Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membedah Pasal 69-70 RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

29 Oktober 2018   01:45 Diperbarui: 29 Oktober 2018   07:13 3261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencanangkan supaya pendidikan nonformal dengan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagaimana disebutkan di atas, secara implisit berpotensial 'menyiksa' dan 'memperbudak' kegiatan-kegiataan keagamaan di hadapan negara dengan validitas UU (kalau disahkan nanti).

Disebut 'menyiksa' dan 'memperbudak' karena kalau kelak disahkan maka kegiatan-kegiatan keagamaan bukannya berjalan menurut kepercayaan yang berlaku dalam agama masing-masing melainkan dikondisikan dan 'dipaksa' untuk berjalan menurut UU.

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun (28I ayat 2)

Rumusan Peserta paling sedikit 15 orang (pasal 69 ayat 3) dan Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal bertujuan untuk melengkapi (pasal 70 ayat 1), merupakan rumusan yang bercorak diskriminatif karena kegiatan-kegiatan keagamaan yang oleh agama Kristen merupakan bentuk pelayanan, pewartaan dan peribadahan Gereja, dibatasi jumlah pesertanya, sementara kegiatan-kegiatan seperti ini hakikatnya justru harus dilakukan dalam semangat kebersamaan dan semangat persekutuan dengan meneladani semangat Kristus sendiri yang bukan datang hanya untuk beberapa orang saja melainkan untuk semua orang yang beriman dan percaya kepadaNya.  

Pernyataan tentang pendidikan keagamaan Kristen nonformal seperti disebutkan di atas, bertujuan untuk melengkapi pendidikan formal keagamaan merupakan suatu pertanyaan yang melukai semangat kekristenan karena kegiatan-kegiatan itu terkesan dirumuskan sebagai tambahan untuk melengkapi sementara dalam perspekti Kristen, kegiatan-kegiatan seperti itu merupakan kegiatan inti Gereja untuk memperdalam iman dan membangun persekutuan iman, bukan untuk melengkapi. 

Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat 1)

Negara Indonesia ini adalah Negara Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Ini berarti Negara Indonesia adalah Negara yang beragama; Negara yang mengakomodir agama-agama dan penganut-penganutnya. Sifat akomodir ini akan rancu kalau di satu sisi, kegiatan-kegiatan yang menjadi bagian khas keagamaan seperti disebutkan sebelumnya, diintervensi oleh negara.

Hemat saya, Negara Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa berarti setiap penganut beriman dan berkepercayaan menurut ajaran yang diajarkan dan diwartakan dalam agama masing-masing. Dalam hal ini, kegiatan-kegiatan keagamaan seperti Sekolah Minggu, Sekolah Alkitab, Remaja Gereja, Pemuda Gereja, Katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis (misalnya pembinaan Orang Muda Katolik-OMK), merupakan perwujudan iman dalam bentuk pengajaran, pewartaan dan peribadahan.

Beribadat Menurut Agama dan Kepercayaan Dijamin oleh Negara (pasal 29 ayat 2)

Semua kegiatan-kegaitan keagamaan dalam agama Kristen selalu berjalan dalam kerangka ibadah. Sekurang-kurangnya kegiatan-kegiatan itu selalu diawali dan diakhiri dengan doa atau ibadah. Kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk peribadahan karena tujuannya adalah untuk memperdalam iman dan membangun persekutuan iman.

Wajib Mendapatkan Izin dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota (pasal 69 ayat 4)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun