Mohon tunggu...
Freema H. Widiasena
Freema H. Widiasena Mohon Tunggu... Buruh - Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Suka menyendiri dan suka bersama. Cuman nulis ngasal ngawur abal-abal. Jangan pernah percaya tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

BRI, Si Paling UMKM

9 Desember 2023   23:16 Diperbarui: 11 Desember 2023   09:25 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografik, diolah dari berbagai sumber. Grafis oleh aleefrahmanblenderian/simpleseru.

Keresahan Sang Patih

Purwokerto, pada suatu hari. Raden Bei Aria Wirjaatmadja sang Patih Purwokerto sedang menghadiri undangan resepsi. Seorang guru sedang mengkhitankan anaknya.

Resepsi khitanan atau pernikahan adalah hal yang jamak dilakukan masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur. Namun ada yang menggangu priyayi kelahiran Adireja, Banyumas tersebut. Si guru yang bergaji kecil, menggelar pesta yang tampak berbiaya besar. Selidik punya selidik, sang guru menggelar resepsi khitanan anaknya dengan dana pinjaman dari rentenir yang berbunga tinggi.

Bangsawan kelahiran tahun 1831 tersebut kaget dan resah mendapati kenyataan ini. Ia yang diangkat menjadi patih Purwokerto pada tahun 1879 bertekad untuk menolong rakyatnya dari jeratan rentenir sekaligus mengentas kemiskinan karena itu semua. Sebenarnya bukan hanya di Purwokerto. Di seluruh Jawa, bukan hanya pribumi kecil, bahkan sekaliber Bupati pun banyak yang terjerat rentenir.

Sang Patih awalnya memberikan pinjaman berbunga kecil dengan uang pribadinya. Bahkan uang saku anak-anaknya juga ikut terpakai. Namun tentunya, modal pribadi ini tak seberapa dibandingkan kebutuhan rakyat.

Mencari jalan lebih besar, Patih Raden Bei Aria Wirjaatmadja menghadap Asisten Residen Purwokerto, Enginius Sieburgh. Ia meminta izin untuk menggunakan dana kas masjid untuk dijadikan modal kredit untuk rakyat. Menghadapi niat dan ketulusan sang patih, asisten residen menyetujui rencana tersebut dan meminta Wirjaatmadja untuk membuat berkas peralihan kas masjid menjadi modal usaha yang harus diembalikan. Dengan bekal empat ribu gulden, kredit yang diberikan kepada rakyat semakin meluas jangkauannya.

Namun langkah ini tak berjalan mulus. Pemerintah pusat kolonial mendengar hal ini dan memberikan teguran. Uang kas masjid hanya diperuntukkan untuk kegiatan asjid. Dilarang digunakan untuk kepentingan umum masyarakat. Tahun 1983, pemerintah kolonial menerbitkan aturan yang mengawasi uang kas semua masjid secara ketat.

Bang Priyayi, Bank Pertolongan

Asisten Residen Sieburghsegera melaksanakan langkah rekoveri. Ia langsung menghimpun dana dari penjabat Eropa maupun pribumi untuk mengembalikan uang kas masjid yang digunakan sebagai modal. Beruntung, peristiwa ini tidak menimbulkan dampak signifikan di masyarakat. Masyarakat debitur yang meminjam tetap mengembalikan pinjaman secara tertib dan teratur.

Tekad sang patih tidak berhenti karena ini semua. Semangat melayani rakyat justru membuat langkahnya semakin kuat. Bersama tiga pribumi Jawa lainnya, yaitu Raden Atma Sapradja, Ondercollecteur (wakil pengumpul pajak) Afdeling Purwokerto; Raden Atma Soebrata, Wedana Distrik Purwokerto; dan Raden Djaja Soemitra, asisten wedana kelas satu Purwokerto mereka membentuk badan hukum yang dicatat oleh Asisten Residen Enginius Seiburgh. 

Tanggal 16 Desember 1865, terbentuklah De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofde atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto. Inilah tanggal yang kemudian ditetapkan menjadi hari lahir BRI. Karena keberadaannya bermisi memberikan pertolongan kepada rakyat pribumi, bank ini dijuluki Bank Pertolongan

Syangnya, lagi-lagi niat mulia ini tak berjalan mulus. Akta pendirian bank sempat ditolak oleh Gubernur Jenderal Kolonial di Bogor. Aturan kala itu, pribumi dilarang memimpin badan hukum. Alhasil, pemimpin bank dijabat oleh Asisten Residen Purwokerto. Meski demikian, Raden Wirjaatmadja tetaplah yang bergerak dan berperan besar menjalankan dan memajukan bank ini.

Pada tahun 1897, Wolff van Westerrode menggantikan Enginius Sieburgh sebagai Asisten Wedana Purwokerto. De Wolffe sangat paham dengan konsep bank-bank petani di Jerman. Akhirnya, nama bank pun berubah menjadi Bank Bantuan Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto. 

Tahun 1904, aturan kolonial berbuah dan akhirnya pribumi bisa memimpin institusi berbadan hukum. 

Setelah status berbadan hukum turun, dalam setahun aset Bank Purwokerto terus melesat dan dikenal luas, sejak saat itulah Bank Purwokerto menjadi perhatian seluruh tanah Jawa. Bahkan menjadi topik perbincangan dalam sidang parelemen di Belanda. Bank Purwokerto dianggap sebagai model sukses upaya pengentasan kemiskinan penduduk, terutama untuk melepaskan masyarakat dari cengkraman lintah darat.

Di Banyumas khususnya di Purwokerto, selain Wirjaatmadja adapula Margono Djoyokusumo yang merupakan ahli koperasi yang akhirnya mendirikan Bank BNI 46.

Singkat cerita, bank yang didirikan Raden Bei Aria Wiraatmadja semakin berkembang hingga Indonesia merdeka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946 Pasal 1, BRI pun dinobatkan sebagai bank pemerintah pertama. Kegiatan mereka sempat terhenti pada 1948 saat Indonesia dilanda perang. Namun, usai Perjanjian Renville 1949, bank ini kembali beroperasi.

Pahlawan UMKM

Tahun 1992 BRI menjadi perseroan terbatas. Awalnya kepemilikan BRI masih 100% di tangan Pemerintah RI, sampai akhirnya pemerintah memutuskan untuk menjual 30% saham bank. Sejak saat itu, bank ini menjadi perusahaan publik.

Hingga saat ini, BRI identik dengan usaha kecil, usaha rakyat, rakyat luas, atau UMKM (usaha mikro kecil menengah) sebagaimana awal dicetuskan oleh Patih Raden Aria Wirjaatmadja. 

UMKM memang mahkota dalam perekonomian Indonesia. Sebanyak 97% tenaga kerja di negeri ini diserap oleh sektor UMKM. UMKM juga menyumbang 60% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Hingga pertengahan tahun 2023, BRI telah menyalurkan kredit kepada 35,4 juta UMKM. Kredit yang disalurkan ini setara dengan 60% dari kontribusi keseluruhan terhadap target pemerintah. 

Pada kuartal I/2023, perusahaan penyaluran kredit pada segmen UMKM sebesar Rp989,6 triliun atau mencapai 83,86 persen dari total kredit yang disalurkan BRI. Sedikit menengok ke belakang, per Mei 2021, perbankan nasional menyalurkan kredit sebesar Rp 1.024,40 triliun. Dari total nilai tersebut, Rp 723 triliun atau 70,66%-nya disalurkan oleh BRI.

Lebih spesifik ke Himbara (Himpunan Bank Negara), hingga akhir September 2023 Himbara telah menyalurkan kredit untuk UMKM senilai Rp 1.600 triliun. Dari jumlah tersebut, 83%-nya merupakan pembiayaan yang dilakukan BRI.

Per September 2023 ini juga BRI menyalurkan kredit Rp 1.250,7 triliun, naik 12,5% secara year-on-year (yoy). Dari nilai tersebut, Rp 1.038,9 triliun atau 83,06%-nya disalurkan ke sektor UMKM. Bila dibedah lebih dalam, kredit UMKM BRI juga tumbuh 11,01% secara yoy.

Benarkah BRI se-UMKM itu?

Saya pribadi sangat yakin benar adanya. Jika kita coba mengkonfrontasinya dengan bukti empiris, akan kita temui kenyataan bahwa nasabah BRI memang bejibun banyaknya. Jika kita tanya ke rekan nongkrong ngopi, niscaya rata-rata mereka adalah nasabah BRI. Aplagi jika kita pergi ke pedesaan. Bila kita teliti secara acak, nyaris kita akan bertemu dengan nasabah BRI.

