Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

War Takjil, Kolak, Gorengan dan Toleransi di Antrian

7 Maret 2025   16:18 Diperbarui: 7 Maret 2025   16:18 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takjil war for everyone (sumber : Detik Travel)

Ramadan itu bulan penuh keberkahan. Tapi ada satu keberkahan yang kalau kita lengah, bisa berbalik jadi ujian: mencari takjil di jam-jam kritis. Ini bukan sekadar urusan beli makanan, Kang. Ini soal seni bertahan hidup, strategi ekonomi, dan interaksi sosial yang penuh intrik.

Sore hari, jalanan mulai ramai. Pasar takjil sudah berdiri gagah, barisan tenda berjejer menawarkan segala rupa hidangan. Dari gorengan yang masih berkilau minyaknya, es campur yang berembun menggoda, sampai kolak pisang yang tampak begitu meyakinkan. Semua terlihat berlimpah, seakan siap menyambut siapa saja. Tapi jangan tertipu! Di balik keriuhan ini, ada pertempuran yang tak kasat mata.

Pejuang takjil yang berpengalaman tahu, waktu adalah segalanya. Datang terlalu awal? Bisa-bisa cuma lihat abang-abang baru ngeracik adonan. Datang terlalu telat? Ya siap-siap buka puasa dengan sisa gorengan yang entah sudah berapa kali dipanaskan.

Mereka yang cerdik biasanya sudah punya jaringan. Mereka tak perlu repot berdesak-desakan. Cukup dengan satu kalimat sakti di WhatsApp: "Bang, sisain kolaknya ya." Tak perlu antre, tak perlu adu cepat. Inilah kekuatan diplomasi dalam ekosistem takjil.

Lalu ada yang masih naif, datang dengan penuh percaya diri, yakin bahwa semua masih tersedia. Dia berjalan santai, mengamati, menikmati suasana. Tapi begitu dia bergerak ke lapak es cendol, suara abang-abangnya membuat dunia runtuh:
"Udah habis, Mas."

Panik. Buru-buru ke lapak lain. Gorengan? Tinggal tahu isi yang sudah dingin. Kolak? Ludes. Bubur sumsum? Hanya meninggalkan jejak. Lalu datanglah kesadaran brutal: di medan perang takjil, tidak ada ruang bagi mereka yang ragu-ragu.

Hukum supply & demand bekerja tanpa ampun di sini. Gorengan yang pagi tadi masih tiga ribu dapet lima, sore menjelang magrib berubah jadi tiga ribu dapet dua. Bubur sumsum yang kemarin sepi peminat, sekarang jadi komoditas panas. Ini bukan aji mumpung, Kang. Ini ekonomi berbasis urgensi lapar.

Ada juga efek latah kolektif. Tadinya mau beli es cendol, tapi tiba-tiba lihat orang-orang antre di lapak kolak, langsung ikut antre juga. Tak peduli sebenarnya suka atau tidak, yang penting jangan sampai kehabisan!

Dan tentu saja, ada kelas sultan yang tak peduli harga naik. Mereka tak banyak berpikir, hanya tunjuk dan bayar. Mereka ini pemegang saham utama perekonomian takjil, tanpa mereka, omzet abang-abang gorengan tak akan setinggi ini.

War Takjil bukan cuma urusan transaksi, ini juga soal politik sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun