Mohon tunggu...
Gandung Adi Wibowo
Gandung Adi Wibowo Mohon Tunggu... Media & Technology Officer -

Library Curator | Digital Storyteller | Media & Technology Enthusiasm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukum Rimba ala Netizen

28 Desember 2017   23:46 Diperbarui: 29 Desember 2017   00:10 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Tetapi dengan berteriak mereka mendesak dan menuntut, supaya Ia disalibkan, dan akhirnya mereka menang dengan teriak mereka. Lukas 23:23

Masifnya suara orang-orang zaman itu yang akhirnya membuat Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan meski Pilatus tidak menemukan kesalahan apapun saat memeriksa Yesus. Hukum Rimba dimana siapa kuat, siapa berkuasa lah yang berhak memutuskan, sekarang pun dizaman digital dan serba modern ini muncul 'Hukum Rimba' ala netizen. "kok bisa kamu ngomong gitu, ndung?"

Media sosial yang awal kehadirannya sangat membantu kita untuk mendekatkan yang jauh, mencari anggota keluarga yang telah lama hilang, menjalin relasi antar manusia yang berjarak ribuan kilometer bahkan secara realtime dengan teks, gambar, suara, membuat media sosial cepat berkembang. 

Wajar saja karena kita adalah makhluk sosial yang mendambakan berinteraksi antar satu dengan yang lain, bisa karena kesamaan hobi, pekerjaan, atau lain-lain. 

Menjadi sebuah kebutuhan jika seseorang tidak memiliki media sosial (minimal facebook), menganggap seseorang itu alien karena gak up to datedan faktanya kebutuhan bermedia sosial ini dialami secara masif. Mau makan cekrek upload, lagi liburan cekrek upload, lagi lihat kakak adik yang boncengan naik motor cekrek upload.

Masifnya pengguna media sosial saat ini dengan berbagai kepentingannya (sosial, politik, ekonomi, dll) mampu membentuk 'Hutan Rimba' ala netizen. Ketika satu orang mengunggah sebuah konten yang DIPERCAYA benar dan diunggah ulang oleh orang lain yang memiliki kesamaan yang sama dan terus diunggah ulang secara masif, inilah yang akhirnya dipercaya sebagai kebenaran padahal belum melakukan cek sumber. 

Bukankah seharusnya yang benar yang dipercaya? Media sosial hanya wadah untuk mempertemukan dan mengeratkan antar persona, bukan malah jadi pusat perang maya yang berlanjut di dunia nyata dan impact nya terhadap emosi seseorang sangat terasa meski itu hanya di media sosial. 

Penafsiran yang berbeda oleh netizen menyebabkan misinformasi disinformasi  ini juga dilatar belakangi oleh netizen itu sendiri. Siapakah dia? Di lingkungan manakah dia tinggal? Pendidikan formal & informal sejauh apa? Pendidikan emosi seperti apa yang dia dapat?

Emosi yang tak terbendung berujung pada ujaran kebencian mulai berhamburan bahkan dengan semangat barbarian mengeluarkan kebencian berbau-bau sekte, meski pagar UU ITE sudah dibangun juga enggak mempan amat. 

Konsumsi publik pun disuguhi kebencian, fitnah dan juga ujaran-ujaran yang menyinggung orang lain. Namun ketika dihadapkan pada payung hukum, para pelaku ini mengajukan permintaan maaf dengan alasan isenglah, tidak pahamlah. Padahal waktu mengutarakannya dengan mantap dan percaya diri tanpa takut dengan hukum.

Mendengar dan menganalisis suatu konten perlu kita latih, terutama hasrat pribadi mulai dari hal-hal kecil seperti menahan reaksi dalam menganggapi opini publik karena akal sehat bisa tersesat dalam Hutan Rimba ala netizen. Mengolah emosi, naluri, intuisi, dan hasrat dalam bermedia, bukan tidak mungkin kita berkontribusi dalam mewujudnyatakan masyarakat digital Indonesia yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun