Mohon tunggu...
Isi Respal
Isi Respal Mohon Tunggu... -

Saya orang Respal dari Kaki Gunung Ine Rie pengais rejeki Allah. Kenalilah Dirimu !

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bias Demokrat dalam Politik NTT

23 Juli 2018   22:58 Diperbarui: 23 Juli 2018   23:16 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ebith Lonek, CMF

(Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang)

NTT dan demokrasi menjadi trending topik di tahun ini. Terlepas tahun 2018 adalah tahun politik. Tahun 2018 juga menjadi ajang dimana masyarakat NTT menggandeng sejuta angan-angan dalam sebuah pre-prediksi akan hasil demokrasi yang akan berlangsung.

Dengan ditetapkannya nomor urut paslon dan mendengar hasil pilgub NTT maka semakin jelaslah bahwa percaturan politik NTT kian "seru". Hemat penulis masyarakat NTT telah dan akan menjadi "voluntir" sebagai pengamat politik yang siap menilai kredibilitas dan elektabilitas gubernur dan wakil gubernur yang terpilih.

Keseruan percaturan politik itu bukan soal perhitungan suara hasil pemilu. Bercermin pada realita bahwa penghitungan suara itu menjadi klimaks dari perjalanan demokrasi. Namun yang menjadi perhatian penulis maupun publik adalah masa kampanye(janji-janji, skill rektorika). Hemat penulis kampanye adalah saat dimana setiap paslon mengasah skill rektorikanya dengan pemaparan visi-misinya yang pengaktualisasiannya menjadi tanda tanya besar dalam logika masyarakat.

Masyarakat NTT sebenarnya berada dalam sebuah siklus-dilematis politik. Para paslon menggunakan metode blusukan dadakan. Menerobos lorong-lorong kemiskinan, mendengarkan keluhan rakyat kecil, seperti sebuah dongeng sebelum tidur yang dibacakan, rela basah kuyup hanya ingin meminta sebuah tanda centang pada nomor urut. Mereka hadir seolah-olah menjadi hero dikala rakyat dalam keadaan dilema akan hidup ini. 

Masyarakat NTT menjadi saksi atas realita bertuan ini. Mereka yang lemah dalam analisa merasa disentuh dengan politik blusukan. Seolah-olah paslon inilah yang menjadi wakil dewi fortuna, dewi keberuntungan dalam mitos Yunani.

Namun masyarakat bingung dengan sederet pertanyaan yang menyesak dalam logika mereka. Mana yang baik (bebas KKN)? Mana yang pro rakyat? Saat kampanye semuanya seiya-sekata sambil bergandengan tangan memekikan dentuman klasik forma kampanye kami "ada untuk rakyat". Namun ketika menjadi nahkoda, dentuman forma itu seketika berubah menjadi "kami ada untuk diri kami dan keluarga kami". Atau dalam bahasa penulis, my family is the first class and the other (poor, needy etc) are the second class, unless I remember them, if not, they are nothing!!

Sedih! Itulah realita politik. Esensi demokrasi dikerdilkan, luka rakyat akibat ulah politkus yang gagal total dalam menerjemahkan makna demokrasi diperparah. Siapa nahkoda yang layak? Ibarat mimpi di siang bolong?

Nakhoda NTT Itu "TRIADIK"

Tahun politik dan demokrasi NTT menjadi semacam realitas mutual (saling berkaitan). Dua realitas ini semacam jembatan bagi masyarakat NTT dalam menikmati perubahan selama lima tahun kedepan. Keduanya menjadi hal yang sensiif di tahun ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun