Mohon tunggu...
Ahmad Fuad Afdhal
Ahmad Fuad Afdhal Mohon Tunggu... Dosen - Ph.D.

Pengamat isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghidupkan Pasal Penghinaan Terhadap Presiden

14 Agustus 2015   14:22 Diperbarui: 14 Agustus 2015   14:22 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi kembali memunculkan kontroversi. Buat sebagian orang sangat mengagetkan ketika ada upaya dari Presiden Jokowi yang mengangkat kembali pasal subversif. Padahal MK (Mahkamah Konstitusi) sudah menghapuskannya. Ada apa di balik rencana ini ? Apa alasannya? Bukankah ini suatu blunder?

Sedangkan bagi sebagian orang sudah tidak kaget dengan gaya kontroversi Presiden Jokowi. Sebelumnya sudah seringkali Jokowi muncul dengan kontroversi, baik setelah menjadi Presiden ataupun sebelum menjadi Presiden. Misalnya saja dengan gagasan mobil murah ketika akan menjadi Gubernur DKI. Kemudian, ikut menyaksikan kerja sama dengan Proton Malaysia yang sekaligus merestui. Jelas sekali ini kontroversial dan berlawanan dengan upaya membangun mobil nasional.

Kontroversi lain adalah dengan Kartu Indonesia Sehat, sementara kita baru saja memulai sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dikenal sebagai BPJS. Akibatnya terbirit-biritlah para petinggi Kementerian Kesehatan dibuatnya. Mau tak mau harus dicari bagaimana membuat semuanya selaras, serasi, dan seimbang. Sebelumnya dengan Kartu Jakarta Sehat saja sudah membuat repot para profesional kesehatan di lingkungan DKI Jakarta.

Kembali kepada keinginan untuk mengembalikan pasal penghinaan, Presiden Jokowi berkilah bahwa selama ini ia tidak bereaksi walau diejek, dihina, dan dimaki dalam berbagai kesempatan. Argumentasinya adalah bagaimana jika ia sebagai Presiden Republik Indonesia dihina di luar negeri. Nampaknya ia ingin mengatakan bahwa Presiden adalah lambang negara. Ini memang benar. Selain itu disebutkan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden sudah pernah diajukan pemerintahan sebelumnya walau tidak disetujui-sekarang diajukan kembali untuk dibahas oleh wakil-wakil rakyat.

Ada apa?

Harus diakui secara jujur bahwa nada miring terhadap Jokowi sudah diawali jauh sebelum masa kampanye Presiden. Ini semakin meningkat ketika masa kampanye. Berbagai cara dilakukan oleh pihak-pihak yang mendukung Prabowo Subianto sebagai capres berupa pelemahan posisi Jokowi. Bahkan terjadi penghinaaan dan yang sejenisnya. Bukan sekadar kritik.


Setelah Jokowi menjadi Presiden upaya KMP (Kelompok Merah Putih) untuk mengkritik Jokowi tidak mereda. Melalui DPR yang dikuasai oleh KMP berulangkali mengganggu pemerintahan Jokowi dengan bermacam cara. Kecaman tidak juga berkurang.

Kritk mereda, apalagi setelah Jokowi beberapa kali bertemu dengan Prabowo Subianto, secara formal suhu mendingin. Namun sesekali ada saja pernyataan yang kurang sedap dilontarkan kepada Presiden Jokowi. Sementara itu, secara internal pemerintahan Jokowi terjadi masalah telah membuat kritik meningkat kembali. Pemerintahan Jokowi mengalami berbagai masalah. Ada masalah koordinasi internal. Ada pembantu Presiden Jokowi yang membuat kebijakan tidak tepat. Ada menteri yang salah mengeluarkan pernyataan. Yang parah adalah terlambatnya mengeluarkan kebijakan. Ini semua membuat kritik kembali mencuat. Celakanya kritik banyak berasal dari masyarakat yang intinya tidak sabar dengan lambatnya roda pemerintahan Jokowi-JK. Akhirnya yang ekstrim ada juga berupa penghinaan, pelecehan, dan kritik yang sangat keras.

Berangkat dari apa yang diungkapkan di atas, memang ada alasan kuat yang membuat keadaan terlihat semakin kisruh. Apalagi kondisi ekonomi dan keuangan kita semakin memburuk. Kemudian disusul dengan isu perombakan kabinet. Kondisi semacam ini menjadi alasan kuat bagi mereka yang kritis menjadi naik pitam yang ujungnya menjadi penghinaan.

Makna :

Akan halnya pasal penghinaan terhadap Presiden, sebetulnya telah dibekukan Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006 melalui keputusan no: 013-022/PUU-IV/2006. Makna dari penghapusan pasal ini adalah karena bertentangan dengan konstitusi. Bahkan Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah dan DPR menghapusnya dari RUU KUHP.

Bagi pihak-pihak yang menolak pasal penghinaan antara lain pasal tersebut berlawanan dengan makna dari kebebasan berpendapat. Bahkan ada yang melihatnya sebagai kemunduran karena akan membuat masyarakat takut untuk berekspresi. Tentu saja pihak pemerintah tidak berpikir demikian.

Masih tentang pasal penghinaan terhadap Presiden, yang berpotensi menimbulkan perdebatan, utamanya adalah Presiden memang lambang negara, tapi juga suatu jabatan. Pemegang jabatan tersebut adalah juga warganegara. Oleh karena itu sama saja dengan warga negara lainnya dari aspek legal. Karena kalau ada perbedaan, bisa saja kemudian muncul persepsi bahwa pemegang jabatan presiden adalah warga negara khusus, spesial, dan istimewa. Ini bahkan akan memiliki konotasi negatif bahwa Presiden identik dengan raja. Padahal seorang Presidensama saja dengan warga negara lainnya. Indonesia bukan kerajaan.

Bagaimana sebaiknya:

Ini sebetulnya masalah sederhana. Karena menyangkut Presiden sebagai lambang negara ada alasan kuat untuk mengangkat kembali bahkan menjadikannya sebagai alat untuk melindungi kehormatan seorang Presiden. Sebaliknya, bagi mereka yang anti, tidak setuju, dan menolak maka solusinya gampang yaitu mencoret dan tetap menghilangkan pasal tersebut.

Tentu saja kita tidak perlu mengadakan referendum dengan menanyakan kepada rakyat untuk apakah setuju atau tidak dengan adanya pasal penghinaan dalam KUHP. Juga jangan sampai para anggota DPR terhormat secara serentak mengunjungi Dapil masing-masing untuk menanyakan pasal kontroversi ini kepada para konstituennya. Apalagi Dana Aspirasi sudah tidak disetujui.

Persoalan ini hendaknya jangan membuat kita susah. Karena akar permasalahannya adalah ekonomi juga. Kalau perut kosong orang memang gampang marah. Jadi, pandangan miring terhadap Presiden akan hilang dengan sendirinya kalau keadaan ekonomi kita bagus. Harga- barang-barang kebutuhan pokok terjangkau. Juga peluang kerja banyak dan terbuka luas sehingga setiap orang memiliki pekerjaan. Selain itu para orang tua mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Satu lagi yang penting adalah bahwa jaminan kesehatan universal yang dikenal sebagai BPJS berjalan lancar sehingga akses untuk pelayanan kesehatan tidak ada hambatan.

Ideal sekalikah yang diungkapkan di atas. Tentu saja tidak. Karena memang ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Seharusnya bisa dicapai oleh pemerintah karena bukan sesuatu yang muluk-muluk. Lain halnya kalau sudah ditambah aspek transportasi, perumahan, dan sumber daya listrik, yang tidak mudah untuk mengatasinya.

Jadi kalau masalah-masalah mendasar dalam ekonomi sudah teratasi, penghinaan terhadap Presiden tidak akan muncul. Kalaupun akan muncul kritik keras, pelecehan, atau penghinaan, pasti tidak dianggap oleh masyarakat. Semuanya akan dianggap angin lalu. Ini adalah solusi terbaik. Oleh karena itu tantangan ini harus bisa dijawab oleh Kabinet yang baru saja dirombak dengan tambahan 6 personil baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun