Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi BTS BAKTI Kominfo: Ini yang Harus Diwaspadai Menkominfo Johnny Plate

26 Januari 2023   11:40 Diperbarui: 26 Januari 2023   11:42 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketidakprofesionalan jaksa dalam kedua kasus korupsi tersebut pastinya sulit dicerna oleh masyarakat awam. Sebaliknya, masyarakat awam pastinya dengan sangat mudah menangkap ketidakprofesionalan jaksa dalam menangani kedua kasus tersebut.

Dalam perkara korupsi Asabri, misalnya, masyarakat awam dengan mudah membaca adanya perbedaan antara pasal yang dituntutkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dan pasal yang didakwakan oleh JPU.

JPU dalam dakwaannya menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Heru Hidayat. Tetapi, pada penuntutan, JPU menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Padahal pasal yang dituntutkan JPU tersebut tidak bisa diterapkan untuk kedua kasus tindak pidana tersebut. Sebab, dalam putusannya yang dikeluarkan pada 25 Januari 2016, Mahkamah Konstitusi mencabut frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sementara, kerugian negara dalam kedua kasus ini masih berupa potensial loss, bukan faktual loss.

Dari kedua kasus yang menghebohkan itu, bisa disimpulkan bila kejaksaan tidak profesionalisme. 

Meski begitu, publik tidak boleh serta merta memberikan stempel negatif pada institusi kejaksaan. Sebab, mungkin atau tidak menutup kemungkinan bila ada faktor X yang memengaruhi jaksa dalam menangani kedua kasus tersebut. Salah satunya, faktor politik.

Dugaan Intervensi Politik

Adanya kemungkinan intervensi politik itu tampak pada penanganan kasus korupsi Jiwasraya. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menersangkakan seluruh yang terlubat, kecuali dari kelompok Bakrie.

Padahal, di grup perusahaan Bakrie ini, nilai nominalnya yang dibenamkan Jiwasraya mencapai Rp 3 triliun atau lebih besar dari yang dimainkan oleh Heru dan Benny. 

Transaksi saham PT Jiwasraya dengan grup Bakrie ini bermula dari repo atau repurchase agreement pada 2004-2006. Selama periode itu, kelompok Bakrie tercatat banyak mengejar pendanaan yang dilakukan dengan cara menggadaikan sahamnya lewat sejumlah perusahaan sekuritas. Dan, jika melihat milestone-nya, pada rentang periode tersebut PT Jiwasraya mengalami pembengkakan kerugian.  

Dalam kasus korupsi Jiwasraya, Kejaksaan Agung sama sekali tidak menyentuh kelompok Bakri. Jangankan dihadapkan di muka sidang, diperiksa pun tidak.

Menariknya, seolah ingin melindungi kelompok Bakrie, Kejaksaan Agung tidak memanggil atau memeriksa Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno. Padahal, dalam kasus ini, Rini adalah pihak pelapor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun