati.

[3] Jawe: perpindahan tempat/rumah indekos pengantin baru dengan orang tua/mertua. Lawanan kata jawe Urum.

Gayo Lues, 2017

Catatan penulis:

Sesekali perlu berkaca pada anak tidak terdidik

Tak apa dipandang hina demi pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun