"Oke oke, " sahut Tuyul sambil menjentikkan jempol dan telunjuk tangan kanannya.
"Buzzzz ... "
Dalam sekejap semua berubah. Sekarang Cempluk berdiri di atas panggung yang tidak jauh dari Monas. Di depannya nampak lautan massa. Banyak di antaranya yang mengibarkan bendera berwarna-warni bertulskan kalimat suci. Warna-warni yang menjadi simbol perjuangan kaum LGBT.Â
Di atas panggung berderet belasan lelaki yang menggenakan kostum ala ulama. Seorang berkostum ala ulama membentangkan poster bertuliskan "Dukung Siapapun Lawan City. Biarpun Itu MU. #2019GantiJuara #2019LiverpoolJuara".
Tapi, sontak kegempiraannya lenyap begitu melihat kedatangan lelaki yang lebih gempal darinya. Lelaki itu berwajah bulat dan memakai kacamata. Nampak pula tahi lalat kecil di pipi kanannya.
Langsung saja Cempluk berkata kepada Tuyul. "Yul, permintaan kedua, hilangkan lelaki itu."
"Kamu gila apa? Satu permintaan hanya untuk menghilangkan lelaki itu."
"Dari pada gila beneran gara-gara mulutnya."
"Baiklah kalau begitu." Tuyul menyetujui.
Tuyul kembali merapal mantranya. Mulutnya komat-kamit. Matanya memejam. Satu menit dua menit. Sepuluh menit. Hampir dua puluh menit berlalu. Tubuh Tuyul mulai dibasahi keringat.