Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Membaca, Berproses, Menulis, dan Berbagi || Portal Pribadi: www.tafenpah.com www.pahtimor.com www.hitztafenpah.com www.sporttafenpah.com ||| Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Berangkat Kerja Berasa Dikejar Waktu, tapi Itulah Resiko Hidup, dan Ada Happy Ending-nya

29 Januari 2023   19:16 Diperbarui: 29 Januari 2023   19:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berangkat kerja berasa dikejar waktu, tapi itulah resikonya, dan ada happy endingnya | Sumber gambar;Reaktor

Siapa pun yang sudah memasuki dunia kerja, pasti mengalami situasi yang kadang menyenangkan maupun yang tidak menyenang.

Ya, itulah resiko di balik pilihan sebagai karyawan. 

Jika dipilih, tentunya kita ingin menjadi bos, alias punya usaha sendiri. Keuntungannya adalah kita bebas menentukan jam kerja.

Ya, bisa dibilang fleksibel dan sudah pasti menyenangkan lho.

Namun, kebebasan itu berbanding terbalik, bila kita masih bekerja dengan orang lain.

Di mana, kita akan berhadapan dengan berbagai peristiwa, yang kadang mendorong kita untuk berhenti bekerja.

Masalahnya, kita belum memiliki bayangan apa-apa tentang usaha yang kita rintis.

Kalau pun kita sudah memiliki plan A - Z, tentunya kita berani memutuskan untuk resign dari tempat kerja sekarang.

Karena kita sudah mempunyai tujuan yang pasti, yakni; menjadi entrepeneur muda yang energik dan berwawasan luas tentang bidang usaha yang akan kita geluti.

Terlepas dari dinamika atau pun suka dan duka di lingkungan kerja, sebagai Karyawan Swasta, saya punya pengalaman seputar waktu.

Karyawan Dalam Bayangan Waktu

Apa pun  profesi yang kita jalani saat ini, itu pun tidak pernah lepas dari perputaran waktu.

Mengulik waktu, tentunya pandangan kita akan tertuju pada salah satu filsuf kontroversial yang pernah dikaitkan dengan rezim NAZI Jerman, yakni filsuf Martin Heidegger.

Ketika musim salju turun dan menerpa negeri Panzer, Jerman pada saat kejayaan bidang Filsafat di Eropa, kekasih gelap Hannah Arendt (Martin Heidegger) ini bertanya tentang waktu.

"Jika kehidupan berawal dari waktu dan waktu sendiri yang mengakhiri kehidupan manusia, lantas apa itu waktu" begitulah pertanyaan awal dari filsuf Martin Heidegger ini.

Hal demikian semakna dengan apa yang saya alami, terutama sebagai Karyawan Swasta di salah satu Sekolah yang berada di kota Tangerang, Banten.

Setiap pagi tepat pukul 06.15 WIB saya sudah meninggalkan kontrakan yang berada di Kapuk Pulo, Cengkareng, Jakarta Barat menuju Tangerang.

Rutinitas ini kadang mendorong saya dalam pemikiran-pemikiran destruktif, yakni untuk apa sih setiap pagi saya harus menerpa badai dingin serta polusi dan kemacetan kota Jakarta.

"Apa sih yang saya cari dari kehidupan ini, terutama dalam dunia pekerjaan?" Itulah sekelumit pertanyaan yang ada dalam benakku.

Lebih sadisnya adalah, mengapa hidup saya berasa dikerja waktu?

Dalam diam, saya masuk dalam permenungan tentang pemikiran-pemikiran destruktif di atas.

Hasilnya, saya pun menemukan insight baru seputar nikmatnya bekerja.

Pertama; Saya merasa hidup saya jadi bermakna

Kebermaknaan hidup saya saat ini ada di lingkungan kerja.

Karena selama bekerja, saya masih mendapatkan kecukupan hidup dan kedamaian.

Artinya; setiap akhir atau awal bulan, saya sudah tahu berapa cuan yang ada dalam rekeningku.

Dari penghasilan tersebut, saya masih berbagi untuk orang tua, adik, kebutuhan saya sebagai anak rantau, dan berbagai hal lainnya.

Kedua; Saya mendapatkan Bos atau Pimpinan yang mengajarkan saya tentang etos kerja.

Saya bersyukur, karena selama saya bekerja di Jakarta, saya belum pernah menemukan Bos yang mau mengajarkan karyawannya untuk mengatur cara keuangannya, selain nilai-nilai kerja.

Lain kisah dengan pimpinan saya saat ini. Di mana, pembawaannya yang bersahaja, komitmen, kerja keras, kerja cerdas, selalu optimis dan tanpa memandang atau membedakan karyawan yang satu dan lainnya, ikut memberikan insight-insight baru bagi perjalanan hidupku.

Terima kasih untuk ajarannya Ibu

Ketiga; Saya menemukan komunitas Baru

Sadar atau pun tidak, setiap kita berganti bidang pekerjaan, di situlah kita mendapatkan komunitas yang baru.

Komunitas yang saya alami saat ini, tentunya saling mendukung dalam memajukan visi dan misi dari Lembaga Pendidikan tersebut.

Saya bangga berada di antara mereka.

Selain itu, komunitas ini membawa saya pada komunikasi lintas budaya. Ini benar-benar hal unik yang pernah saya dapatkan di lingkungan kerja.

Keempat; Dunia  saya lebih berwarna

Warna-warni kehidupan saya di lingkungan kerja, tersemai dalam semangat rendah hati dan selalu mengutamakan kepentingan bersama di atas ego sendiri.

Meskipun pada aplikasinya, kadang ada hal yang sesuai maupun sebaliknya.

Tapi,itulah secercah pengalaman saya sebagai karyawan.

Epilog

Coretan saya di atas bukan sebagai pledoi atau pembelaan.

Namun, itulah realita yang saya alami dalam perputaran waktu yang telah mengantarkan saya pada kesadaran-kesadaran baru, khususnya di lingkungan kerja.

Kesimpulannya, meskipun Pemerintah sudah mencabut PPKM, terutama pro dan kontra di kalangan pekerja muda yang memilih WFO atau WFH.

Bagi saya, lebih baik kembali bekerja di kantor, ketimbang berjibaku dengan rutinitas yang membosankan selama bekerja dari rumah.

Karena ada banyak hal baru yang nantinya kita dapatkan di lingkungan kerja bersama rekan-rekan karyawan maupun pimpinan.

Terima kasih untuk sang waktu

Karena kamu telah mengajarkanku

Tentang perjalanan hidup

Salam hangat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun