Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Berkunjung ke Rumah Tempe Indonesia

18 Oktober 2015   11:04 Diperbarui: 27 Mei 2018   07:21 4171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak bisa dipungkiri, kacang kedelai yang banyak diserap pengrajin tempe dan tahu masih didominasi impor, terutama dari Amerika Serikat. RTI pun demikian. “Bahan baku yang digunakan di RTI tidak sepenuhnya impor, karena kita juga memakai kacang kedelai lokal organik. Produksi tempe RTI ada tiga tipe, yaitu: produk tempe super yang sudah pasti dibuat secara higienis dan ramah lingkungan dengan bahan baku kacang kedelai impor reguler GMO pilihan. Produk tempe premium dengan bahan baku kacang kedelai food grade non-GMO atau non-genetically modified. Dan, produk tempe organik yang berbahan baku kacang kedelai lokal organik dari petani organik dampingan di Komunitas Organik Indonesia (KOI),” jelas Ridha.

Selesai proses fermentasi, tinggal proses dianginkan dan kemudian siap dipasarkan. (Foto: Gapey Sandy)

RTI mengimpor kacang kedelai diantaranya dari Amerika Serikat. Ridha mengakui, fluktuasi kurs mata uang memang berpengaruh, tapi untuk saat ini harga pasar berjangka kacang kedelai mengalami penurunan. “Diakui, secara kurs memang terdampak bila dengan kenaikan dolar. Akibatnya harga kedelai di ritel alami kenaikan, tapi tak terlalu signifikan, hanya berkisar Rp 300 per kg. Atau, dari Rp 6.900 per kg menjadi Rp 7.200 per kg. Tapi, sekarang harga kedelai impor ini sudah turun lagi ke angka Rp 7.000-an per kg, lantaran dolar mulai jinak,” tuturnya.

Menurut Ridha, rata-rata pengrajin mengimpor kedelai jenis regular. “Sedangkan RTI, menggunakan kedelai impor jenis Identified Preservation (IP) Soy Bean, yang harganya dua kali lipat dari jenis regular, atau Rp 14.000 per kg. Karena, kita menjual tempe kepada segmen masyarakat menengah ke atas, sehingga kedelai yang dipergunakan adalah yang diatas rata-rata dari kualitas kedelai para pengrajin lainnya.” ujar pria berkacamata ini.

Tempe yang dijual oleh RTI, kata Ridha, sengaja tidak dijual ke pasar-pasar tradisional, karena tidak ingin ‘bertabrakan’ dengan pengrajin yang merupakan para anggota KOPTI itu sendiri. “Makanya, tempe RTI masuk ke supermarket dengan produk tempe premium dan produk yang menggunakan IP Soy Bean. Untuk yang premium ini harganya Rp 18 – 20.000 per kg. Kalau produk tempe yang menggunakan kedelai IP Soy Bean harganya Rp 35 – 40.000 per kg. Sebagai gambaran, untuk kedelai jenis IP Soy Bean yang kita beli ini dapat diketahui siapa yang menanam, bagaimana kualitasnya, dan bagaimana penanganannya sampai tiba di Indonesia,” urainya.

Tempe sudah siap dipasarkan. (Foto: Gapey Sandy)

Dengan kedelai yang masih impor dari Amerika Serikat, lantas bagaimana mewujudkan seruan kemandirian pangan bangsa terkait Hari Pangan Sedunia?

“Begini. RTI ini milik KOPTI yang tak lain adalah konsumen atau user kedelai. Sebenarnya, kalau ditanyakan mana yang lebih diinginkan, antara kedelai impor atau lokal, maka dari sisi konsumen, jawabannya adalah bukan darimana berasal, tapi apakah kualitas kedelainya memenuhi requirement atau tidak? Kebutuhan kedelai yang dibutuhkan pengrajin tahu dengan tempe itu agak berbeda karakteristiknya,” jawab Ridha.

Dari sisi konsumen, tegasnya lagi, tidak penting berasal darimana kedelai itu, tapi faktor yang jadi pertimbangan adalah soal ketersediaannya. “Boleh jadi, hari ini kita membuat tempe dari kedelai jenis A, tapi jangan sampai, minggu depan kedelai jenis A tidak ada di pasaran, lalu kita ubah dengan bahan baku kedelai jenis B. Bisa saja dilakukan, tapi akhirnya mengubah kualitas produk tempe. Ini yang jadi concern kita. Kalau ada kedelai lokal yang tersedia di pasaran dengan harga kompetitif, maka kita akan senang sekali menyerapnya. Tapi masalahnya, kita tidak pernah memperoleh kedelai lokal dengan kontinyuitas yang terjamin. Selain itu, kualitas kedelai juga tak terjamin. Biasanya, pengiriman pertama kita peroleh kedelai berkualitas, tapi pengiriman berikutnya menurun kualitasnya,” keluh Ridha.

Apakah tidak mungkin melakukan program petani binaan untuk menanam kacang kedelai oleh KOPTI? Lagi-lagi Ridha memaparkan kondisi memprihatinkan.

“Misalnya, untuk wilayah Bogor saja kita ini menyerap 200 ton kedelai per bulan. Andaikata produktivitas petani hanya 1,2 ton per hektar, bisa dihitung berapa luas lahan dan jumlah petani yang harus menanam kedelai untuk Bogor saja. Itulah masalahnya. Lahan dan jumlah petani kita sudah tidak cukup. Petani kita, mungkin lebih senang menanam jagung, singkong, komoditas lain yang harga jual hasil panennya lebih menguntungkan dibandingkan dengan menanam kedelai. Kalau pun disubsidi sebesar Rp 7.000 per kg sehingga sama dengan harga kedelai impor, tetap saja para petani masih merasa rugi,” terangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun