Mohon tunggu...
Kurnia Muhammad
Kurnia Muhammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

hanya gadis biasa yang menyukai secangkir kopi imut saat mengurai deretan kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Terakhir

17 Februari 2013   09:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:10 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cengeng. Satu kata yang selalu diucapkannya saat mataku basah, tak lagi indah di matanya.

Tanpa sapu tangan ataupun selembar tissue sekedar untuk menyeka air yang semakin deras keluar dari mataku. Hanya sapuan jemarinya yang mampu membendung air itu, hingga tak membanjiri wajah ovalku lagi. Tatapannya hangat,sehangat air mata yang tadinya terus membanjir.

Cengeng. Satu kata yang mampu menciptakan sejuta, beribu, bahkan milyaran rindu dalam hati. Atau bahkan mungkin mampu menciptakan rindu tak terhingga, yang hanya mampu untuk kurasa. Tak mampu lagi kuucap atau kutulis untuknya.

Ah, apa mungkin rinduku sebesar itu?

Cengeng

Satu kata yang selalu terucap dari bibir itu.....

Putuskan saja dia!

Siapa?

Cengeng yang selalu setia padamu.

Hah!

Aku TIDAK cengeng! Hanya sering meneteskan airmata. Sudah. Titik...!

Kutinggalkan dia sendiri di ruang tamu. Biar saja! Sebal rasanya! Pergi saja! Pulang sana, aku tak peduli!

Lama...

Tanpa suara...

Tak terdengar lagi nafasnya. Mungkin Dia sudah pulang, pikirku. Yah, terserah!

Satu menit, tiga menit, lima menit...

Kenapa tanpa pamit??

Hah!

Hipertensi untuk kesekian kali..

Sehari, dua hari, tujuh hari...

Tak pernah kulihat,

Dimana pemilik senyum yang mampu membuatku meninggalkan luka?

Tak ada bunyi handphone darinya...

Sepi tanpanya,

Rindu karnanya...

Ah..kenapa aku?

Tidak ada apapun darinya, It does not matter to me

Sepi... hanya terdengar nyanyian nyamuk ditelinga. Satu, dua, tiga..meminta sumbangan darah tanpa permisi....

Kupejamkan mata, berharap kutemui jawaban kenapa dia tak pamit padaku...

Cengeng...

Kapan lagi kan kudengar kata itu darinya?

Hatiku terlilit rindu...

Cengeng...

Dimana pemilik suara itu, kini?

Cengeng...

Tidakkah kau ingin terucap lagi olehnya?

Empatbelas hari,

kumenunggu...

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,

Tanpa pamit lagi...

Hanya nisan yang kini kulihat,

Maaf untuk ketidakdewasaan yang selalu menghinggapi..

Maaf untuk kebodohan yang selalu tercipta

Maaf...

Tak bisa menemani disaat terakhirmu,

Menyesal?

Yah, aku menyesal

Tak bisa duduk di sampingmu

Tak bisa melihat senyum itu

Tak bisa mendengar suara yang menyebalkan tapi merindukan,

Untuk yang terakhir.....

Masihkah kau memanggilku cengeng,

Setelah perpisahan ini??

Aku tidak cengeng,

Hanya meneteskan airmata...

Bahkan kini bukan hanya tetesan,

Do’a ku slalu untukmu..

Meski dunia kita berbeda,

Kamu tak pernah terlupa


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun