Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Oleh-oleh Kewajiban Sosial Sepulang Bepergian

24 November 2018   12:04 Diperbarui: 24 November 2018   13:04 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi mereka yang sering pergi ke suatu tempat, terutama ke luar kota atau ke luar negeri baik untuk liburan atau keperluan lainnya, salah satu yang menjadi bahan pertimbangan adalah oleh-oleh atau cinderamata. 

Oleh-oleh yang juga disebut buah tangan adalah sesuatu yang dibawa dari berpergian atau sesuatu yang diberikan ketika mengunjungi seseorang.  Orang Indonesia merasa lebih puas ketika pergi mengunjungi seseorang dan bisa membawakan sesuatu.

Bicara tentang buah tangan memang cukup dilematis bagi orang Indonesia. Buah tangan memang tidak wajib dibeli, namun jangal rasanya pulang dengan tangan kosong. Tak jarang ketika seseorang berpamitan atau ada orang yang mengetahui kepergian akan berbasa-basi dengan, "hati-hati, jangan lupa oleh-olehnya" atau malah langsung menodong dengan permintaan barang tertentu meski narasinya hanya "titip".

Bagi yang berkantong tebal dan punya banyak waktu permintaan semacam ini masih bisa diterima. Apalagi jika yang meminta orang terdekat, rasanya wajar saja. Beberapa orang malah memberikan uang agar tidak membebani finansial. Tetapi jika orang itu hanya teman jauh, meminta barang spesifik, dan tidak menitipkan uang atau menjamin penggantian biaya maka permintaan semacam itu memberatkan. Ada baiknya orang-orang semacam itu diarahkan kepada bisnis jasa titip oleh-oleh yang menjamur di sosial media. Disana konsepnya sederhana dan jelas, ada uang, ada barang

Oleh-oleh memang bersifat sosial, terutama jika dibagikan pada orang lain. Ia menyimbolkan kasih dan perhatian kepada orang yang diberi. Namun bagi sebagian orang, oleh-oleh juga menunjukkan status ekonomi yang dimiliki. Seberapa mahal atau jauh buah tangan itu bisa didapatkan. Tradisi buah tangan ini juga berlaku di Jepang. Seperti di Indonesia, oleh-oleh menjadi kewajiban sosial dan disebut Omigaye, makanan khas yang dibungkus sebagai buah tangan.

Sebelum pulang dari luar negeri salah satu teman saya bercerita kebingungannya mencari cinderamata untuk ia bagikan di tanah air. Ia pun menyusun daftar, siapa saja yang berhak diberi. Meski sudah membuat daftar yang sebetulnya sudah panjang, ia tetap merasa kurang. Momen pergi ke luar negeri tidak semua orang di lingkungannya bisa mendapat, maka ia merasa wajib memberi semua. Keluarga, tetangga, teman-teman dekat, hingga tetangga di kampung ibu nya pun menjadi bahan pertimbangan.

Lalu mengapa orang Indonesia begitu gemar dan seolah mewajibkan membawa buah tangan seperti teman saya diatas? Salah satu jawabannya menurut saya adalah karakteristik orang Indonesia yang komunal dan berfokus pada keluarga (family oriented). Mereka suka membagikan atau memamerkan kenangan, pengalaman, dan barang-barang yang didapatkan ke banyak orang yang tidak ikut dalam perjalanan. 

Selain juga upaya mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dianggap mampu, punya banyak pengalaman dan peduli dengan orang disekitarnya. Secara personal, bagi yang berpergian buah tangan atau souvenir adalah media pengingat akan suatu tempat.

Karakteristik ini didukung dengan keberagaman budaya di Indonesia. Dalam teori kebudayaan, orang ingin tahu kebudayaan orang lain untuk kemudian ia bandingkan atau dinilai dengan kebudayaannya. Oleh karena itu mengapa ada stigma-stigma primordialis terhadap beberapa suku atau daerah oleh suku-suku tertentu. Dalam konteks ini, oleh-oleh menjadi jembatan diplomasi budaya antar suku untuk memperkenalkan tradisi dan budaya suatu daerah.

Di jaman ini industri oleh-oleh atau buah tangan telah terintegrasi dengan dunia  pariwisata. Menjual keelokan suatu tempat atau daerah hingga bisa dibawa tidak hanya dalam ingatan tapi dalam kabin atau bagasi kendaraan. Di Jogja, oleh-oleh bukan hal yang sulit didapat. Tinggal menyesuaikan selera dan anggaran. Mulai dari batik, asesoris etnik hingga makanan. 

Banyak UMKM atau Usaha Menengah, Kecil dan Mikro membuat dan menjajakan. Yang menarik, meskipun menggunakan embel-embel Jogja, tidak semua pedagang cinderamata Jogja adalah orang Jogja atau orang Jawa. Seperti pedagang kaki lima Malioboro yang diwarnai dengan kehadiran pedagang berdarah Minangkabau. Atau gerai-gerai bakpia dan batik milik selebritis nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun