Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Membaca, Berproses, Menulis, dan Berbagi || Portal Pribadi: www.tafenpah.com www.pahtimor.com www.hitztafenpah.com www.sporttafenpah.com ||| Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Mata Rekening

16 Agustus 2020   00:46 Diperbarui: 21 Agustus 2020   15:10 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aliran senja kembali mengundang ribuan emosi yang terpenjara dalam diriku. Aku terpana seakan tak berdaya dengan wabah virus corona. Ribuan kecemasan telah melemahkan hari--hariku. Karena akulah korban kecemasan dibalik indahnya senja.

Jauhku mengembara, melintasi samudera lautan, menembusi samudera impian, menggapai pelangi impian. Pelangi itu indah. Karena banyak warna. Manusia itu sempurna. Karena banyak karakter. Di antara ribuan karakter manusia, aku terhipnotis di bawah keindahan senja kepanikan.

Diriku terhipnotis akan kelaparan. Karena akulah korban kepanikan atas virus corona. Andaikan aku adalah pemilik virus, maka akulah yang membasmi jurnalis amatir yang berkeliaran di luar sana. Karena mereka telah menyebarkan berita--berita hoaks yang semakin memperparah lingkungan di mana aku mengembara. Jurnalis amatir yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, demi meraup rupiah dan dollar yang membanjiri rekening mereka. Akan tetapi, dibalik hujan rupiah dan dollar dalam rekening mereka, ada penderitaan jiwa--jiwa penikmat senja.

Akulah penikmat senja. Senja telah pergi menjauh dari hidupku. Karena aku kehilangan pekerjaan. Rasa nyaman yang pernah menyejarah bersamaku, sebelum kehadiran jurnalis amatiran telah menghilang begitu saja. Seluas tinta pelangi, aku menangis meratapi pengembaraanku di tanah rantau. Bahkan lebih sadisnya, aku melihat jiwa -- jiwa terpenjara yang merindukan hujan senja di akhir bulan maret.

Senja telah jatuh di akhir bulan maret. Sejauh mata memandang, segalanya menakjubkan. Pertama kali dalam sejarah hidupku, aku melihat rumah--rumah ibadatku kosong. Bangunan- bangunan mega bermotifkan sentuhan ala Eropa, hanyalah sekedar keindahan bersayap. layaknya kebahagiaan bersayap. Di manakah letak eksistensi Tuhan? Apakah Tuhan sudah mati? Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf Friedrich Nietzsche.

Aku akan terus berkarya, walau dunia tak meminta. Masalah psikologis dan uang telah menghilangkan sendi -- sendi kehidupan manusia. Senada dengan masalah kepanikan yang tak mengenal batas usia, status pendidikan, budaya dan suku. Dunia seakan tak berdaya dengan usianya. Jiwa -- jiwa terpenjara berlari mendahului batas usianya. Bahkan jiwa -- jiwa yang selalu bermandikan hujan ber-Ac semakin panik bersama media sosial.

Sebagai penikmat senja, aku terus berlari menggapai samudera pelangi. Langit yang cerah jatuh di tepi dermaga. Wajah -- wjah keriput menari bersama usia. Dibalik termakannya usia mereka, ada balutan kerinduan yang amat mendalam akan kehadiran cinta bersama keluarganya. Ribuan karakter disatukan dalam ruang dan waktu. Ada kerinduan yang terbersit dari pancaran senyuman wajah -- wajah nan keriput, menembusi kebun raya bogor, menggapai pantai Mutiara Jakarta Utara. Takdir pun membawa aku menyejarah bersama impian seantero jiwa kepanikan.

Perpisahan itu memang datang tiba -- tiba tanpa persiapan di akhir bulan Maret. Sore telah jatuh di tempat pemancingan Pantai Indah Kapuk (PIK). Aku teringat akan saat kebersamaan kita. Rasanya kaget berbalut rindu, sembari aku melepaskan kepergianmu bersama senja kepanikan.

Senja telah datang dan pergi. Rasa rindu akan canda tawamu, semakin mencekam hidupku. Karena aku tak sanggup berakselerasi dengan bayanganmu dibalik senja. Mungkin kamu bukan cinta absolut kehidupan. Tapi, aku tak tergiur dengan kesuksesan dan kemewahan yang orang lain dapatkan. Aku hanya tergiur dan terinspirasi dengan kerja keras serta pengorbanan mereka untuk mencapai level kemewahan mereka. Terkadang aku harus bersikap gila untuk menemukan versi terbaik diriku.

Cinta membawa ribuan karakter, menembusi kebun raya Bogor, menggapai awan  kebosanan universal. Bosan itu masalah universal. Karena setiap orang pasti merasa bosan. Apalagi kebosanan yang bersumber dari masalah penantian. Aku sudah lama menunggu panggilan kerja. Bersama senja kepanikan aku menyejarah. Satu menit, satu jam, satu tahun tak terulang lagi. Waktu terus berputar, meninggalkan dermaga kehidupan yang satu, menuju dermaga kehidupan yang lain. Waktu hanyalah aliran sungai yang menembusi drainase penjara masa laluku.

Mudik adalah obat terlaris para perantau. Rasa rindu akan kehangatan keluarga, kembali memanggil jiwaku untuk pergi menembusi lorong -- lorong tersempit alam semesta dan kembali menyejarah bersama seantero kampung halamanku dari berita -- berita virus corona yang bersileweran dari sumber  - sumber tak terpercaya jurnalis amatiran.

Marah, benci, dendam telah melebur menjadi satu entitas kepanikan dalam arsip jantungku. Berkas -- berkas kepanikan masih tersimpan rapi dalam memori rahasiaku. Aku merasa terbunuh oleh rasa panik. Aku merasa dunia telah berhenti berputar. Karena dunia sedang dilanda oleh rasa cemas dan kepanikan yang berlebihan. Justru yang menjadi musuh terbesar jiwaku, bukanlah masalah virus corona. Melainkan rasa cemas, takut, panik dan berita -- berita hoaks. Masalah -- masalah psikologis inilah yang akan memunculkan adanya kader -- kader pemimpin suatu bangsa yang tampil sebagai pahlawan.

Apakah virus corona hanyalah ciptakaan para penguasa yang haus akan kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan terbesarku adalah, mengapa disebut virus corona? Kok, bisa manusia tahu akan adanya virus ini. Berarti hipotesanya adalah orang yang menyebarkan virus corona adalah orang yang telah menciptakan virus corona.

Aku tak tahu berapa ribu miliar dollar telah dikucurkan oleh para penguasa yang berkonspirasi dalam menciptakan masalah kepanikkan dunia. Ribuan bahkan jutaan dollar telah membanjiri rekening para jurnalis amatir yang telah meresahkan masyarakat. Pepatah latin,"Qui desiderat pacem, bellum praeparat artinya: siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang." Mungkin akan ada penguasa -- penguasa baru yang bermunculan dibalik kehadiran virus corona. Itulah aktor--aktor dibalik kehadiran virus corona. 

Pemerintah Indonesia tetaplah berkarya, walau dunia tak meminta dan merestuimu. Rakyat indonesia selalu bersamamu. Jangan dengarkan gonggongan para kaum sofis dunia dan bangsa yang tercinta ini. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Inilah impian terbesarku sebagai generasi muda bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun