Pagi itu kami bertemu Chris, dia yang mengajak kami jalan-jalan keliling tempat-tempat yang sering dikunjungi gelandangan di Hamburg.
Di tiap titik dia berhenti dan menceritakan apa yang biasa terjadi di sana. Aku pandangi tour guide kami itu.
Mulai dari topi, jaket sampai sepatunya bermerk. Walau terlihat lusuh, aku yakin, Chris pengen tampil keren, walau pernah menjadi gelandangan di Hamburg.
Sekarang, ia tinggal serumah dengan pacarnya. Itu si perempuan yang selalu memberinya roti di toko roti langganannya. Saking seringnya beli roti, mereka jatuh cinta.
Belakangan si penjual roti kena kanker, berhenti bekerja, sekarat hingga Chris berniat merawatnya. Nggak terasa titikan air mata kami berjatuhan waktu dia cerita. Bermula dari kisahnya menjadi gelandangan sampai happy ending dengan cintanya ini.
Dari caranya memandu kami, menceritakan kisahnya dan kisah para gelandangan, aku yakin banget si Chris punya pengalaman hidup yang bersantan dan bakat public speaking yang bagus. Sampai saat kami datang, ia masih disekolahkan oleh pemda setempat, supaya bahasa Jermannya tambah tinggi dan bagus.
Sebelum berpisah, kami membeli buku "Ueber Leben auf der Strasse", yang ia tulis bersama para gelandangan di Hamburg. Ini atas prakarsa Hinz & Kunzt, lembaga yang membantu gelandangan di sana.
Sebagai rasa simpati, kami membayar lebih dari 3,50 Euro (Rp 56.000). Ada yang 5 euro, ada yang 10 euro, ada yang 15 euro.
Terkuak sudah rahasia gelandangan di Hamburg! Berikut hal-hal yang menarik dan bisa kamu ketahui tanpa ke sana:
Mengapa gelandangan Hamburg selalu memakai jaket di semua musim?