Jumlah kantor BRI juga jauh lebih banyak ketimbang bank lain. Dan yang datang ke kantor BRI, jika kita cermati, rata-rata juga pelaku UMKM. Ini bukan fakta tersembunyi sebenarnya. Ini adalah fakta terbuka yang kita semua mudah untuk mengetahuinya. Kenyataan bahwa BRI adalah si paling UMKM, niscaya memang benar adanya.

BRI Untuk Indonesia

Saat ini kita seperti sedang berada di masa transisi dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Namun jika kita dalami, meski menimbulkan banyak perubahan -pusat perbelanjaan tutup dan jualan secara daring/online semakin menggurita-porsi UMKM tampaknya tidak berubah. Yang berubah hanya cara bekerjanya saja. Dari bertemu langsung dengan pembeli, menjadi bertemu melalui jagad maya.

Bagi pelaku UMKM, era digital tampaknya justru semakin menguatkan bisnis mereka. Jualan yang dulu terbatas di depan kios, kini bisa merambah ke banyak tempat melalu metode pemesanan, pembayaran, dan pengiriman yang semakin praktis dan efisien.

Beberapa bisnis yang awalnya juga hanya bisa dijalankan dalam skala besar, kini jadi bisa dijalankan dalam skala yang lebih kecil, merata, dan dilakukan oleh banyak pihak. Percetakan misalnya. Dulu kalender harus dicetak dalam jumlah banyak untuk memenuhi skala ekonominya. Kini dengan perkembangan digital dan mesin yang semakin mutakhir, kalender bisa dicetak dalam jumlah satuan sekalipun. Perkembangan seperti ini telah menimbulkan tumbuhkan lini-lini usaha baru yang sebelumnya belum ada atau ada namun hanya dalam skala bisnis besar.

Kita yakin, BRI pasti sudah mengikuti perkembangan semacam ini, mengadaptasikan diri dengan perubahan yang ada, dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi masa depan yang bisa jadi akan berbeda sama sekali. Digitalisasi BRI sudah lama berlangsung dan sudah luas diadopsi masyarakat. Lebih mendalam tentang BRi digital bisa disimak pada ulasan ini.

Yang menjadi tantangan, kami pikir justru diri kita sendiri sebagai pelaku usaha, khususnya UMKM. Perubahan itu memang keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi. Namun bisa jadi perubahan itu terjadi dengan begitu cepat dan terkadang ekstrem. Kita sebagai pelaku usaha, wajib untuk terus berbahagia dalam bekerja cerdas menghadapi masa depan yang selalu penuh dengan kejutan.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kutipan ini, dan selamat ulang tahun BRI. Sugeng tanggap warsa. BRI pasti akan tetap, terus, dan selalu memberi makna untuk Indonesia.

Sering orang bilang bahwa UMKM itu harus diadvokasi. Tidak. UMKM itu harus diedukasi. Lebih penting mengedukasi daripada mengadvokasi. Kenapa demikian? Mengadvokasi, kita menempatkan UMKM di bawah dan kemudian bank/lembaga keuangan itu di atas. Maka kemudian diadvokasi ke atas. Sesungguhnya kalau kita bisa edukasi, mereka bisa sejajar dengan bank atau lembaga pembiayaan. Maka sekarang kita fokus saja pada edukasi UMKM. -Sunarso, Direktur Utama BRI.-

  • Freema Bapakne Rahman. 
    Petani & pelaku UMKM.
    Penerima KUR melalui BRI.
    Tinggal di Kediri, Jatim.
    Dapat ditemui melalui Instagram HDW Farm.


===

Referensi. https://bri.co.id/ https://www.tagar.id/sejarah-dan-perkembangan-bank-rakyat-indonesia-bri https://kumparan.com/berita-update/bank-bri-dan-sejarah-perkembangannya-hingga-kini-1uQrw8jKYTj/full https://purwokerto.inews.id/read/5515/sejarah-bank-pertama-indonesia-yang-lahir-di-kota-purwokerto https://lifepal.co.id/media/ra-wiraatmadja-sang-pendiri-bri-memiliki-kisah/ https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/data-umkm-jumlah-dan-pertumbuhan-usaha-mikro-kecil-dan-menengah-di-indonesia  https://finansial.bisnis.com/read/20230714/90/1674646/punya-11-anak-usaha-bri-bbri-ungkap-jumlah-nasabah-umkm-yang-dilayani https://finansial.bisnis.com/read/20231208/90/1722303/asa-bri-mengantar-umkm-naik-kelas https://digital.bri.co.id/article/transformasi-digital-perbankan-bri-tren-disruptif-8qie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun