Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ketika Manusia Hidup di Bulan, Kalau Stres Healing ke Mana, Ya?

29 November 2022   21:40 Diperbarui: 3 Desember 2022   17:30 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memandang Bulan. (sumber foto: ThisIsEngineering/Pexels)

Manusia menjejakkan kaki di permukaan Bulan untuk pertama kalinya pada 20 Juli 1969. Misi Apollo 11 yang diinisiasi oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) itu menjadi tonggak sejarah ilmu antariksa.

Setelah itu ada lima misi pendaratan manusia ke satelit Bumi itu hingga tahun 1972 di mana semua astronot kembali ke Bumi dengan selamat. 

Misi-misi ke Bulan berikutnya hanya melintasi, meluncurkan orbiter, mendaratkan lander, serta mengambil sampel yang dilakukan tidak hanya oleh Amerika Serikat (AS) tapi juga sejumlah negara lain seperti Rusia, Eropa (EAS), Jepang dan China. (sumber: The Planetary Society)

Rabu 16 November 2022 lalu, NASA sukses meluncurkan misi Artemis 1 setelah mengalami empat kali penundaan. 

Misi nirawak dengan tujuan Bulan itu akan menjadi gerbang bagi misi Artemis di tahun 2024 yang rencananya akan membawa astronot kembali ke sana. Misi itu juga akan menjadi titik awal bagi misi pendaratan manusia ke permukaan planet Mars di tahun 2030an nanti.  

Baru-baru ini salah satu petinggi NASA dalam misi Artemis yang bernama Howard Hu mengatakan bahwa manusia bakal hidup di Bulan dalam waktu dekat (sumber: CNBC). Di sana manusia akan fokus pada riset ilmiah, memiliki habitat dan menjelajahi permukaan.

Kabar itu terdengar hebat, luar biasa, sangat menarik, tapi juga sekaligus menantang. Manusia bisa hidup di tengah hutan, di padang pasir yang kering dan tandus, atau di wilayah yang beku di Siberia atau Kutub Utara. Ini karena manusia memiliki daya adaptif, membuatnya bisa eksis bahkan di lingkungan yang terbilang ekstrim.

Tapi bagaimana bila manusia hidup di Bulan? Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia bahwa manusia akan hidup di planet lain. Bulan sendiri merupakan benda angkasa yang kering, tandus dan sunyi.

Tidak ada atmosfer di Bulan, juga sepertinya tidak ada oksigen dan air. Apabila manusia membuat koloni di sana, itu bakal menjadi tantangan baru dari segala tantangan hidup manusia.

Para astronot yang pernah mendarat di permukaan Bulan dalam enam misi Apollo antara tahun 1969 hingga 1972 adalah misi mampir belaka. 

Setelah mendarat, mereka melakukan moonwalk alias jalan-jalan, mengumpulkan data, loncat-loncat, mengambil sampel dan seterusnya selama beberapa jam sebelum kembali ke pesawat lagi menuju Bumi.

Nah, misi-misi Artemis berikutnya akan fokus pada rencana pendaratan manusia dan tinggal lebih lama. Misi berawak Artemis 2 di tahun 2024 menjadi semacam tahap studi kelayakan sebelum peluncuran misi berawak Artemis 3 di tahun 2025 nanti.

Artemis 3 berencana mendaratkan manusia ke Bulan, rencananya seorang wanita dan manusia kulit berwarna. Mereka akan bekerja di permukaan Bulan kira-kira 6,5 hari lamanya (sumber: NASA-Release 22-089).

Sudah diimpikan sejak abad ke-17

Rencana membangun koloni manusia di Bulan bakal memerlukan waktu bertahun-tahun lamanya. Bila rencana itu benar-benar terwujud, maka itu akan menjadi lompatan sangat besar dalam sejarah peradaban manusia yang tidak hanya mampu menaklukkan Bumi, tetapi juga Bulan dan tidak lama lagi planet Mars.

Omong-omong, angan-angan koloni manusia di Bulan pernah diutarakan oleh DR. John Wilkins, seorang cendekiawan Inggris, dalam bukunya yang terbit di tahun 1638 yang berjudul "A Discovery of a New World; or, A Discourse tending to Prove that 'tis probable there may be another habitable World in the Moon". 

Wilkins mengatakan bahwa suatu saat nanti manusia akan mampu mengarungi bintang-bintang. (sumber: AtlasObscura)

Tidak diketahui secara pasti bagaimana rupa koloni manusia di Bulan nanti. Belum ada informasi tentang bagaimana arsitektur bangunannya, bagaimana teknologi kendaraan yang akan digunakan, bagaimana sumber energi untuk semua pekerjaan yang dilakukan di sana, dan sebagainya.

Tetapi berkat film bergenre scifi, kita bisa mendapatkan gambaran mengenai wujud koloni manusia di permukaan Bulan. Film "2001: A Space Odyssey" (1968) misalnya, menggambarkan sebuah kota yang dibangun di bawah permukaan Bulan. 

Lalu film "Ad Astra" (2019) dimana kota-kota di Bulan dibangun di permukaan. Film "Iron Sky" (2012) menggambarkan tentang pangkalan NAZI yang sangat masif di sana.

Berikut adalah cuplikan film "2001: A Space Odyssey", tentang pendaratan sebuah pesawat shuttle Bumi-Bulan yang mendarat di suatu bandara di bawah permukaan Bulan.


Perjalanan dari Bumi ke Bulan

Meski tampak bulat bundar ketika purnama, Bulan adalah tempat yang sangat jauh. Dengan jarak 386 ribu kilometer atau 30 kali diameter Bumi.

Perjalanan Bumi-Bulan ditempuh selama maksimal 13 jam 39 menit menggunakan pesawat ulang-alik teknologi masa kini dengan kecepatan penuh 28.100 kilometer per jam. (sumber: Socratic)

Tentu saja pesawat ulang-alik tidak akan bisa mencapai Bulan. Bahan bakarnya sudah terkuras habis jauh sebelum sampai di orbit Bulan. Mesti ada teknologi pesawat yang lebih canggih untuk mempersingkat perjalanan ke Bulan.

Misi Artemis 1 menggunakan roket heavylift Space Launch System (SLS) yang merupakan roket terkuat di dunia saat ini dengan kecepatan kira-kira 24.500 mph atau sekira 39.000 km/jam. 

Tetapi roket itu cuma bertugas mengantarkan kapsul atau modul penumpang Orion CM-002 ke orbit Bumi. Selanjutnya kapsul itu mengarungi angkasa menuju Bulan dengan kecepatan kira-kira 371 mph atau 597 km/jam.

Kapsul Orion Artemis 1 sampai di orbit Bulan kira-kira seminggu setelah peluncuran. Apabila teknologi yang dipakai untuk Artemis 2 dan Artemis 3 sama, maka waktu yang diperlukan bagi kapsul Orion berawak untuk sampai ke orbit Bulan kurang lebih sama.

Sedangkan misi pendaratan pesawat dari orbit Bulan ke permukaan Bulan kira-kira memerlukan waktu kurang lebih 24 jam. Bila kita melihat data misi Apollo 11 Timeline, kapsul memerlukan waktu sekira 28 jam sejak masuk orbit Bulan hingga akhirnya mendarat di permulaan Bulan dengan selamat.

Berikut video live view wajah permukaan Bulan dari pesawat Orion yang merekamnya dari orbit Bulan.


Hujan meteorit dan tingkat radiasi yang tinggi, apakah Bulan sepenuhnya aman bagi manusia?

Lingkungan Bulan jauh lebih ekstrim daripada hutan rimba atau padang pasir. Dalam kondisi tandus dan tanpa oksigen, mustahil manusia bisa menetap di Bulan tanpa mengenakan spacesuit.

Begitu pula tanpa air dan makanan, mustahil manusia akan hidup di sana. Jadi manusia pertama yang menetap di sana akan membawa makanan dan minuman dari Bumi.

By the way, beberapa waktu lalu ada meme tentang warung pecel lele di Bulan yang membuat kita tergelak. Seandainya warung khas Lamongan, Jawa Timur itu eksis di Bulan, urusan ransum astronot yang bekerja di sana bukanlah menjadi persoalan.

Tapi lantas timbul pertanyaan, kok penjualnya bisa sampai sana? Yaaa, orang Indonesia kan sakti-sakti. Lha wong belanja baju saja ke matahari. Hehe... (Oops, maaf nyebut merek)  

Tetapi bila warung itu eksis di Bulan, pasti tidak akan beroperasi lama. Karena tidak ada atmosfer, permukaan Bulan kerap menjadi sasaran meteorit yang frekuensinya bisa mencapai 100 kali dalam sehari atau 33 ribu kali dalam setahun. (sumber: LiveScience)

Ukuran meteorit itu rata-rata sebesar bola pingpong. Ada juga yang berukuran besar akan tetapi itu jarang. 

Nah, meteorit-meteorit itu melesat ke permukaan Bulan dengan kecepatan antara 20 hingga 72 kilometer per detik, yang ketika mencapai permukaan Bulan menimbulkan ledakan yang kekuatannya setara dengan 3,2 kilogram dinamit.

Hasilnya, lihat saja permukaan Bulan yang penuh lubang-lubang alias bopeng-bopeng yang super duper lebar dimana-mana. Permukaan bulan ternyata tidak halus sebagaimana rayuan gombal dari seorang pria kepada wanita. Jadi, para wanita jangan lantas merona bila wajah Anda disamakan dengan Bulan. Hehe...


Oh ya, karena Bulan tidak memiliki atmosfer, maka level radiasi di permukaannya cukup tinggi. Dikutip dari ScienceAlert, paparan radiasi permukaan Bulan adalah 1.369 mikrosievert per hari atau 200 kali lebih tinggi daripada level radiasi di Bumi.

Lebih lanjut, ScienceAlert menjelaskan bahwa radiasi di permukaan Bulan berasal dari sinar kosmik galaksi, peristiwa partikel matahari yang sporadis (misalnya dari semburan matahari), dan sinar neutron dan gamma dari interaksi antara radiasi ruang angkasa dan tanah di permukaan bulan. Tanpa mengenakan pakaian astronot yang dirancang khusus, mustahil manusia bisa bertahan.

Suhu permukaan bulan juga menjadi tantangan besar. Laman Space.com menginformasikan bahwa suhu siang hari di Bulan adalah 120 derajat Celsius, sedangkan di malam hari temperaturnya minus 130 derajat. Siang hari di Bulan kira-kira setara dengan dua minggu waktu Bumi, begitu pula malam hari juga panjangnya sekira dua minggu.

Maka dari itu, misi Artemis 3 nanti juga bakal menitikberatakan pada safety atau keamanan astronot. Sepanjang manusia mengenakan spacesuit itu, para astronot dapat beraktivitas dengan aman dan leluasa di permukaan Bulan.

Mengenai lokasi pendaratan manusia di Bulan, bila misi Apollo dulu mendarat di sekitar khatulistiwa Bulan.

Maka Artemis 3 nanti akan mendarat di salah satu lokasi di Kutub Selatan. NASA telah memiliki daftar sejumlah kandidat lokasi yang memenuhi syarat, antara lain Faustini Rim A, Peak Near Shackleton dan Connecting Ridge.

Pemilihan Kutub Selatan sebagai landing site misi Artemis bukannya tanpa dasar. Sejumlah riset antariksa beberapa tahun lalu memberikan informasi penting mengenai kemungkinan adanya air di Kutub Selatan Bulan.

Universe Today pernah menceritakan tentang sebuah misi antariksa NASA ke Bulan tahun 1998 silam yang bernama Lunar Prospector yang mendeteksi adanya hidrogen dalam volume yang signifikan di sana. Bila ada hidrogen, ada kemungkinan terdapat air.

Ternyata temuan tersebut dikonfirmasi oleh misi NASA berikutnya yang bernama Lunar Crater Observation and Sensing Satellite (LCROSS) yang menjelajahi Kutub Selatan Bulan di tahun 2009 silam. 

Meski wahana itu rusak setelah menghantam kawah Cabeus, perangkatnya mendeteksi gas hidrogen, amonia dan metana serta sejumlah logam seperti sodium, merkuri dan perak.

Nah, tugas astronot dan perangkat robotika di misi Artemis 3 nanti antara lain memastikan kemungkinan adanya air di balik permukaan Bulan, apakah berupa zat cair atau deposit es. Mereka akan menggali titik-titik yang dideteksi oleh LCROSS demi senyawa paling penting bagi rencana koloni manusia di Bulan.

Kerja di bulan kalau stres healing-nya ke mana?

Ketika manusia bisa bekerja di Bulan suatu hari nanti, kondisi alam Bulan yang jauh berbeda dengan Bumi dikhawatirkan membuat stres. Bagaimana tidak stres, wong pemandangan di sana didominasi oleh tanah dan batuan putih dan langit yang hitam.

Ketika lunch break misalnya, kita tidak bisa seenaknya keluar gedung seperti di Bumi untuk sekadar membeli ayam geprek atau gado-gado. 

Sebelum keluar gedung, kita harus menggunakan spacesuit lengkap, memastikan tabung oksigen terisi penuh, membawa peralatan navigasi, dan lain-lain. Itu semua sangat merepotkan, padahal cuma keluar sebentar untuk membeli makan siang. Hehe..

Eh, tapi mana mungkin ada warung makan di Bulan? Semua ransum pastinya akan disediakan oleh pengelola koloni. 

Makanan bisa berasal dari Bumi yang dikemas sedemikian rupa agar tahan lama dan bisa dikonsumsi di angkasa, atau mungkin makanan yang diproduksi oleh perkebunan tertutup di Bulan.

Yang pasti kalau para pekerja di Bulan mengalami stres, tidak ada spot wisata untuk healing cantik di Bulan. Bagi orang Bumi yang pening sedikit langsung merencanakan jalan-jalan, hidup di Bulan bakal menjadi cobaan sangat berat.

Tidak mungkin ada taman atau kebun yang luas dengan rerumputan dan pepohonan rindang karena pertama, tidak ada atmosfer di Bulan. Oke bisa saja ada taman umum tertutup di dalam kubah dengan cahaya matahari buatan misalnya.

Tetapi itu akan mengorbankan space yang seharusnya bisa menjadi area untuk riset atau tempat tinggal manusia. Nah, ini berkaitan dengan alasan kedua dimana setiap meter persegi area di dalam bangunan koloni bakal punya price tag yang bisa jadi sangat tinggi.

Para arsitek akan merancang bangunan koloni manusia di Bulan (dan juga planet Mars dan mungkin planet-planet lainnya) dengan seefisien mungkin. Setiap meter persegi dirancang dengan melihat aspek fungsionalnya sehingga tidak ada space yang sia-sia.

Rasanya tidak bakal ada suara gemericik air sungai dan suara dedaunan yang bertabrakan ketika diterpa angin. Apalagi suara burung yang berkicau, kodok mengorek atau jangkrik mengerik.

Tidak mungkin ada sungai, danau atau pun kolam artifisial di Bulan. Air di Bulan akan sangat bernilai untuk kebutuhan manusia sehari-hari termasuk untuk sistem pendingin mesin-mesin yang dibangun di sana. Air limbah akan diproses dengan teknologi daur ulang tertentu agar dapat digunakan kembali.

Lantas, bagaimana cara orang-orang yang bekerja di Bulan melepas stres? Pintu kemana saja Doraemon? Hehe...

Teknologi VR (virtual reality) atau pun mixed reality (MR) yang diperkaya mungkin menjadi solusinya. Dengan perangkat tersebut, seseorang bisa travelling ke manapun tanpa perlu beranjak dari ruangan.

Bagi mereka yang rindu alam pedesaan di Bumi bisa memilih konten suasana alam desa yang hijau dan asri lengkap dengan suara-suara ASMR (autonomous sensory meridian response) yang dibutuhkan. Misalnya suara desiran angin yang berhembus, suara ranting pohon, suara gemericik air dan lain-lain.

Mungkin juga teknologi hologram dikembangkan sebagai sarana healing. Sebuah ruangan seukuran apartemen studio menampilkan video hologram hehijauan taman yang suasananya dibuat semirip mungkin dengan Bumi disertai suara-suara ASMR.

Teknologi VR/MR mungkin menjadi sarana healing di Bulan. (sumber foto: Brian Penny/Pixabay)
Teknologi VR/MR mungkin menjadi sarana healing di Bulan. (sumber foto: Brian Penny/Pixabay)

Bisa jadi dibangun sebuah mal untuk window shopping atau shopping beneran. Tidak semegah mal di Jakarta atau Surabaya, tapi bisa menjadi jujugan para pekerja di Bulan yang butuh tempat hiburan. 

Tenants di dalamnya mungkin akan memajang produk-produknya secara fisik, menggunakan hologram, atau pun menggunakan VR atau pun AR (augmented reality).

Atau mungkin seluruh bangunan mal menggunakan VR/MR yang hanya bisa dilihat lewat perangkat tertentu. Kalau malnya dibangun seratus persen dengan teknologi ini, maka jalan-jalannya harus menggunakan omnidirectional treadmill agar seseorang tidak berjalan kesana kemari lalu menabrak dinding ruangan atau orang lain.

Sarana telekomunikasi dengan koneksi yang lancar jaya juga pasti akan tersedia. Bila merasa kangen dengan orang-orang tercinta, ada fasilitas video call untuk mengobrol atau menumpahkan segala perasaan dan keluh kesah.

Sudah pasti semua aspek akan dipikirkan sedetail mungkin dalam rangka rencana pembangunan koloni manusia di angkasa. Saat ini mungkin semua itu masih ada di kepala para insinyur, arsitek, psikolog, sosiolog dan semua orang-orang yang dilibatkan dalam rencana tersebut.

Bagaimanapun, orang-orang yang bekerja di Bulan adalah manusia. Meski tinggal di tempat nun jauh di angkasa, mereka tetaplah manusia Bumi dengan segala pola pikir mereka, cara hidup dan kebiasaannya, termasuk kebutuhan healing ketika penat bekerja.

Tapi lama-lama manusia akan mampu beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di Bulan. Manusia adalah makhluk paling adaptif di Bumi, rasanya mereka akan mampu beradaptasi dengan lingkungan Bulan... dan kelak juga di planet-planet lainnya.

***

Bacaan:
NASA Artemis 1 
NASA Blog 
Space.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun