Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Isu Corona Permudah Saya Lewati Perbatasan Israel

1 Maret 2020   00:56 Diperbarui: 1 Maret 2020   06:12 3169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stay Permit. Kertas pengganti stempel di paspor yang dikeluarkan Israel di Border Crossing Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)

Sehari sebelum masuk ke wilayah Israel, rencana untuk berziarah ke sejumlah lokasi di kawasan Palestina -- terutama ke Masjid Al Aqsha, Baitul Maqdis -- justru semakin samar. Hal itu dikarenakan munculnya rasa khawatir, tidak diizinkan melewati perbatasan Israel dan kemudian disuruh "balik kanan" lagi alias kembali ke Yordania.

Kenapa begitu? Karena pada Minggu, 23 Februari 2020 itu, cukup banyak berita yang disampaikan -- terutama oleh tour guide di Yordania -- bahwa Israel telah melarang kunjungan pendatang dari sejumlah negara. Alasannya jelas, untuk mengantisipasi wabah Virus Corona. 

Informasi yang berliweran pun selalu diaktualkan dari jam ke jam. Silih berganti kabar yang berdatangan itu, tanpa pernah saya bisa mengonfirmasi kebenarannya. Misalnya, mulai dari Israel yang konon telah mewajibkan para pendatang untuk mengenakan masker wajah, membawa cairan antiseptik pembunuh kuman, sampai kepada rekap sejumlah negara yang warganya dilarang berkunjung ke Israel.

Seingat saya, sejumlah negara yang warganya dilarang masuk ke Israel itu antara lain China, Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Tidak adanya nama Indonesia dalam daftar negara itu cukup melegakan hati. "Masih ada harapanlah bisa melewati perbatasan Israel," pikir saya. 

Sungai Yordan yang tidak lebar, dilintasan Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)
Sungai Yordan yang tidak lebar, dilintasan Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)

Rambu penunjuk arah di wilayah konflik. (Foto: Gapey Sandy)
Rambu penunjuk arah di wilayah konflik. (Foto: Gapey Sandy)

Esok harinya (Senin, 24 Februari 2020), kabar yang santer terdengar tambah membuat hati ciut. Bagaimana tidak? Israel dikabarkan telah menutup Kota Jericho (Yerikho). Artinya, orang asing dilarang berkunjung dan masuk ke kota yang terletak di tepi barat Sungai Yordan itu.

Terkait informasi penutupan Kota Jericho itu, saya sempat mencari informasinya melalui internet. Hasilnya, pengumuman resmi tentang penutupan Kota Jericho belum saya temukan.

Hanya saja, kepanikan Israel terhadap wabah Virus Corona memang benar-benar terasa. Apalagi beredar link berita di WhatsApp Group saya yang memuat berita mancanegara dari detik.com. Isinya? Mengutip Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang akan menunjuk tim menteri untuk menghadapi tantangan besar yaitu Virus Corona alias COVID-19.

Netanyahu menyatakan hal itu, menyusul adanya belasan anggota Shincheonji Church of Jesus asal Korea Selatan yang terpapar Virus Corona. Sebelumnya, mereka sempat melakukan tur ke sejumlah situs bersejarah Israel pada 8 hingga 15 Februari 2020. Hasil positif mereka terjangkit Virus Corona itu dipastikan sesudah mereka sampai kembali ke Korea Selatan.

Bagai kebakaran kippah (topi setengah bola yang biasa dikenakan warga Yahudi), Kementerian Kesehatan Israel langsung memerintahkan ratusan murid dikarantina lantaran dinilai telah sempat berdekatan dan melakukan kontak dengan anggota gereja dari Korea Selatan tadi.

Setali tiga uang, Kementerian Pendidikan Israel juga menegaskan, ratusan murid, belasan guru, dan penjaga sekolah diperintahkan tetap tinggal di rumah dan menjalani masa observasi selama 14 hari.

Setidaknya, itulah momentum awal kepanikan Israel terhadap wabah Virus Corona!

Pos militer Israel di Border Crossing Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)
Pos militer Israel di Border Crossing Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)

Kepalang tanggung, pada hari yang sama, saya bersama rombongan sudah bergerak menuju King Hussein Bridge Border Crossing atau Allenby Bridge. Inilah jembatan yang menghubungkan Yordania dengan Israel. Kiri kanan jembatan diberi pagar besi bercat kuning nge-jreng. Jembatan ini melintas di atas Sungai Yordan.

Meski namanya begitu terkenal, tapi ternyata Sungai Yordan tidak sesuai bayangan saya. Karena dari atas jembatan saya bisa melihat kondisi sungainya tidak lebar, sedangkan di sisi kiri-kanannya dipenuhi tumbuhan semak belukar saja. Air sungainya pun tidak jernih alias hijau kecoklatan.

Tapi, bukan kondisi Sungai Yordan yang airnya mengalir ke Laut Mati (Dead Sea) itu yang jadi fokus perhatian saya. Melainkan rasa cemas, karena sudah harus meninggalkan Yordania dan sesaat lagi bersiap memasuki Pos Perbatasan Israel di Allenby Bridge.

Akhirnya Jembatan Allenby terlampaui, di sisi kanan saya pada bagian ujung pagar besi warna kuning itu, ada pos jaga Israel. Bangunannya sederhana dengan ditutupi kamuflase militer, dan didirikan di atas topangan silangan besi. Katakan saja ini menara pengawas dengan jendela kaca geser.

Sempat saya melihat seorang personel militer perempuan Israel turun dari pos jaga itu. Langkahnya satu demi satu. Kurang tegap tapi tetap dalam kondisi siaga dengan senjata mekanik diselempangkan ke badannya. Rambutnya pirang keemasan, lurus panjang dan dikuncir buntut kuda. Syukurlah, ia berjalan menjauh pos jaga yang artinya, menjauh juga dari kendaraan yang saya dan rombongan tumpangi.

Bus berhenti sesaat. Antri. Karena harus satu per satu administrasi kendaraannya harus diperiksa terlebih dahulu oleh aparat Israel, baik itu yang berpakaian sipil (umumnya berjaket warha hitam) maupun militer yang berseragam loreng coklat serta bersenjatakan lengkap.

Bendera Israel di border crossing Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)
Bendera Israel di border crossing Allenby Bridge. (Foto: Gapey Sandy)

Seingat saya, dua kali bus harus melewati pos pemeriksaan. Supir kami mengenakan masker. Para penumpang terutama yang duduk di kursi depan juga mengenakan masker. Sehingga personel border crossing dan militer Israel dari luar bisa melihat jelas, bahwa penumpang bus ini persiapannya cukup baik dalam mengantisipasi wabah Virus Corona. Semoga begitu, doa saya dalam hati.

Pos pertama berlalu sudah. Di pos kedua, entah apa yang dibicarakan antara supir bus dengan petugas border crossing dan juga sejumlah perseonel militer Israel. Alot juga kelihatannya. Sementara dari atas bus, kami hanya bisa melihat gerak-gerik diskusi tanpa bisa mendengar apa yang dibicarakan antar mereka. Doa makin nge-gas dipanjatkan.

Harapannya satu saja, jangan sampai kendaraan kami ditolak masuk ke wilayah Israel dan diwajibkan putar balik kanan alias pulang lagi ke Yordania. Ya Allah, beri kami kemudahan dan kesabaran menghadapi aparat Israel ini.

Cukup lama juga dialog supir dengan petugas jaga perbatasan di luar bus. Sampai akhirnya supir kami kembali naik dan menjalankan kendaraan maju perlahan-lahan. 

Setelah dirasa cukup aman, sang supir akhirnya menyampaikan kepada kami, bahwa bersyukur walhamdulilah kendaraan diperbolehkan melewati pos jaga border crossing dan diwajibkan untuk menuju ke semacam ruang (hall) kedatangan.

Sebelum sampai di hall, supir menjelaskan, personel militer Israel biasanya selalu naik ke atas bus untuk memeriksa seluruh paspor penumpang satu per satu. Tidak peduli memakan waktu berapa lama, tapi itu prosedur umum yang biasa dilakukan. Tapi perlakuan kali ini beda. Karena, petugas border crossing dan personel militer Israel memilih emoh naik ke dalam kendaraan kami untuk memeriksa paspor dan segala sesuatu yang mencurigakan.

Alasannya? "Mereka takut terinfeksi Virus Corona," kata supir bus kami sambil tertawa lega.

Saya dan penumpang kendaraan yang menyimak penuturan supir pun ikut berderai tawa. Lepaslah ketegangan. "Ternyata, militer Israel yang berseragam dan bersenjatakan lengkap itu takut masuk ke bus, takut sama Corona," seru salah seorang penumpang lain di bus.

Petugas jaga perbatasan dan personel militer Israel tak memeriksa sampai naik ke dalam kendaraan karena takut terinfeksi Virus Corona. (Foto: Gapey Sa
Petugas jaga perbatasan dan personel militer Israel tak memeriksa sampai naik ke dalam kendaraan karena takut terinfeksi Virus Corona. (Foto: Gapey Sa

Makan siang dan ngopi dengan latarbelakang Kota Jericho. (Foto: Gapey Sandy)
Makan siang dan ngopi dengan latarbelakang Kota Jericho. (Foto: Gapey Sandy)

Sebelum turun dari kendaraan, saya melihat jam digital di atas kursi supir. Waktu menunjukkan hampir jam 9 pagi, dengan suhu udara 13 derajat celsius. Cukup dingin untuk ukuran border crossing Allenby Bridge yang dikelilingi pebukitan batu dan berpasir gersang. Tak ada pohon rimbun, kecuali sejumlah bendera Israel dua garis biru dan Bintang Daud yang ditancapkan di beberapa puncak bukit.

Bangunan "Departure Hall 18" itu berbentuk setengah lingkaran. Ada teras halaman dengan kursi hitam di kiri kanannya. Ada empat pintu kaca dengan bagian tengah terbuka dan hanya ditutup tirai plastik tebal tembus pandang.

Proses administrasi dan keimigrasian di sini biasa saja. Sama seperti di keimigrasian lainnya. Mulai dari melewatkan tas dan koper ke dalam ban berjalan untuk dipantau bawang bawaan setiap orang melalui layar mesin komputer dan sebagainya.

Khusus untuk paspor juga telepon seluler, petugas imigrasi perempuan itu mengusap-usap menggunakan semacam tongkat yang ujungnya bundar seukuran tutup botol softdrink. Entahlah apa itu, tapi pastinya proses merupakan bagian dari tahap border control management (BCM).

Paspor hijau berlambang "Burung Garuda" saya tidak diberi cap oleh petugas imigrasi Israel. Sebagai gantinya, petugas memberikan kertas tipis kecil seukuran kartu nama berwarna biru pada bagian atasnya. Itulah kertas yang merupakan "State of Israel - Border Control".

Tulisan di kertas itu menunjukkan izin tinggal kita di Israel sampai kapan (Stay Permit Until), sekaligus pula ditegaskan bahwa izin tinggal sementara itu bukan sebagai izin untuk bekerja di wilayah hukum Israel (Not Permitted to Work).

By the way, nanti saat kita harus meninggalkan atau keluar dari wilayah perbatasan Israel, maka kertas tipis kecilnya akan diberikan kembali tapi yang berwarna merah pada bagian atasnya. Itulah kertas Exit Permit. Juga akan diberikan pula sobekan kertas tiket warna putih, bertuliskan "Allenby Terminal - Passenger Fee".

Rambu peringatan memasuki Area A. (Foto: Dina/UTM)
Rambu peringatan memasuki Area A. (Foto: Dina/UTM)

Pos militer Israel berada di mulut jalan atau area A atau wilayah otoritas dan dibawah kekuasaan Palestina. (Foto: Gapey Sandy)
Pos militer Israel berada di mulut jalan atau area A atau wilayah otoritas dan dibawah kekuasaan Palestina. (Foto: Gapey Sandy)

Berkali-kali supir kami mengingatkan, kertas tiket warna putih itu jangan sampai hilang. Karena kalau hilang, maka siapa saja harus bayar lagi US$50 atau sekira Rp715.000 untuk mengganti dengan yang baru. "No Card, No Go," kata supir.

Saat pemeriksaan paspor, petugas keimigrasian perempuan Israel menanyakan apakah dalam dua minggu ini saya pernah berkunjung ke China, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara yang dianggap sedang mewabah Virus COVID-19. Tentu saja jawaban saya adalah "No!"

Meskipun jujur saja, dari Jakarta saya sempat transit dulu di Changi, Singapura (Sabtu, 15 Februari 2020), untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.

Seorang penumpang yang terbaca ada tujuan transit di Changi, Singapura pun juga bisa menjelaskan kepada petugas imigrasi bahwa hal itu merupakan prosedur direct flight belaka. Alhamdulillah, petugas imigrasi Israel bisa memahami.

Singkat cerita, kendaraan yang saya tumpangi pun bisa meninggalkan Border Crossing Allenby Bridge. Melintasi wilayah Israel, dan saya kemudian bisa memahami bagaimana wilayah Palestina yang dikoyak-koyak dan dicaplok Israel terbagi-bagi menjadi wilayah berstatus A dan B.

Wilayah A -- biasanya selalu diberi papan besi informasi berwarna merah dan bertuliskan huruf putih pada setiap mulut jalan/area --, merupakan area yang dikuasai otoritas Palestina dan dibawah pengawasan militer Palestina.

Adapun tulisan putih pada papan besi merah itu adalah "This Road leads To Area "A" Under The Palestinian Authority. The Entrance For Israeli Citizens Is Forbidden, Dangerous To Your Lives And Is Against The Israeli Law". Tulisan itu dibuat dalam tiga bahasa: Ibrani, Arab, dan Inggris.

Sedangkan wilayah B untuk area yang dikuasai otoritas Israel dan dibawah pengawasan militer Zionis Israel.

Tembok perbatasan yang dibangun militer Israel, 'memenjarakan' warga masyarakat Palestina. (Foto: Gapey Sandy)
Tembok perbatasan yang dibangun militer Israel, 'memenjarakan' warga masyarakat Palestina. (Foto: Gapey Sandy)

Tembok perbatasan yang dibangun militer Israel, lengkap dengan menara pengawas militer siap menembak warga Palestina yang melanggar area. (Foto: Gapey Sandy)
Tembok perbatasan yang dibangun militer Israel, lengkap dengan menara pengawas militer siap menembak warga Palestina yang melanggar area. (Foto: Gapey Sandy)

Suatu kali saat hendak menuju wilayah B yang merupakan kawasan yang diklaim sebagai otoritas Israel, kendaraan yang saya tumpangi musti melewati pos penjagaan Israel yang ketat.

Tapi berkat supir kami yang pandai berdiplomasi, tak pernah ada personel militer Israel yang bersedia memeriksa ke atas bus. Alasannya sederhana, mereka tak sudi naik dan memeriksa penumpang satu per satu di dalam bus karena takut terinfeksi Virus Corona.

Di Palestina, saya menginap di salah satu hotel di Kota Ramallah yang merupakan ibu kota pemerintahan. Lokasinya ada di tengah Tepi Barat atau 10 kilometer sisi utara dari Kota Yerusalem. Sempat saya membaca The New York Times edisi Selasa, 25 Februari 2020. Di halaman 7 ada tulisan analisa jurnalis Ronny Linder yang diberi judul Israel's healthcare system isn't ready to cope with coronavirus. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun