Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

War Takjil, Kolak, Gorengan dan Toleransi di Antrian

7 Maret 2025   16:18 Diperbarui: 7 Maret 2025   16:18 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takjil war for everyone (sumber : Detik Travel)

Di antara lautan pembeli, selalu ada yang tiba-tiba dapat prioritas. Satu orang antre lama, eh tiba-tiba ada yang baru datang langsung dapat pesanan. Kenapa? Karena yang satu pelanggan baru, yang satu pelanggan setia. Loyalitas di dunia takjil itu nyata, Kang.

Dan jangan lupakan perebutan wilayah. Ini sering terjadi di lapak gorengan, ketika dua orang mengincar risol terakhir. Tatapan saling menakar, tangan mulai bergerak. Siapa yang lebih dulu menyentuh, dia yang menang. Tapi kadang, ada kekuatan yang lebih besar: ibu-ibu yang sudah pesan dari tadi. Saat duel mulai memanas, tiba-tiba suara dari belakang memutuskan segalanya:
"Bang, risolnya buat saya ya, tadi udah bilang."

Dan seperti itu saja, pertarungan selesai. Tak ada protes, tak ada perlawanan. Di medan perang takjil, ibu-ibu dengan sistem pre-order adalah kekuatan absolut.

Lalu ada satu fenomena menarik yang selalu muncul setiap Ramadan: para nonis yang ikut berburu takjil.

Di luar Ramadan, mereka mungkin tak terlalu peduli soal es cendol atau bubur sumsum. Tapi di bulan ini? Mereka ikut masuk gelanggang! Ada yang beli buat teman, ada yang ikut-ikutan karena penasaran, dan ada juga yang jujur bilang, "Lho, ini tuh enak banget sih! Kenapa cuma ada pas Ramadan?"

Momen ini jadi ajang interaksi sosial yang luar biasa. Yang biasanya cuek, sekarang ikut antre dan negosiasi, bahkan jadi pelanggan tetap. "Bang, tadi kolaknya enak, besok saya pesen lagi ya!" Begitu Ramadan selesai? Hilang tanpa jejak.

Tapi itulah magisnya War Takjil. Toleransi tidak selalu hadir dalam seminar atau pidato. Kadang, ia tumbuh dari obrolan ringan di antrean gorengan, dari berbagi tempat duduk di warung es campur, atau dari sesama pejuang takjil yang saling berbagi info lapak mana yang masih ada stok risol.

Ramadan tidak hanya menghidupkan ekonomi rakyat, tapi juga mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang. Di meja takjil, tidak ada perbedaan agama atau status sosial. Semua orang setara dalam satu hal: lapar.

Tapi setelah semua itu, setelah taktik bertahan hidup, setelah ekonomi kecil berputar, setelah interaksi sosial yang penuh dinamika, akhirnya semua orang duduk bersama. Takjil tersaji di meja. Es cendol yang didapat dengan susah payah, gorengan yang sempat nyaris luput, dan bubur sumsum yang akhirnya berhasil diamankan.

Yang tadi duel berebut risol? Sudah akur lagi, makan sambil ngobrol. Yang baru pertama kali coba kolak? Sudah mulai ketagihan. Yang ikut antre karena ikut-ikutan? Besok balik lagi.

Karena begitulah War Takjil, Kang. Ini bukan sekadar soal kenyang. Ini soal perjuangan, soal ekonomi rakyat, soal relasi sosial yang terjalin hanya karena satu tujuan: buka puasa dengan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun