Mohon tunggu...
Ganjar Noor
Ganjar Noor Mohon Tunggu... -

Saya berprofesi sebagai penulis lagu & pemusik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Cinta Anak Domba di Jakarta

23 Juli 2018   23:43 Diperbarui: 25 Juli 2018   01:11 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen ini saya tulis tahun 1999, ketika kembali dari mengadu nasibku di jakarta

oooooooooo

Gim masih berjalan menyisir trotoar diantara lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan Tamrin Jakarta Pusat. Jalan tersebut seolah tidak pernah sepi walau kini jam sudah menunjukan hampir pukul sepuluh malam. Ia masih terus berjalan menduga-duga dimana tempat kawannya berada. Sebuah peta yang ditulisnya masih berada di tangannya.

Keringat dingin mulai keluar membasuh muka dan sekujur tubuhnya. Hawa malam itu cukup panas sekali. Ia pikir ini sebuah mimpi, tapi ia juga sadar bahwa sesuatu yang tengah terjadi adalah kenyataan. " Yah... aku tengah berada di kota Jakarta untuk mengadu nasibku," gerutunya dalam hati. Ia tidak habis bertanya-tanya dan ia merenung sambil memandang gedung-gedung megah pencakar langit dengan lampu-lampu kota yang begitu menyilaukan.

"Begitu megah kota ini, tak seperti di kotaku," begitulah gerutunya disela-sela perjalanan. Akhirnya ia meneruskan langkah kakinya menuju jalan sebelah kiri tepatnya jalan Kiayi Haji Wahid Hasyim. Beberapa ratus meter kedepan, ia melihat sebuah telepon umum. " kebetulan," pikirnya, sambil memutar nomor telepon yang dituju.

"Selamat malam ?" sapa Gim dengan sopannya.

"Malam, mau bicara dengan siapa, yah ?" sahut ibu sipenerima telepon ramah.

"Bisa bicara dengan Dani ?"  tanya Gim hati-hati.

" Dani, lagi ke luar ! tapi dia titip pesan kalo ada temenya dari Bandung, mohon tunggu aja. Begitu pesennya," sahut ibu penerima telepon tenang.

" Ya...bu, saya dengan Gim dari Bandung. Saya lagi berada di jalan Kiayi Haji Wahid Hasyim," timpal Gim.

" Oh.. sudah dekat. Tinggal belok aja ke kiri nanti tanya alamat ibu, Jl. Kebon Kacang 3, No. 15," sahutnya jelas. Gim menutup teleponnya dan meneruskan lagi langkahnya menuju alamat yang di tuju. Tidak kurang dari  1 Km, Gim sudah sampe di depan rumah yang dituju. Gim memencet bell dengan hati-hati. Lalu seorang remaja laki-laki keluar dari rumah dan membuka pintu pagar. Rupanya anak pemilik rumah. Gim bersalaman dan diajak masuk ke dalam.

" Ini, toch yang namanya, Gim ! kenalin nama saya ibu Ani, pemilik rumah kost-kostan ini," seru ibu Ani membuka obrolannya. Dia seperti menerima orang yang sudah lama dikenalnya. Dia juga bertanya tentang bagaimana kabar keluarga, dan tidak lupa bertanya tentang musim apa di Bandung. Dia juga bercerita tentang apa, seperti apa kehidupan di Jakarta, dan bagaimana semestinya..

" Di Jakarta itu individualistis, tidak perlu gengsi-gengsian, tidak perlu bertele-tele.. lakukan aja apa yang seharusnya dilakukan, jangan banyak melihat orang lain," begitu pesan bu Ani yang terngiang ditelinga Gim. Disela-sela obrolan, tiba-tiba bell berbunyi rupanya Dani baru pulang dengan teman-teman sekostannya.

" Hai, Gim ! dah lama ?" sahutnya setengah berteriak, sambil merangkul, Gim.. Lalu dia melanjutkan lagi obrolannya dengan Gim sambil memperkenalkan teman-teman penghuni sekostnya Narto, Dedi dan Keli.

" Temen-temen !!, ni Gim, besok mulai kerja di Jakarta. Gim sahabat gua waktu kuliah di Bandung, dia jagoan... termasuk jagoan ke cewek juga," seru Dani memperkenalkan Gim, diikuti dengan gelak tertawa semua yang hadir disitu, termasuk ibu kost dan anaknya. Merekapun sama-sama melanjutkan obrolannya hingga tak terasa jam sudah menunjukan pukul 01.00 malam, merekapun bergegas ke kamar masing-masing kecuali Gim yang masih numpang di kamar Dani. Malam kian larut hingga menuju pagi mengantarkan mereka terlelap di keheningan..

ooooooooooooo

Hidup adalah proses belajar, seperti halnya Gim, yang pertama kali memulai pekerjaannya sebagai supervisor di salah satu perusahaan department store yang berpusat di Jalan Kiayi Haji Wahid hasyim. Gim masih beruntung jika ia ternyata di terima menjadi salah seorang supervisor, padahal sewaktu melamar tak ada satupun teman-temannya yang diterima. Ia akhirnya menjalani proses belajar, hingga sedikit demi sedikit Gim tahu sistem dan mekanisme kerja sebagai supervisor.

Mula-mula ia dibimbing oleh managernya, lambat laun Gim dilepas untuk melakukan tugasnya sendiri tanpa harus bergantung. Ia mulai mengenal berbagai karakter orang-orang dan fungsi-fungsi kerjanya. Dari mulai cleaning service, pramuniaga, kasir sekuriti hingga managernya. Banyak sekali yang terlibat di departemen store tersebut  hingga total karyawan mencapai 300 orangan.

Belum sempat sebulan di Jakarta, seseorang staf administrasi yang familier bernama Rika mulai memperhatikan dan menawarkan waktunya untuk Gim. Disela-sela waktu istirahat Gim, Rika masuk ke ruangan Gim dan membuka pertanyaannya dengan ramah.

" Gimana, betah di Jakarta ?" tanyanya hati-hati.

" Ngak, ngak betah," sahut Gim singkat.

" Kenapa, gak betah ?" susul Rika heran.

" Panas dan asing aja," timpal Gim lugas.

" Kalo panas, iyah, biasa. Kalo asing, kenapa ? maksud bapak gak ada yang nemenin selama ini ?" Tanya Rika penuh perhatian.

" Bukan, maksudnya aku terasing dengan kehidupannya sangat berbeda dengan kota asalku. Aku melihat banyak hal yang aneh di Jakarta ini," papar Gim berusaha menjelaskan.

" Ah.. bapak, buat Rikamah gak ada yang aneh !" timpal Rika sambil tersenyum dan melanjutkan lagi pembicaraannya.

" Bapak sudah kemana, aja ? Rika mau temenin bapak jalan," tawarnya begitu membuat Gim terkesima.

" O, yah ! kebetulan belum kemana-mana. Rencananya tar udah Gajian, baru kemana-mana," papar Gim sambil tersenyum. Merekapun terhanyut dengan berbagai obrolan hingga tak terasa waktu berangsur senja.

ooooooooooooo

Jakarta begitu komplek dengan berbagai permasalahannya, terkadang Gim merasa kaget dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Seperti barusan yang terjadi diperjalanan, sebuah bis metro mini yang ditumpanginya di cegat oleh sekelompok anak sekolah yang rupanya lagi tawuran. Mereka pada naik bis dan sebagian tawuran di dalam bis, kernetpun membiarkan hal tersebut seolah-olah menutup mata dan mencari aman.

Para gelandangan dan pengemis banyak berkeliaran terutama di taman-taman dan kolong-kolong jembatan, aksi anarkis dan demo-demo begitu terlihat hampir tiap hari dengan tuntutan yang sama yaitu menuntut turunnya presiden dan wakil presiden pasca reformasi.

Ia juga melihat sesuatu yang lain, orang berciuman dipinggir jalan, di siang hari bolong. Inilah Jakarta yang sebagian kecil nampak terlihat oleh Gim. Gim merasa baru melihat banyak pemandangan yang terjadi di kota ini, sedangkan di Bandung, ia adalah lelaki yang kurang begitu bergaul. Ia tidak terlalu PD dengan segala hal, bahkan ia cenderung alim tidak banyak mengenal hal-hal yang dianggapnya di luar kebiasaan-kebiasaannya.

Malam minggu ini, suasana tampak cerah berhias bintang-bintang di langit yang mengangkangi kota Jakarta. Ia teringat akan keluarganya yang tengah berada di Bandung dan ia ingin segera menelpon ibunya di wartel. Lantas Gim beranjak ke luar tempat kostannya dan berpapasan di jalan dengan Dani.

" Mo, kemana, Gim ?" tanya Dani sambil menepuk bahu Gim.

" Ke wartel, baru pulang, Dan ? sapa Gim balik bertanya.

" Telepon siapa, loe ?" timpal Dani balik bertanya.

" Ibu, di Bandung," jawab Gim singkat.

" Nih, pake HP gua, lantas loe ganti pakaian nanti ikut ke acara gua," timpal Dani sambil menyodorkan HP-nya. Dengan segidang rasa rindu, lantas Gim menelpon ibunya karena sudah dua bulan tidak bertemu. Rindu akan ibu, rindu akan keluarga, rindu akan kota dan rindu akan teman-teman yang telah ditinggalkannya. Hanya satu pesan ibunya yang terngiang " Jangan lupa solat."

Danipun membawa Gim ke acaranya memakai taxi yang sebelumnya sudah di pesan via telepon. Kehidupan Dani terlihat sudah menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan hidup di Jakarta, sebab dia lebih dari tiga tahun hidup di Jakarta. Dani bekerja di perusahaan cargo bagian udara yang penghasilannya cukup memadai untuk tinggal dengan gaya hidup kelas menengah di Jakarta.

Sedangkan Gim, hanya berpenghasilan gaji, to. Tidak  lebih, bahkan pas-pasan untuk menambah uang kost dan makan sehari-hari saja. Itupun kadang-kadang tekor dan dipinjami Dani. Dani begitu peduli kepada Gim. Gaya bicara dan dandanan Dani terlihat selengean dan songong. Padahal cukup baik dan solider.

Setelah turun dari taxi, Dani dan Gim memasuki sebuah gedung megah yang berada di jalan Kuningan. Gim terheran-heran dan menduga-duga tempat apa yang akan di singgahinya itu. Sebelum masuk ke ruangan tersebut, Gim bertanya kepada Dani.

" Tempat apaan, ni, Dan ?"  sela Gim ditengah kerumunan orang yang datang.

" Ni, Resto and Caf," sahut Dani singkat. Rupanya Dani sudah janjian dengan dua orang cewek berdandan modis yang sudah terlebih dahulu ada di table paling belakang. Mereka terlihat cantik dan seksi dalam cahaya lampu remang. Keduanya merokok dengan asyiknya. Dani menghampiri kedua cewek tersebut lalu mereka saling berciuman pipi kiri dan pipi kanan. Kecuali Gim, Gim hanya bersalaman saja, karena ia belum pernah dan takterbiasa melakukan hal tersebut.

" Kenalin, sobat Gua, nih, dari Bandung. Ia belum lama di sini," papar Dani mengagetkan Gim. Gim tersenyum lalu kembali terdiam mengamati suasana yang baru saja di alaminya. Di Bandung, ia belum pernah menginjakan kakinya ke caf seperti ini. Lampu begitu redup redam menambah suasana. Belum habis Gim mengamati suasana sekitar, tiba-tiba Dani menawarkan sesuatu kepada Gim.

"Gim, pesen apa ?" tanya Dani membuat Gim tersadar dari pikirannya.

"Samain aja," timpal Gim. Belum lama kemudian disela-sela obrolan mereka, tiba-tiba waiter membawakan sajian yang di pesan. Kini dihadapan Gim ada sebuah makanan sekerat daging agak besar beralas hot plate dan batu kerikil bulat-bulat. Ia bertanya dalam hatinya, makanan apa ini ? halal atau haram ? gumamnya. Tiba-tiba Dani mengejutkan lagi Gim yang masih bingung.

"Ayo, makan Gim !" pinta Dani disusul dengan senyum kedua wanita itu. Gim memakannya sambil belajar dan menyembunyikan ketidak tahuannya. Live Musik mulai dimainkan oleh para pemain band yang konon katanya berasal dari Filipina. Orang mulai memberikan tepuk tangan dan bergoyang-goyang. Asyik... kelihatan asyik.. Termasuk Dani dan kedua cewek yang menemaninya.

Salah seorang diantara mereka menarik tangan Gim untuk berdiri dan berjoget-joget mengikuti irama lagu, tapi Gim tak kuasa dan menolaknya sebab ia memang terasing dan belum terbiasa. Begitu asing pengalaman Gim bersama Dani malam ini, tapi beginilah kenyataannya yang terjadi. Makan di caf ditemani dua wanita cantik-cantik. Begitulah Dani dengan gaya hidupnya. Sesampai di kostan, Gim bertanya pada Dani tentang siapa wanita tersebut, dan apa makanan tadi yang dipesannya.

"Dasar norak, loe Gim ! itu namanya Gonzales Beef. Dan perempuan tadi temen kencan gua. Eloemah, gak agresif, dah dibawain malah dibiarin.. Biayanya cukup mahal tahu !!" papar Dani. Gim merasa tidak percaya diri untuk membuka obrolannya dengan wanita yang dikenalkan Dani. Gim lebih memilih diam dari pada bertingkah salah. Menjelang tidur, Gim masih memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya, lantas Gim melangkah ke air untuk bergegas ngambil wudlu.

oooooooooooo

Setengah tahun kemudian, Gim masih merasakan keterasingannya di Jakarta. Ia sesungguhnya tidak betah dan ingin segera keluar dari tempat kerjanya, dan kembali ke kota Bandung yang melahirkannya. Tapi ia paksakan agar bisa bertahan lama dan berhasil hidup di Jakarta. Setiap waktu suntuknya, Ia hanya berjalan-jalan dipertokoan seputar block M, Pasar Minggu, Proyek Senen dan tempat tempat pariwisata seperti Ancol dan Ragunan. Kadang-kadang ia pulang ke Bandung menemui ibu dan keluarganya.

Satu malam Gimpun diajak oleh Dani, Narto, Dedi dan keli. Gim tidak diberi tahu kemana ia akan di bawa. Mereka hanya mengajak saja dengan perjanjian malam ini tidak ada yang diam di kostan. Semua harus pergi hiburan. Sebuah taxi membawa mereka ke arah jalan Mangga Besar. Tepat jam 11 malam, daerah itu masih rame oleh berbagai aktivitas.

Pedagang asongan, pengamen, peminta-minta hingga penjaja seks komersialpun terlihat begitu sibuk.  Mereka memasuki ruangan yang besar melebur diantara pengunjung-pengunjung lainnya. Gim merasa lebih terasing lagi memasuki suasana gedung yang hinggar binggar dengan musik yang memacu jantungnya. Ia baru tahu setelah ia membaca dari hall depan bahwa tempat yang dimasukinya itu adalah diskotik.

Gim makin heran setelah melihat kebanyakan orang di dalam berkaca mata hitam. Ia tidak habis pikir, kenapa seremang ini orang berkacamata hitam ? tapi ia menepiskan pertanyaan itu, ia memang norak, kampungan. Ia hanya tahu semua itu di televisi. Dani dan kawan-kawan sudah memilih salah satu table yang tidak jauh dari floor, sementara para pengunjung lain masih banyak yang berlalu lalang sambil bergoyang.

Gim berbeda dengan teman-temannya yang meminum berbagai minuman dari mulai bir, hingga minuman keras dan berkadar alkohol tinggi, Gim hanya meminum soft drink saja. Teman-temannya sudah turun ke floor, Gim malah diam di tablenya sendirian. Dipaksapun Gim tidak bisa, sebab dia benar-benar tidak pernah terbiasa. Rupannya seseorang memperhatikan Gim dari meja lain. Ia mendekat ke arah Gim dan bertanya.

" Kenapa diam aja, suntuk yah ?" pertanyaan tersebut membuat Gim kaget.

" Pengen diam aja," jawab Gim membuat cewek tersebut untuk terus berbicara.

" Boleh gabung ?" pinta cewek tersebut sopan.

" Boleh, silakan duduk ," ajak Gim singkat.

" Kenalkan, namaku Siska. Aku berdua dengan temanku yang di meja sana. Boleh dibawa kesini ?" pintanya dengan bahasa yang lembut namun terpatah-patah.

" Boleh, bawa aja, kami juga berempat, kok." Sela Gim.

" Yah, tahu. Dari tadi aku perhatikan. Temennya lagi pada di floor, kan ?" sela Siska.

" I yah, mereka lagi pada asyik." Jawab Gim seadanya. Sejenak Siskapun meninggakan Gim, lantas kembali membawa dua gelas dan satu botol minuman yang botolnya tampak unik. Siska mengenalkan temennya Hany, sambil menawari Gim untuk minum bersama.

" Minum bareng, yah ! ini minuman mahal dan hebat." tawarnya diselingi senyum yang begitu membuat Gim terkesima.

" Terimakasih, saya lagi minum es jeruk," tolak Gim dengan sopan. Siska heran dan saling memandang dengan Hany, lalu meneruskan pertanyaannya lagi.

" Jadi datang kesisini untuk apa kalo tidak minum ? orang datang kesini kebanyakan lagi suntuk dan ingin mengobati kesuntukannya dengan minum," paparnya panjang.

" Aku baru ke diskotik, temen-temenku yang ajak. Aku hanya nemenin mereka saja. Kita emang lagi suntuk sih," timpal Gim terus terang.

" Lucu. Masih ada di diskotik ini orang seperti kaka. Kaka nampaknya pendatang, yah ?" tannyanya menyelidik.

" Yah, aku dari Bandung. Baru setengah tahun ini di Jakarta," jawab Gim sambil tersenyum ramah.

" Oh.. pantesan, alem. Aku suka orang Bandung," timpal Siska sambil mengalungkan lengan di bahu Gim. Siska terus meminum minuman yang ada di gelasnya. Tampaknya Siska begitu nyaman ada disamping Gim, pikirnya seorang laki-laki yang berbeda dari yang lainnya ditempat itu. Dan Siskapun dalam waktu yang singkat berbicara tentang kegalauan hatinya dengan berbagai permasalahan yang tengah dihadapinya.

Begitu dalam cerita yang diutarakan Siska kepada Gim, begitu dalam juga wajah Siska terbenam di dadanya Gim. Gim, membiarkan semua itu, ia pikir menolong orang yang tengah butuh kasih sayang. Sementara Hany hanya bergoyang-goyang saja di samping table tempat Gim berada dengan Siska.

Musik house kini berganti dengan musik slow yang mendayu-dayu dan membuat orang makin terbuai dibuatnya. Dani, Narto, Dedi dan Keli, kini kembali menuju table semula. Mereka kaget campur senang melihat ada dua orang perempuan telah bergabung di tablenya. Gim memperkenalkan mereka kepada temen-temennya, sementara Siska tetap tidak ingin melepaskan tangannya untuk melepas tangan Gim. Satu malam yang berkesan pikir Gim.

Pengalaman baru yang tengah dialaminya, adalah pelajaran yang tak pernah sekalipun ia alami di Bandung. Ada suasana lain yang menyelimuti hati. Begitu damai begitu tenang dan begitu hangat. Pengalaman ini tak akan terlupa sampai kapanpun, hingga satu hari Gim kembali ke Bandung sekalipun. Akan tetap terbayang dan tetap abadi.

Beberapa hari kemudian stelah pertemuannya dengan Siska, mereka belum pernah bertemu lagi. Mereka hanya saling telepon disela-sela kesibukannya. Satu hari, Siskapun datang berkunjung ke kantor Gim, ada yang tidak pernah terbayangkan oleh Gim. Sebelum Siska pulang, satu kecupan di bibir Gim begitu terasa di siang hari bolong, ditengah lalu lalang orang di jalan. Gim heran, kenapa semua yang sebelumnya dianggap aneh bisa terjadi pada dirinya.

Sebulan kemudian setelah pertemuan dengan Siska, Gim merasakan jatuh cinta. Perasaan itu datang dengan tiba-tiba, dan tidak semestinya menurut akal Gim. Apa yang membuat kerinduan ini hadir ? padahal Gim terlalu alim untuk mencintai Siska. Tapi itulah kenyataan, hingga pada satu sore Dani memergoki tulisan Gim yang ditujukan untuk Siska, didalam buku hariannya. Dani membaca kalimat itu dengan hati-hati.

" Sis, aku tahu engkau berbeda dengan aku. Jauh jalan yang pernah engkau tempuh sejauh apa yang sering engkau lakukan. Aku ingin kau kembali kepada fitrahmu. Kembalilah bersamaku karna aku tulus dan jatuh cinta padamu," begitulah kalimat yang ditulis Gim.

" Hait... baca apa itu ?" sahut Gim memecah konsentrasi Dani.

" Gim, loe jatuh cinta ma Siska ? loe tahu bagaimana perempuan-perempuan seperti dia ? menurut gua, dia hanya mencari cinta sesaat saja. Gim, loe harus percaya apa yang gua omongin, gua cukup lama di Jakarta dan berpengalaman," sela Dani ditengah kebingungan Gim.

" Gak, semua perempuan diskotik seperti dia, Dan," sahut Gim menyela.

" Kita buktikan saja, benar pa tidak yang gua omongin, nanti gua ajak loe ke diskotik waktu kita ketemu ma Siska, ok !" tantang Dani. Ternyata apa yang diomongin Dani benar-benar terjadi. Gim dan Dani memergoki Siska tengah berada dipelukan laki-laki lain, sangat mesra.

" Nah, loe percaya kan, kalo perempuan-perempuan seperti dia hanya mencari cinta sesaat. Dia mempunyai banyak cinta, dia hanya dipermainkan oleh perasaannya, dan dia hanya ingin berlari dari kenyataan hidupnya. Semoga loe dapetin cewek yang baik-baik dan wajar-wajar saja. Mengenai maksud loe ingin menginsafkannya, lupakan. Dia tak akan insaf oleh orang lain, barangkali oleh ibu bapaknyapun, ia belum tentu insyaf. Apalagi oleh eloe, biarkan dia insyaf dengan sendirinya."papar Dani panjang dan lugas.

Gim membenarkan pula setelah melihat apa yang dibuktikannya terjadi. Sejak itu, Gim tidak pernah menelponnya lagi, sebelum ia mencintai lebih dalam, ia ingin berkata  " Selamat tinggal Siska... Sayangi dirimu sendiri," begitulah Gumam Gim dalam hatinya.

ooooooooooooo

Ketika istirahat siang, Gim tengah asyik makan di sebuah tempat makan biasa. Selain murah harganya, tempatnyapun terlihat bersih. Gim asyik dengan suapan-suapannya. Suasana tidak terlalu rame, mungkin karena pegawai lain sudah makan duluan, atau makan di tempat lain sesuai seleranya.

"Hai, bapak !" tiba-tiba suara Rika mengagetkan Gim.

" Hai, lagi ! makan, yo !!" ajak Gim singkat.

" Bapak, ada kabar baik untuk bapak ! bapak lagi diperhatikan oleh cewek cantik," sahutnya membuat Gim bingung.

" Siapa ? tanya Gim singkat.

" Mbak Wina, pak ! yang resepsionis kantor itu. Bapak merasa, gak.. kalo dia perhatiin ?" timpal Rika membuat Gim berdebar-debar.

" Gak mungkin, dia perhatiin aku. Dia banyak yang ngeceng, termasuk bapak manager kita kan, belum supervisor yang lain !!?" sanggah Gim sambil tertawa miring.

" Bapak, Rika deket ma mbak Win. Tentunya Rika lebih tahu gelagat mba Win sesama wanita. Taruhan !! kalo mbak Win gak suka, Rika bayar makan bapak siang ini, tapi kalo mba Win suka, traktir 10 kali makan Rika disini, ok ?" seru Rika begitu PD.

" Ok..! timpal Gim singkat. Suasana makan itu berlalu dengan berdebar-debar. Ia bertanya-tanya tentang kebenaran yang diceritakan Rika. Rasanya Gim ingin menepis pikiran-pikiran itu. " Gak mungkin, aku memang memuji dia. Aku akui dia cantik,  dia juga lembut, tapi gak mungkin Wina mau sama aku,"  begitulah Gumamnya.

Begitu jam pulang, Gim siap-siap bergegas pulang kekostanya. Tepat di pelataran parkir, Gim berpapasan dengan Wina, sesuatu yang kebetulan. Memang hari-hari sebelumnya, Wina sering turun dan berjalan-jalan di outlet bahkan Gim untuk yang kedua kalinya, Gim mengaping mencarikan suatu barang yang Wina cari. Gim mulai melempar senyum dan menyapa Wina dengan sopan.

" Pulang, mbak Win ?" tanya Gim.

" I yah, kok bilang mbak, sich ?" timpal Wina.

" Kan biasa juga aku bilang, mbak !" timpal Gim dibaringi senyum.

" Bilang Wina saja, yah," sahut Wina sambil tersenyum.

Sejak kejadian itu, Gim dengan Wina lebih akrab. Lebih banyak waktu mereka lalui bersama. Empat bulan mereka lalui dengan makan dan nonton film yang mereka anggap perlu. Isu mengenai hubungan antara Gim dengan Wina, mulai tersebar di outlet dan kantor pusat. Teman-teman Gim banyak yang memberikan selamat, termasuk pak Purnama managernya. Terlebih lagi Rika, Rika begitu bahagia karena dia merasa telah berhasil menjadi macomlangnya.

Akhirnya janji Gim dipenuhi dengan cara di rapelkan. Seratus ribu yang diberikan Gim, cukup untuk sepuluh kali mentraktir Rika makan siang. Padahal di balik itu Gim bingung. Pernyataan resmi belum ada dengan Wina, hingga pada suatu hari di sebuah halte bis tempat biasa Wina menunggu bis yang membawanya pulang ke Cijantung, Gim berkata sesuatu dengan hati-hati.

" Win, tahu gak, orang-orang toko nganggap kita pacaran ? sela Gim pelan-pelan.

" O..yah, terus Aa bilang gimana ?" tanya Wina menjurus.

" Aku senyum aja, gak jawab," balas Gim hati-hati.

" Kenapa senyum aja," timpal Wina singkat.

" Nanti, kalau A jawab, iya, Wina tersinggung, dan marah tidak menerima" sela Gim.

" Gak, Wina gak tersinggung, kok," timpal Wina sambil tersenyum manis.

" Serius ?" Gim balik Tanya.

" Serius !" jawab Wina tenang.

" Jadi kalo aku bilang bahwa Wina pacarku, kepada kawan-kawanku dan kepada dunia, Wina tidak keberatan ?" sela Gim, bersemangat. Wina menggelengkan mukanya, sambil tersenyum sangat manis, dan menarik lengan Gim untuk masuk ke dalam bis AC yang ditunggunya.

 " Win, aku mo dibawa kemana ? biasanya aku kan Cuma ngantar sampai ke halte saja," sanggah Gim setelah masuk ke dalam bis.

"Sekarang harus bertanggung jawab dan ikut sampe ke rumah," ajak Wina serius. Wina menarik Gim untuk duduk, Gimpun tak bisa menjawab lagi ketika Wina menjatuhkan pipinya di bahu Gim. Gimpun memegang tangan Wina dan mencium tangannya dengan hati-hati. Ada perasaan yang tidak terlukiskan indahnya ketika pertama kali saling memahami dan mengakui perasaan masing-masing.

Tak ada kebisingan, tak ada kegalauan, tak ada kepenatan semua terkubur perasaan bangga yang hari ini ternyata diketemukannya. Bagi Gim, Win adalah harapannya, Win adalah impiannya dan Win juga kekasihnya. Setahun sudah Gim dengan Wina berjalan sebagai kekasih. Hingga pada saatnya Gimpun pernah mambawanya ke Bandung dan diperkenalkan ke ibu dan keluarganya. Gim begitu serius dan bermaksud menikahi Win.

Begitu juga Win. Kedua-duanya sudah merencanakan pernikahan di tahun depan. Tetapi apa yang terjadi, pada satu hari di tempat kostnya Gim selesai mereka solat ashar, Win terlihat murung. Gim memaksanya untuk berbicara, Win tetap tidak berbicara. Akhirnya Winapun mau terbuka tentang mantan kekasihnya yang dulu memohon kepada ibunya untuk meminta kembali menikahi Wina.

" Wina tidak menghiraukan, tapi mama merasa bersalah terhadap mas Adi, mama pernah memutuskan Wina dengan mas Adi, hanya karena mas Adi menganggur waktu itu. Sekarang mas Adi sudah berhasil. Punya rumah, punya mobil dan tinggal satu saja yang belum ia penuhi," papar Wina terbata-bata.

" Apa yang belum ia penuhi ?" Tanya Gim penasaran.

" Mengawini Wina A," jawabnya membuat Gim tertunduk sekejap.

" Lantas tentang kita ?" tanya Gim spontan.

 " Wina juga bingung, A. Wina harus mengikuti keinginan mama sebagai ibu yang membesarkan Wina," timpalnya disertai mata yang sembab. Setelah Gim tampak berfikir, dan baru kali ini Gim tampak meneteskan airmata. Sepertinya akan rumit jalan yang ditempuh. Sedikitpun Gim tidak pernah memikirkan akan terjadi seperti ini.

" Wina gak tega menyakiti perasaan Aa, sekarang bawa Wina kemanapun a mau, asal Wina dapat jawaban yang tidak membingungkan bagi Win dan Aa," sela Wina sambil menangis.

" Maksudnya ?" tanya Gim spontan.

" Wina rela sebelum berpisah dengan A, sebelum nikah dengan mas Adi, Win memberi sesuatu yang berharga untuk A, Wina rela... " papar Wina sambil menangis.

" Tak mungkin, Win. Aku masih waras," tukas Gim menyadarkan Win, lalu melanjutkan lagi omongannya.

" Sekarang pulanglah ke rumahmu, ikutilah kemauan ibumu dan mas Adi, biarkan Aa disini bersama luka ini... Aa terbiasa dengan kesendirian, kesakitan dan keterasingan. Demi kebaikan, selamat jalan Winaku," papar Gim begitu terbata-bata.

Winapun hampir tidak sanggup berdiri. Pada akhirnya Gim menguatkannya. Gim tidak mungkin mengantarkan Wina, kalo hanya memperkeruh suasana saja. Gim akhirnya menelpon taxi yang akan mengantar Wina hingga ditujuan.

Dua bulan menjelang pernikahan Wina, Gim sudah berkemas untuk meninggalkan kota Jakarta yag pernah disinggahinya. Gim bertekad bulat untuk balik ke Bandung dan mencari penghidupan di Bandung.

Menjelang keberangkatan kereta api bisnis di stasiun Gambir, ia bergumam dalam hatinya, "aku hanya seekor anak domba yang tersesat di belantara sebuah megah kota, berlari-lari mengembik-embik dibalik bising raung mesin yang berasap racun, kusaksikan barat timur utara selatan bergelantungan gedung-gedung tinggi, sementara para urban lalu lalang dijalanan cari makan dan penghidupan, selamat tinggal Jakarta, selamat tinggal cinta, selamat tinggal Wina, selamat tinggal kenangan, dan aku tak ingin mendengar kabar apapun darimu." Begitulah gumamnya hingga kereta api mulai menandakan keberangkatan dan membawanya pulang ke Bandung.

ooooooooooooo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun