Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengusir Orang Mabuk

20 Januari 2016   23:20 Diperbarui: 20 Januari 2016   23:28 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dini hari. Waktu menunjukkan pukul 02.00. Pesta sudah bubar tapi masih ada beberapa tetangga yang nongkrong di restoran.

“Wah, kamu beruntung ... pestamu bakal diserbu dari klub Narren...“ Tangan suami menunjuk jendela kaca. Oh, no! Betul, rombongan Narren, habis ikut karnaval dan bus turun tepat di depan resto. Yup. Jerman sudah mulai musim karnaval Fastnacht. Klub yang tergabung di dalamnya biasa menyambangi karnaval di kota lain. Bisa ditebak, mereka sudah kemasukan alkohol dosis tinggi dan banyak ....

Tak berapa lama, orang-orang itu betul memasuki resto yang masih terang.

“Boleh kan kami masuk, mau minum.“ Seorang perempuan berambut pirang bertanya pada suami. Lima orang laki-laki mengitarinya. Mereka mengenakan pakaian kebangsaan mereka, besar dan warna-warni.

“Tanya sendiri pada yang punya gawe ... tuh.“ Tangan suami lagi-lagi menunjuk. Kali ini pada saya yang lagi otong-otong, angkat barang. Duhhh lagi repot, kok yo ada yang bertamuuu ....

“Maaf, Anda yang ulang tahun? Boleh kami ikut?“ Si cewek yang mukanya coreng moreng itu mendekat. Kepala saya mendongak. Maklum, saya pendek.

“Pestanya sudah lama bubar... tolong diskusi sama suami saya, ya ... saya sibuk. Barang-barang harus selesai diangkut.“ Cuek. Saya berlalu. Saya memang ngotot kalau ruangan bersih dan rapi seperti semula. Nggak mau gara-gara ngobrol sama orang pekerjaan terbengkalai.

 “Mbak, aku wedi ... aku nunggu ning njaba wae.“ Windi, teman dari Schramberg yang kerja di FSJ, tempat anak cacat mental itu takut kalau ada apa-apa. Ia memang paling males ribut. Peace. Menunggu di luar resto.

“Ora popo ... ngko tak usire nek wis bar kabeh.“ Saya janji akan mengusir mereka setelah semua barang beres.

Benar. Tak berapa lama  kemudian, kami selesai.

“Maaf ... waktu kalian habis. Silakan meninggalkan ruangan.“ Sudah sejam mereka duduk. Saya pikir sudah bagus saya baik hati membiarkan mereka meminum minuman dan memakan makanan sisa pesta. Tamu tak diundang.... Saya juga nggak kenal mereka.

“Aku ini cucu dari yang punya resto.“ Seorang pemuda ganteng berdiri.

“Aku nggak peduli. Aku sewa resto sama kakekmu, aku tanda tangan kontrak sampai besok. Ini hakku. Aku yang bayar, bukan kamu.“ Siapa takut?

“Kami nanti akan membayar semua minuman yang kami minum...“ Janji-janji manis. Ia tidak menjelaskan bahwa salah satu gelas Wein, anggur pecah. Untung saya melihatnya cuma nggak bertanya.

“Maaf, tidak bisa. Silakan tenggak sampai habis lalu ke pintu. Kalau saja kalian datang lebih awal, pasti kalian bisa ikut pesta Indonesia.“ Salahnya sendiri datang ketika acara sudah bubar.

“Kita bikin kontrak baru bahwa kami yang bertanggung jawab kalau ada apa-apa. Kami yang tanda tangan. Jadi biarkan kami sampai nanti-nanti.“ Perempuan pirang tadi membujuk.

“Maaf, tidak-tidak-tidak... aku mau bersihin ruangan.“ Kekeh.

“Hah, kamu mau bersihin restoran kakekku yang sudah tua itu? Ayolah ... aku punya kunci resto. Aku tinggal di atas resto.“ Cucu yang tingginya kira-kira 180 cm itu ngotot. Matanya saya tatap. Biruuuuu!

“Lah iyalah, perjanjiannya gitu. Datang dan pergi, bersih. Silakan meninggalkan ruangan tanpa drama.“ Saya mengantar mereka menuju pintu.

“Umur kamu berapa?“ Iseng si anak muda bertanya.

“Empat puluh ...“ Waduh ketahuan ya, umurnyaaa .... Hiks.

“Haahhh ... kamu pantasnya 18 atau 20 annnn ...“ Si pria ketawa. Badannya sudah goyang-goyang kembang. Maklum, mabuk. Tak lama kemudian, ia memeluk saya.

“Hey hey heeeeeyyy ... dia istriku.“ Suami saya memperingatkan.

“Istrimu ... lebih pantas jadi temenku. Nggak keliatan kalau sudah berumur.“ Nggak tahu maksudnya dia menyanjung apa mengejek.

“Selamat tinggal ...“ Saya tutup pintu. Eeee ... dia balik lagi.

“Aku lewat dapur ... aku tinggal di atas.“ Yahhh .. sudah sampai pintu utama, balik lagiiii ... Sebel, ah.

“Nggak, lewat depan nanti kamu duduk lagi.“ Kekhawatiran saya muncul.

“Kamu punya kunci kann?“ Tanyanya.

“Ya ...“

“Kamu punya kunci kann?“ Biyunggggg. Ia mengulang pertanyaannya. Seperti echo.

“Yaaaaa ....“ Intonasi saya jadi panjang dan meninggi. Dia pun pergi, menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu meninggalkan resto.

“Kamu punya kunci kann?“ Syukurlah. Dia sudah sampai pintu dapur. Untung tidak ada sandal.

 

***

Dari cerita di atas, semoga bermanfaat bagi adik-adik, teman-teman yang menetap di luar negeri. Kalau ada orang yang ngawur, sembarangan, harus diperingatkan. Kalau kita benar, nggak perlu takut meski mereka orang lokal, orang yang berpengaruh dan sebagainya. Apalagi kalau ada kontrak resmi dengan tanda tangan dan bea yang sudah kita tanggung. Satu, tetap bicara baik-baik dengan mereka. Alkohol bisa membuat orang kehilangan akal sehatnya.

OK. Selamat merantau di negeri orang. Ngeri-ngeri sedap.(G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun