Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga dan Gawai, Situasi Dilematis Keluarga Masa Kini

17 Oktober 2019   13:31 Diperbarui: 17 Oktober 2019   13:41 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: Vulture.com)

Jelang akhir pekan, apakah Anda sudah punya rencana menghabiskan akhir pekan bersama keluarga? Mungkin ada yang ke luar kota menikmati alam pegunungan, atau mungkin ke pantai menikmati debur ombak?

Atau mungkin ada yang lebih senang keliling kota saja mengunjugi spot wisata kota misalnya taman kota, museum, mall atau kebun binatang? Atau cuma kulineran saja di tempat biasa atau tempat baru mencoba menu-menu baru yang belum pernah dicoba?

Semua rencana itu boleh-boleh saja, disesuaikan pula dengan bujet yang tersedia. Tetapi yang paling penting adalah kualitas kebersamaan antara anggota keluarga tercapai. Jangan sampai kebersamaan bersama keluarga di akhir pekan diusik oleh yang namanya... gadget atau gawai.  

Ya, gawai punya potensi merusak kebersamaan keluarga ketika sedang menikmati kebersamaan di akhir pekan. Apalagi bila ada anggota keluarga yang sudah terpapar "penyakit" fear of missing out alias FOMO. Ulasan tentang FOMO bisa Anda baca lewat sebuah tulisan dari Kompasianer Syaiful W. Harahap di tautan ini.

Biasanya orang yang terkena "penyakit" ini tidak mau ketinggalan informasi terkini alias selalu ingin up to date sampai-sampai pola tidurnya terganggu. Ia merasa harus tahu apa yang sedang viral saat ini. Indikasi orang yang terkena "penyakit" ini biasanya pagi-pagi ketika bangun tidur hal pertama yang dicari adalah gawainya. Sepanjang hari juga tidak bisa lepas dari gawai. Sebelum tidur malam pun masih juga sibuk dengan gawai.

Kepala orang yang punya "penyakit" ini sering menunduk menatap gawai. Ia juga cenderung kurang fokus ketika ngobrol karena pikirannya telah "tertambat" pada gawainya. Bila baterai gawai lemah suka cemas bahkan uring-uringan.

Sangat disayangkan sebagian masyarakat Indonesia semakin terninabobokan dengan kepemilikan gawai sehingga lupa dengan orang di sekitarnya. Hang out dengan sejumlah teman di sebuah resto pun tidak ada maknanya karena masing-masing sibuk dengan gawainya.

Tidak memedulikan teman-temannya tidak masalah. Tetapi bagaimana jika sedang bersama suami/istri dan anak-anak? Ternyata keluarga seperti itu ada dan mungkin ada di sekitar kita. Meskipun sebuah keluarga berkumpul bersama, tetapi jarang ada komunikasi diantara mereka karena masing-masing sibuk dengan gawainya.

Bila diantara anggota keluarga ada yang terkena "penyakit" FOMO, maka bukan dokter yang bisa mengobati, tetapi peraturan tegas dari sang kepala keluarga yaitu ayah. Misalnya, melarang semua anggota keluarga memakai gawai ketika berwisata atau makan-makan bersama.

Tetapi sayangnya, sebagian ayah tidak ada yang satu kata. Ada sebagian kepala keluarga yang terpapar "penyakit" FOMO ini. Karena ayah adalah figur panutan dalam keluarga, bila sang ayah terpapar FOMO alhasil masing-masing anggota keluarga juga memilih lebih dekat dengan gawainya.

Kalau sudah begitu, maka kebersamaan keluarga menjadi hambar. Percuma jauh-jauh ke luar kota, atau kulineran di restoran mahal kalau ternyata masing-masing anggota keluarga hanya menatap layar gawainya saja. Buang-buang uang, juga buang-buang waktu. Mending di rumah saja, rebahan sambil main gawai. Enak, tidak lelah di jalan juga.

Nah, tulisan ini ingin membagikan beberapa hasil pengamatan singkat yang mungkin dapat menjadi cermin bagi kita, terutama yang sudah membentuk keluarga, juga sebagai pengingat agar lebih memperkuat tali hubungan antar anggota keluarga.

Suatu ketika, di sebuah food court sebuah mal megah, saya mengamati sebuah keluarga yang nampak harmonis sedang menikmati makan siang mereka . Mereka adalah ayah, ibu dan ketiga anaknya yang masih kecil. Anak tertuanya kira-kira seusia SD, anak kedua juga sama dan anak bungsunya sepertinya masih TK.

Sepintas mereka sedang menikmati kebersamaan. Tetapi setelah saya amati, ternyata mereka sedang fokus dengan gawai masing-masing. Sang ayah sibuk tap-tap layar, mungkin sedang mengetikkan sesuatu di media sosial. Sekali waktu ia menelepon atau ditelepon oleh seseorang.

Anak pertama memegang komputer tablet sibuk bermain gim kesukaannya.. Begitu pula dengan anak kedua juga memegang sebuah ponsel pintar, sedang memainkan gim, sepertinya balap mobil. Si bungsu ternyata juga tak mau kalah. Ia juga memegang ponsel pintar menonton film kartun di YouTube.

Apa yang dilakukan sang ibu? Ternyata ia mati gaya alias tidak memegang gawai apapun. Ia memandang ketiga anaknya yang sibuk dengan gawainya dengan muka masam. Kadang pandangannya menerawang suasana food court. Sesekali sang ibu menyuapi si bungsu.

Sang ayah terlihat sibuk tap-tap layar gawainya, kadang berbicara lewat sambungan telepon. Kadang ada obrolan singkat diantara mereka tetapi ternyata itu cuma selingan beberapa detik saja. Selebihnya ya sibuk dengan gawainya.

Menurut saya, bila satu keluarga sedang berkumpul bersama, seharusnya lebih banyak ngobrolnya daripada fokus pada gawai. Ngobrol yang utama, gawai selingan saja. Bukan dibalik seperti itu.

Di waktu lainnya, di sebuah food court lainnya, saya mengamati sebuah keluarga sepasang suami istri dan kedua anak mereka yang kira-kira seusia SD dan SMP. Kali ini yang fokus pada gawai adalah sang ayah. Sang ibu dan kedua anak mereka nampak menikmati makanan mereka sambil sesekali ngobrol. Sang ayah juga ngobrol, tetapi dengan orang lain lewat telepon.

Saya amati dari awal duduk hingga beranjak pergi dari meja, sang ayah ngobrol lewat telepon tanpa henti. Saya bertanya dalam hati, ayah macam apa ini? Apa tidak bisa menunda telepon sampai di rumah atau waktu lain yang tidak mengganggu kebersamaan dengan keluarganya? Atau matikan saja dering ponselnya untuk sementara waktu hingga perhatiannya sepenuhnya tercurahkan buat keluarganya di akhir pekan.

***

Mungkin Anda pernah menjumpai keluarga yang seperti itu, atau mungkin Anda dan keluarga Anda punya kebiasaan seperti itu, niat berkumpul untuk menjalin kebersamaan nyatanya masing-masing sibuk dengan gawainya.

Padahal dalam membentuk keluarga ada komitmen besar untuk menjaga kebersamaan dan keharmonisan. Bahkan bila Anda dan pasangan belum berputera, atau berputera satu, dua, tiga, empat dan seterusnya, menjaga kebersamaan dan keharmonisan rumah tangga adalah hal utama.

Ada banyak pilihan untuk memperkuat kebersamaan bersama keluarga. Akhir pekan sudah pasti. Bonus hari libur bisa dimanfaatkan, misalnya libur tanggal merah, libur hari raya, libur sekolah anak-anak dan lain-lain.

Kebersamaan dengan keluarga bisa dilakukan sesuai kesepakatan sang ayah dan ibu, atau bisa juga melibatkan anak-anak. Bentuknya bisa macam-macam, misalnya berwisata ke kota lain, makan bersama di sebuah kafe outdoor di tepi hutan, atau sekadar ngemal atau nonton film di bioskop.

Tentang menonton film di bioskop, saya ingin membagikan cerita menarik. Ketika sedang menonton film keluarga di bioskop, ada sebuah keluarga yang duduk persis di belakang kursi kami. Sang anak, dari suaranya sepertinya seusia SD, nampaknya punya karakter selalu ingin tahu. Ia selalu bertanya kepada ayahnya tentang adegan-adegan dalam film.

Pada awalnya, saya merasa terganggu dengan obrolan mereka di saat saya sedang fokus pada film. Tetapi lama-lama saya tidak merasa terganggu, malah penasaran dengan pertanyaan sang anak selanjutnya. Sang anak mencecar sang ayah dengan pertanyaan-pertanyaan tentang adegan film. Hebatnya, sang ayah dengan sabar menjelaskannya.

Alhasil kegiatan saya pun terbagi menjadi dua yaitu menonton film dan mendengarkan percakapan seorang ayah dengan anaknya. Menarik sekali mendengarkan obrolan mereka yang semuanya tentang adegan dalam film. Kadang kalau volume suara sang anak meninggi, ayahnya mengingatkannya dengan "ssshhh...!" dengan suara pelan.

Hal seperti ini rasanya jarang kita temui (maksud saya komunikasi antara ayah dan anak itu, bukan mengobrol dalam bioskop. Bagaimanapun, di dalam bioskop kita harus senantiasa menjaga ketenangan). Padahal anak yang banyak tanya itu justru salah satu ciri anak cerdas. Kita semua ingin anak-anak kita cerdas tetapi sering kita justru enggan menanggapi pertanyaan mereka.

Mungkin karena rasa penasaran anak-anak tidak terjawab, mereka pun memakai gawai sebagai pelarian. Parahnya, orang tua juga lebih memilih gawai biar anak-anak tidak mengoceh. Kalau sudah kecanduan gawai, baru orang tua bingung. Hmmm...

Tentang gawai yang dipakai sang anak, lagi-lagi orang tua punya peran sebagai filter informasi. Apalagi di tengah maraknya disinformasi dan konten yang tidak pantas yang rentan dikonsumsi oleh anak-anak. Jadi, orang tua juga menjadi content curator yang  memandu anak-anak menemukan informasi atau konten yang sesuai, bukannya membiarkan anak-anak bebas memilih konten.

Lagi-lagi perlu ada komunikasi, perlu percakapan antara orang tua dan anak tentang konten yang tepat buat mereka. Bila tidak ada komunikasi antara anak dan orang tua, jangan salahkan mereka jika suatu saat konten negatif menyasar mereka. Apalagi bila mereka sudah terikat pada konten tersebut, susah untuk mengarahkannya kembali.

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

Begitu sepenggal lirik lagu "Harta Berharga" yang diciptakan oleh Harry Tjahjono dan almarhum Arswendo Atmowiloto untuk serial dan film keluarga terkenal "Keluarga Cemara". Lirik lagu tersebut sangat bermakna buat setiap keluarga dimanapun Anda berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun