“Aku ini cucu dari yang punya resto.“ Seorang pemuda ganteng berdiri.
“Aku nggak peduli. Aku sewa resto sama kakekmu, aku tanda tangan kontrak sampai besok. Ini hakku. Aku yang bayar, bukan kamu.“ Siapa takut?
“Kami nanti akan membayar semua minuman yang kami minum...“ Janji-janji manis. Ia tidak menjelaskan bahwa salah satu gelas Wein, anggur pecah. Untung saya melihatnya cuma nggak bertanya.
“Maaf, tidak bisa. Silakan tenggak sampai habis lalu ke pintu. Kalau saja kalian datang lebih awal, pasti kalian bisa ikut pesta Indonesia.“ Salahnya sendiri datang ketika acara sudah bubar.
“Kita bikin kontrak baru bahwa kami yang bertanggung jawab kalau ada apa-apa. Kami yang tanda tangan. Jadi biarkan kami sampai nanti-nanti.“ Perempuan pirang tadi membujuk.
“Maaf, tidak-tidak-tidak... aku mau bersihin ruangan.“ Kekeh.
“Hah, kamu mau bersihin restoran kakekku yang sudah tua itu? Ayolah ... aku punya kunci resto. Aku tinggal di atas resto.“ Cucu yang tingginya kira-kira 180 cm itu ngotot. Matanya saya tatap. Biruuuuu!
“Lah iyalah, perjanjiannya gitu. Datang dan pergi, bersih. Silakan meninggalkan ruangan tanpa drama.“ Saya mengantar mereka menuju pintu.
“Umur kamu berapa?“ Iseng si anak muda bertanya.
“Empat puluh ...“ Waduh ketahuan ya, umurnyaaa .... Hiks.
“Haahhh ... kamu pantasnya 18 atau 20 annnn ...“ Si pria ketawa. Badannya sudah goyang-goyang kembang. Maklum, mabuk. Tak lama kemudian, ia memeluk saya.