Gelombang demonstrasi yang meledak di Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya hingga Makassar dalam beberapa hari terakhir menjadi penanda ekspresi kemarahan rakyat mencapai titik didih. Apa yang semula merupakan aksi protes atas tuntutan ekonomi penghapusan sistem outsourcing, penolakan upah murah, dan keberatan atas kenaikan tunjangan DPR yang dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat kini melebur dengan ratapan publik atas ketidakadilan struktural yang dialami rakyat selama ini. Di Surabaya, misalnya, massa merangsek ke Gedung Negara Grahadi, membakar motor, dan berhadapan dengan aparat selama berjam-jam (NTVNews, 2025). Di Jakarta, demonstran bertahan hingga dini hari di depan DPR meskipun aparat berulang kali menembakkan gas air mata (Tempo, 2025). Di Bandung, mahasiswa dan buruh turun bersama, menutup jalan protokol kota, sementara di Makassar aksi berujung bentrokan dan pembakaran gedung DPRD (Liputan6, 2025).
Skala geografis dan keragaman aktor sosial menunjukkan bahwa ini bukan sekadar aksi terkoordinasi, melainkan akumulasi keresahan yang menemukan momentum. Ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi dan rasa ketidakadilan yang dipicu oleh kesenjangan antara pengorbanan rakyat sehari-hari dengan privilese yang dinikmati elite politik. Salah satunya kenaikan take home pay anggota DPR yang mencapai rerata 100 juta perbulan terjadi di tengah beban ekonomi dan pendapatan masyarakat menjadi simbol jurang ekonomi yang semakin menganga antara elit dan rakyatnya. Di dalam perspektif teori deprivasi relatif, simbol semacam ini tidak hanya mewakili ketimpangan material, tetapi juga rasa direndahkan secara kolektif oleh keputusan politik yang dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan publik (Gurr, 1970). Ketika simbol ketidakadilan ini diperkuat oleh narasi kesejahteraan yang tak kunjung terwujud, keresahan publik berubah menjadi kemarahan politik yang terorganisir (Tilly, 2004; Tarrow, 2011). Maka ruang publik cenderung beralih menjadi arena perlawanan, mulai media sosial sampai demonstrasi menjadi medium artikulasi kritik dan keresahan kolektif yang terakumulasi (grievances)terhadap sistem politik yang dianggap gagal memenuhi aspirasi rakyat (Habermas, 1989).
Akar Masalah
Ted Robert Gurr (1970) menjelaskan bahwa aksi massa sering kali muncul dari kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ketika orang percaya bahwa mereka berhak atas kondisi hidup lebih baik, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya, muncul rasa marah dan frustrasi. Masyarakat dihadapkan pada janji-janji kesejahteraan dan keadilan, namun realitas sehari-hari justru sebaliknya. Jika kita amati pasca Pemerintahan Prabowo - Gibran sejak Oktober 2024 bekerja dalam enam bulan terakhir, rakyat Indonesia menghadapi beban ekonomi seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sepanjang Januari–Juni 2025 terdapat lebih dari 92 ribu kasus PHK di berbagai sektor, dengan kontribusi terbesar dari industri padat karya seperti tekstil, konveks dan elektronik yang mengalami tekanan akibat lemahnya permintaan ekspor dan efisiensi produksi (CNBC Indonesia, 2025).
Kondisi ini melanjutkan tren sejak akhir 2024 ketika ribuan buruh mulai kehilangan pekerjaan di tengah perlambatan ekonomi domestik. Dampaknya, jutaan keluarga pekerja kehilangan sumber nafkah utama dan terjebak dalam kerentanan ekonomi, ditambah lagi dengan biaya hidup yang terus meningkat. Situasi ini menyebabkan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2025 mencapai 5,42% atau sekitar 7,8 juta orang, naik dibanding Agustus 2024 yang sebesar 5,32% (BPS, 2025). Naiknya pengangguran ini berhubungan erat dengan gelombang PHK dan lambatnya penciptaan lapangan kerja baru, terutama di sektor manufaktur dan jasa. Sedangkan beban ekonomi karema kenaikan harga kebutuhan pokok bergerak naik secara konsisten dalam beberapa bulan terakhir pada periode Mei–Agustus 2025, seperti beras yang pada Juli 2025 masih berada di atas Rp16.000 per kilogram—tidak kunjung turundengan variasi antar-provinsi yang cukup besar sehingga beban bagi rumah tangga miskin/menengah bawah meningkat (Katadata, 2025; Antara, 2025).
Beban rakyat semakin berat dengan kebijakan efisiensi pemerintah pusat yang berimplikasi pada kapasitas fiskal di tingkat daerah. Pada Agustus 2025, sejumlah kabupaten/kota memberlakukan penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan P-2 (Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan) dengan lonjakan yang sangat tinggi untuk menyiasati APBD. Di Kabupaten Pati misalnya, sejumlah kategori PBB P-2 naik ratusan persen, dari kisaran Rp30 ribu menjadi Rp 150–200 ribu per bidang tanah. Kondisi ini memicu protes petani dan warga, bahkan melahirkan demonstrasi lokal yang menuntut pembatalan kebijakan tersebut (Tempo.co, 2025; Kompas.tv, 2025). Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah juga mencatat bahwa tren kenaikan pajak daerah ini menambah keresahan masyarakat karena tidak diimbangi peningkatan kualitas pelayanan publik (KPPOD, 2025). Fenomena serupa terjadi di beberapa daerah lain seperti Bone, Cirebon dan Jombang, menimbulkan keresahan luas terhadap kebijakan pajak daerah (Kompas.tv, 2025; KPPOD, 2025).
Di dalam skala makro, ketimpangan ekonomi tetap menjadi persoalan struktural. Gini ratio Indonesia pada Maret 2025 tercatat di angka 0,379, naik dari 0,375 pada Maret 2024 yang menunjukkan jurang kesenjangan semakin melebar, khususnya antara kelompok 20% rumah tangga terkaya dan 40% terbawah (BPS, 2025b). Sementara laporan ketimpangan regional Bank Dunia juga menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dinikmati lebih banyak oleh kelompok menengah-atas di kota besar, sementara rumah tangga kelas pekerja dan petani terus tertinggal (World Bank, 2025). Bahkan, kajian regional menunjukkan kesenjangan lebih parah di kawasan perkotaan besar, di mana akses terhadap perumahan, pendidikan, dan pekerjaan jauh lebih terkonsentrasi pada kelompok menengah-atas (BPS, 2025).
Perilaku Elit Politik
Ironisnya di tengah problem struktural dan tekanan keseharian rakyat itu kinerja DPR pun belum menunjukkan keberpihakan nyata. Sejumlah RUU prioritas lain lebih sering tersendat karena tarik menarik kepentingan politik elit daripada urgensi publik. Di sisi lain kontroversi tunjangan dan gaji DPR mendapatkan kritikan tajam dari publik, karena dianggap tidak sejalan dengan kinerja dan kondisi rakyat yang sedang menanggung krisis harga dan ancaman PHK massal (CNN Indonesia, 2025). Alih-alih memperjuangkan agenda-agenda substantif, para legisalor DPR justru tidak menunjukkan empati dan etika politik mulai dari joget setelah sidang tahunan 15 Agustus 2025 dan yang paling kontroversi pernyataan kasar Ahmad Syahroni (Partai Nasdem) yang menyebut publik “tolol” ketika menanggapi tuntutan agar DPR di bubarkan saja (Detik.com, 2025).
Di ruang eksekutif sendiri, Presiden Prabowo Subianto justru membuka panggung penghormatan yang menuai kontroversi. Pada 25 Agustus 2025, di Istana Negara, beliau menganugerahkan Bintang Mahaputera Adipradana dan Bintang Republik Indonesia kepada 141 tokoh nasional yang dianggap berjasa. Di antaranya sosok mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, yang pernah divonis lima tahun penjara karena kasus korupsi aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan dana Rp100 miliar dari BI ke DPR (JawaPos, 2025). Sedangkan beberapa nama-nama menteri dari Kabinet Merah Putih yang memperoleh penghargaan bahkan dianggap belum pantas menerima gelar tinggi karena kinerja kementeriannya jauh dari harapan. Kritik menyoroti bahwa dalam kondisi masyarakat tercekik harga-harga bahan pokok, lapangan kerja, dan konflik agraria simbol penghargaan ini terasa seperti pemisahan tajam antara elite yang dihargai dan rakyat yang diinjak