Dalam perjalanannya, Alan bahkan sampai mencari bibit Aloe Vera hingga ke Pontianak dan daerah di Jawa Timur. Ia ingin menemukan varietas unggul yang tidak hanya mampu menghasilkan panen berlimpah tapi juga yang berukuran jumbo.Â
Alhasil di tahun 2014, sebanyak 500 bibit pertama ia beli dan dikirimkan ke kampung halamannya. Jumlah ini bukan angka yang kecil. Untuk menanamnya, Alan meminta sang ibu, Sumarni, untuk membantu.Â
Itupun hanya separuhnya yang sanggup ditanam di halaman rumahnya. Selebihnya, bibit ini dibagikan secara gratis kepada sanak saudara dan tetangganya yang bersedia menanam lidah buaya.Â
Keraguan Warga Dibayar Tunai
Sayangnya, tak semua warga tertarik. Kebanyakan warga setempat hanya mengenal lidah buaya sebatas untuk mengobati luka atau perawatan rambut. Sedangkan jika seluruh lahan ditanami Lidah Buaya dan panennya banyak, siapa yang akan menampung?Â
Warga butuh bukti nyata, bukan sekadar janji. Seperti itulah setidaknya pikiran di benak para tetangganya pada saat itu.Â
Namun kemudian Alan berusaha keras untuk meyakinkan warga. Ia juga memastikan bahwa semua hasil panen lidah buaya yang ditanam warga akan dibeli seharga Rp.3000,- per kilogramnya.Â
Sambil menunggu masa panen, Alan tak berhenti melakukan uji coba membuat produk olahan dari lidah buaya. Produk pertama yang ia hasilkan adalah minuman ringan.Â
Ketika tiba masa panen, Alan mulai mengolahnya jadi minuman segar. Tapi masalah lain muncul. Saat itu minuman berbahan baku lidah buaya tersebut hanya dikemas dalam plastik dan diikat karet.Â
Alan menitipkan dagangan itu di warung dan juga pedagang sayur keliling.Â
Meski secara rasa cukup menyegarkan dan disukai banyak orang, namun secara tampilan masih kurang menggugah minat.Â