Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menengok Kehidupan dan Keindahan Negeri Seribu Cahaya

20 Maret 2018   14:19 Diperbarui: 20 Maret 2018   18:25 2274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.shahrekhabar.com

Sudah 74 kali suami saya pergi ke Pakistan, mengapa saya belum pernah sekalipun ke sana? Apa saja yang dikerjakan selama bekerja di sana? Bagaimana dengan keselamatannya? Apa yang dia lihat dan rasakan selama tinggal? Bagaimana masyarakat dan budaya yang ada? Saya ingin tahu. Saya ingin ke sana. Begitu ucap saya berkali-kali. Tetapi tentu saja itu tidak mudah karena dulu waktu di Indonesia suka menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan dan saat hidup di Jerman semua harus dikerjakan sendiri "home alone." Sayapun jadi sering nyanyi "Impossible" punya James Arthur.

Tuhan memang Maha Mendengar. Tahun 2018 jadi saat yang tepat karena selain bos besar sendiri yang meminta bahwa saya harus ikut, anak-anak sudah besar dan sudah bisa ditinggal atau dititipkan dalam jangka waktu lama. Biasanya kalau suami pergi ke luar negeri/luar kota/luar rumah, saya jaga rumah. Begitu sebaliknya. Selalu ada yang mengawasi mereka secara pribadi. Yup, akhirnya, saatnya saya terbang bersama suami ke Pakistan.

Nah, sampai hari ini sudah hampir seminggu saya berada di Pakistan. Negara yang penduduknya sudah mencapai 200 jutaan orang itu hampir mirip dengan Indonesia tapi tentu sangat jauuuh berbeda dengan Jerman, tanah kedua saya.

Sebagai negara yang baru merdeka tahun 1947, negaranya memang sedang giat berkembang. Pembangunan di sana-sini adalah sebuah prestasi yang bukan main-main. Hanya saja, perasaan selalu pengen nangis melihat begitu banyak masyarakat yang masih ada di bawah garis kemiskinan, selalu hadir di hati. Sungguh melankolis. Saya bisa apa?

Paspor Hijau susah travel?

Sudah banyak teman-teman (orang asing) di Jerman yang sudah memegang paspor merah Jerman. Suami saya paling sebel karena ketika dibujuk pun saya hanya melengos diam lalu nyengir kuda. Katanya, paling kesel ngajak jalan-jalan istri yang paspornya hijau. Sedikit-sedikit visa, sedikit-sedikit visa. Beli tiket murah dan belinya jauh-jauh hari tapi bisa jantungan karena visanya dibuat kemudian dan nggak tahu keburu atau nggak alias tiketnya bisa jadi gosong.

Begitu pula dengan visa Pakistan. Meski Indonesia sudah membuka pintu lebar untuk Pakistan dan membuat kesepakatan mempermudah hubungan diplomatik kedua negara, suami saya takutnya setengah mati kalau benar visa jadi dalam 3-6 minggu. Lama amaaat. Mau berangkat, nih.

Sekali lagi Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang karena hanya dalam waktu 10 hari sudah jadi. Tadinya, kedutaan Pakistan di Jerman ditelepon susahnya minta ampun. Semua dokumen dikirim lewat pos, tidak datang sendiri seperti di kebanyakan kedutaan besar di tanah air.

Tiba di imigrasi bandara Pakistan juga ditahan sebentar 30 menit di meja tersendiri karena petugas harus memeriksa lagi dokumen yang kami bawa (invitation letters, paspor, visa). Apalagi sistem pemeriksaan ulang masih manual nggak pakai komputer, dilempar-lempar petugas satu ke satunya lagi. Sampai-sampai petugas harus menuliskan informasi yang dia butuhkan dalam selembar kertas ukuran HVS dan mata kami menyapu ruangan, mencari mesin foto kopi. Sayang tak ada.

Rambut blonde mata biru

Saya adalah wanita kedua yang pernah dibawa suami dari Jerman ke Pakistan. Siapa wanita pertama itu? Bersyukur dia bukan wanita lain atau wanita kedua atau WIL dari suami saya. Bayangkan kalau wanita yang terbang bersama suami orang karena ia dikirim pesan whatsapp "Aku rindu kamu, ayo terbang bersamaku." Ihhh. Coba kalau benar-benar begitu, bisa-bisa ada adegan sebar daun, bukan uang (seperti bu Dendy). Sebabnya, uang saya nggak sebanyak bu Dendy juragan kopi. Ahhhh, peluk pohon.

Ehem. Wanita pertama itu adalah anak dari bos suami. Pemilik pabrik alat-alat kedokteran Jerman yang buka cabang di Semarang punya satu anak laki-laki dan satu, perempuan. Karena di Jerman itu anak laki dan perempuan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, ada ide bahwa anak yang perempuan dikenalkan kepada partner di luar negeri. Siapa tahu kalau bapaknya pension, bisa bantu-bantu. Nggak hanya anak yang laki-laki yang harus meneruskannya. Kalau anak perempuan mau dan mampu, kenapa tidak? Setuju?

Itulah, 25 tahunan yang lalu, suami saya membawa seorang perempuan berambut blonde bermata biru. Anak bos besar itu tentu saja jadi bahan tontonan siapapun yang ada di Pakistan. Masih sangat jarang melihat rambut selain hitam, kalau tidak disemir merah atau pirang. Selama ini, saya baru lihat satu perempuan asing dengan kepala berambut emas, bermata biru dan beberapa orang Pakistan yang rambutnya disemir. Tapinya pasti dulu sekali, amat sangat jarang sekali. 

Semiran rambut atas ternyata juga dilakukan hingga turun ke bawah. Jangan porno. Tempatnya tepat di bagian cambang alias kumis, janggut dan brewok. Saya terka itu pasti dari henna. Yang kalau dioleskan coklat, eh begitu habis dicuci jadi merah.

Wanita Pakistan

Sebelum datang ke Pakistan, bayangan saya semua perempuan pakai jilbab karena negaranya Islam. Mereka lebih memakai kerudung ala mantan perdana menteri Benazir Bhutto. Kerudung yang diletakkan di tengah-tengah kepala, membiarkan rambut bagian depan dan samping kanan-kiri bebas terlihat kehitamannya. Saya sudah siap mengepak dua kerudung.

Meski masih terasa hawa bahwa perempuan itu jadi makhluk nomor dua, laki-laki nomor wahid, tetapi saya sudah bisa melihat bahwa banyak juga wanita Pakistan yang sudah meniti karier. Saya ketemu satpam bernama Salma. Hotel tempat ia bekerja menerimanya meski ia adalah perempuan, syaratnya bekerja tidak pada malam hari. So, shift pagi nggak papa.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ada lagi yang saya sukai dari wanita Pakistan; selain mata dan hidungnya yang mbangir, baju yang mereka pakai juga menarik. Rata-rata masih memakai baju kameez, celana Shalwar dan selendang panjang (kadang jadi selempang, kadang untuk penutup kepala) yang biasa kita lihat di film Bollywood. Jadi nggak seperti di tanah air Indonesia, dah.

Jadi geli ketika saat kedatangan, yang jemput sudah membawa tas kresek isi kameez sederhana. Maksudnya, supaya saya ikut berbaur dengan perempuan lain dengan mudah karena seperti pepatah Jerman "Kleider macht Leute", kadang orang melihat orang lain dari cara berpakaiannya. Ketika berpakaian yang pas, orang akan mudah bergaul.

Tambah geli lagi karena ketika kami para wanita berkumpul dan melihat baju yang saya pakai, mereka mengira saya beli di Pakistan. Kaget sekali ketika saya beritahu belinya di Jerman, tepatnya di salah satu toko India. Satu baju pesta dan 3 baju model koko dengan bordir cantik. Lumayan disanjung karena kata suami saya seperti baju tidur. Huhhhh.

Sistem shaf laki-laki dan shaf perempuan masih ada di sini. Jadi kalau renang nggak campur, duduk nggak campur, makan nggak campur. Rasanya legaaaaa. Seneng, deh suami saya, nggak bisa macem-macem di Pakistan. Semua diatur, dibelah dua ... putih warnanya.

Truk dan bus cantik

Kalau di Indonesia banyak truk yang bikin hati saya kecut karena suka ngebut sembarangan dan bikin rusak jalan bahkan kecelakaan tapi kadang bikin senyam-senyum sendiri karena tulisan atau gambar yang ada di badan truk seperti "Pulang dimarahi, pergi dicari", "Jika sopir ini selingkuh, mohon hubungi HP .....", "Jangan ngaku cantik kalau belum jadi istri sopir", "Hidup tanpamu seperti nasi kucing tanpa karet, ambyarrrr...." Dan masih banyak lagi. Xixixi ... bukankah Indonesia kaya akan seni? Mana motifnya unik- unik?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di Pakistan, truk justru memiliki nilai seni yang tinggi meski sama-sama punya keseraman seperti di Indonesia. Ya, suka ngebut-ngebut gila gitu. Nilai seni itu ditampakkan dari lukisan kaligrafi, gambar-gambar motif cantik seperti bunga, hewan, manusia dengan warna genjreng. Keistimewaan truk Pakistan ini sudah terkenal ke seluruh dunia. Sampai-sampai tahun 1995 dibuat sebuah pameran khusus di London untuk memamerkannya. Bahkan sebelumnya para bule sudah mulai menyebarkan keindahan foto truk Pakistan sejak 1970 an.

Begitu pula dengan bus. Meski masih kalah cantik dibanding truk, tetap saja bus Pakistan memesona tapi bukan KW. Lebih heboh lagi kalau duduk di atas bus. Kalau ada barang, ya barang ditaruh di sana. Kalau orang, ya orang. Bahkan bisa dicampur antara barang dan orang. Semoga nggak ada yang kabur karena angin. Pernah dulu sekali saya coba dalam perjalanan dari Kathmandu ke Chitwan. Ya, amplop, sudah jalannya ngeri jurang begitu, anginnya di atas kenceng dan berdebu!

LGBT

Jerman yang mayoritas penduduknya Katholik, sudah mulai longgar menerima kehadiran LGBT. Mereka sudah boleh menikah bahkan adopsi anak. Di Indonesia? Bisa dimassa para tetangga. Masih ingat kan kasus pernikahan pasangan yang ternyata keduanya laki-laki dan dibatalkan massa? Heboh.

Bagaimana dengan Pakistan? Sepertinya hampir mirip perpaduan antara Indonesia dan Jerman. Ketika menapakkan kaki di bandara Sialkot, saya kaget setengah mati melihat dua pria petugas bergandengan tangan mesra. Yaealah, waktu di Jerman suami cerita, saya nggak percaya. Mengira suami saya mengolok-olok saya saja. Ternyata betul sekali apa katanya. Ini aneh tapi nyata.

Begitu pula dengan waria. Wanita dari wujud asli pria itu ada di jalanan Lahore.  Mereka mbarang atau menyanyi/ngamen untuk mendapatkan uang dari mobil atau motor yang berhenti di lampu merah. Macet, panas dan debu tak menyurutkan niat mereka mencari secuil Naan atau roti. Dengan baju khas wanita Pakistan, mereka wara-wiri entah sampai jam berapa.

Mau alkohol? Ngimpi, kamu

Dulu pernah ada kasus diplomat Korut yang menyalahgunakan wewenang untuk membawa alkohol ke Pakistan dalam jumlah yang berlebih dan jadi ladang bisnis. Sampai rumahnya yang berada di Islamabad dirampok dan repot banget kayaknya sampai kena sanksi karena perbuatannya yang melakukan perdagangan gelap alkohol seperti whisky di kota-kota besar subur.

Makanya, ada ketentuan di bandara bahwa siapapun tidak boleh membawa masuk alkohol dalam bentuk dan ukuran apapun ke Pakistan. Jadi ketika Anda beli alkohol di Doha atau Dubai/Abu Dhabi akan diingatkan oleh kasir duty free "Are you sure?" Kalau mereka lihat boarding card pembelinya adalah tujuan Pakistan.

Ending-nya, suka sekali mendengar apa kata suami saya, "Ikut pesta kawinan di Pakistan bisa happy sekali meski tanpa alkohol." Beberapa rangkaian pesta perkawinan yang kami hadiri biasanya dimulai pukul 18.00 dan berakhir pagi-pagi buta. Katanya untuk pesta di tempat umum, hanya dibatasi sampai pukul 22.00 karena lampu sudah dimatikan. Pestanya bubarrr.

Menurut pengamatan saya selama hidup di Jerman, alkohol bisa membuat banyak orang senang dalam waktu sesaat. Setelah itu capek, kepala pusing dan muntah-muntah kayak orang lekasan, hamil karena kebanyakan minumnya. Parahnya lagi jika setelah itu ada perbuatan yang tidak diinginkan seperti vandalism atau selingkuh dilakukan. Berabe, kan?

Larangan masuknya produk alkohol juga berlaku untuk produk yang dibuat oleh salah satu negara di dunia. Baru saja suami pegang kepala karena mau copot dan nggelinding. Ah, pabrik bosnya kena masalah, barangnya mau dimusnahkan di bea cukai. Alasannya, barang-barang tersebut ada tulisannya "made in Israel" meski dikirim oleh perusahaan Jerman. Hmm konflik berabad-abad antara Palestina dan Israel itu ada efeknya. Konsekuensinya, sudah buang uang, kerja jadi terhambat karena bahan baku nggak ada.

***

Begitulah, sekilas pandang Pakistan. Nantikan artikel lengkapnya suatu hari nanti. Berharap bisa dalam bentuk buku, supaya banyak orang tahu apa plus-minus Pakistan , foto-foto asli bukan hoax, nggak hanya tahu dari kulitnya dan nggak percaya begitu saja apa kata media anu. Banyak sekali hal-hal baik yang saya temukan di sini dan ingin saya bagi kepada masyarakat Indonesia pada umumnya supaya bermanfaat, menginspirasi dan membuka wawasan.

P.s: Internet di Pakistan termasuk lelet, susah up load di Kompasiana. Untuk melihat beberapa foto saya di Pakistan, silakan melihat di instagram @gaganawati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun