Fransiskus Momang, Guru dan Anggota Forum pemuda NTT-Kutai Timur-Kaltim
Indonesia hari ini sedang dalam kondisi kritis! Kondisi kritis ini disebabkan oleh banyaknya persoalaan yang membelenggu bangsa, khususnya persoalaan politik dan demokrasi. Salah satu akar persoalaan politik-demokrasi itu ialah adanya kekuatan oligarki dalam lanskap politik yang berdampak pada krisis demokrasi.
 Krisis demokrasi itu ditandai dengan pembungkaman suara kritis para aktivis lingkungan, seperti yang dialami oleh Mus Frans dari Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, (Kompas. Com 25/9/25), Polda jatim menyita buku pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis Suseno(Tempo.com 19/9/25), dan terjadi pembatasan kebebasan pers yang dialami jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia saat meliput terkait keracunan MBG di istana negara ( Kompas.id 29/9/25). Persoalaan inilah yang membawa bangsa indonesia ke dalam kondisi yang kritis.
 Negara dalam Genggaman Oligarki
 Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional dalam opini keadilan.id, mengatakan Oligarki terus merangsek ke dalam sistem pemerintahan di dunia guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kehadiran Oligarki, kekuasaan oleh "elit kaya" yang mampu mendonasi kampanye tokoh atau partai politik, membiayai media, memiliki jaringan koneksi yang luas karena uang, menempatkan mereka pada pusat kekuasaan politik. (Yuddy Chrisnandi, Majalah Keadilan 12/7/25)
Hal seperti ini secara jelas dipraktekkan di ruang publik: transaksional dalam partai politik, DPR dan instasi instansi pemerintah serta habitus pembiakan para koruptor yang masih dibiarkan berkelana di atas penderitaan rakyat.
Lalu bagaimana posisi rakyat? Rakyat bukan subyek pembangunan, melainkan sekedar penonton, yang seringkali korban kebijakan yang berpihak pada kepentingan oligarki. Rakyat adalah kaum marginal yang seringkali suara kritisnya dibungkam oleh aparat atas nama negara, padahal ditekan oleh elit politik yang ditopang oleh kaum oligarki. Â
 Di sini kita bisa melihat bahwa di tengah kondisi kritis ini kekuasaan tertinggi negara ini ada pada para oligarki dan elit politik, bukan warga sipil.  Demos dalam politik itu bukanlah rakyat, melainkan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses dalam kratos (pemerintahan), entah itu elit pada umumnya, atau pada khususnya, para oligarki yang memiliki pengaruh politis (budi Hardiman, 2013). Hal ini berdampak pada merosotnya nilai demokrasi. Demokrasi kehilangan kekuatannya dalam menata seluruh sistem bersifat demokratis.
Tatanan masyarakat demokratis merupakan sebuah cita-cita dan orientasi negara demokrasi. Demokrasi memungkinkan negara dan warga negara mengalami kemajuan dalam pelbagai bidang. Hal ini demokrasi ditopang oleh kesamaan-kebebasan(Equality/freedom) dan kedaulatan rakyat (people's sovereignty), keadilan (justice), solidaritas (solidarity) dan keterbukaan (openness) Â yang menjadi unsur sentral dalam demokrasi.
Kondisi seperti ini belum sepenuhnya dialami oleh warga negara pada umumnya dan para aktivis, jurnalis, ormas dan kaum akademisi pada khususnya. Hari ini yang terjadi adalah praktek pembungkaman warga sipil oleh penguasa lewat aparat negara dalam menyuarakan hak-hak.