Dari sekian banyak hal yang saya pelajari saat merantau ke Jakarta, satu yang paling membekas adalah bahwa bertahan hidup bukan hanya soal kerja keras tapi juga soal kecerdikan dalam memilih. Di tengah padatnya jalanan ibu kota dan tingginya biaya hidup, saya menemukan satu keputusan kecil yang berdampak besar, yakni memilih Transjakarta sebagai moda utama perjalanan harian saya.
Enam [6] Tahun bukan waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu saya menjadikan Transjakarta sebagai teman setia setiap hari kerja. Awalnya bukan karena idealisme mencintai transportasi publik, melainkan karena kepepet kondisi keuangan.Â
Saya tinggal di Grogol Jakarta Barat dan bekerja di Jakarta Selatan. Jaraknya tidak terlalu dekat dan bukan sekali dua kali saya mencoba naik Ojek Online. Tapi begitu melihat ongkosnya yang bisa tembus hingga Rp.37.000 sekali jalan, saya sadar ini bukan cara yang bijak.
Bayangkan kalau saya harus Pulang Pergi naik Ojol setiap hari. Sekali jalan Rp. 37.000 berarti Rp.74.000 sehari. Kalau dikalikan 24 hari kerja dalam satu bulan saya harus mengeluarkan sekitar Rp. 1.700.000 hanya untuk ongkos. Sementara saat itu gaji saya sebagai Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri [PPNPN] di Kejaksaan Agung hanya Rp.2.500.000. Lebih dari separuh gaji hanya habis di jalan. Tidak masuk akal dan tidak berkelanjutan.
Sebaliknya jika naik Transjakarta saya hanya perlu membayar Rp.3.500 sekali jalan. Sehari cukup Rp.7.000 dan sebulan hanya sekitar Rp.200.000. Artinya saya bisa memangkas pengeluaran harian hingga Rp.1.500.000. Selisih sebesar itu membuat saya bisa menabung dan mengalokasikan uang untuk hal-hal yang lebih penting seperti belanja kebutuhan sehari-hari, kebutuhan kuliah hingga biaya kos. Semua terasa lebih tenang.Â
Gaji saya memang kecil tapi terasa cukup karena saya pandai-pandai mengelola pengeluaran. Dan Transjakarta mengambil peran besar dalam strategi bertahan hidup saya di ibu kota.
Transjakarta bukan hanya sekadar kendaraan umum. Ia jadi ruang refleksi, tempat saya membaca, merenung bahkan sesekali menyusun draft tulisan.Â
Di dalamnya saya pernah tertidur karena kelelahan, berdiri berdesakan saat jam sibuk, juga terjebak macet panjang saat hujan deras melumpuhkan Jakarta. Tapi semua itu adalah bagian dari perjalanan yang saya syukuri. Saya tidak malu naik bus. Justru saya bangga bisa tetap bergerak dan sampai tujuan dengan biaya yang terjangkau.
Banyak yang berpikir bahwa naik kendaraan pribadi atau Ojek Online adalah simbol kenyamanan. Tapi kenyamanan itu relatif. Bagi saya kenyamanan adalah ketika saya bisa tidur malam tanpa memikirkan kekurangan uang. Ketika saya bisa membantu keluarga di kampung tanpa mengorbankan kebutuhan saya sendiri. Ketika saya bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit demi pendidikan yang lebih baik. Dan semua itu terjadi karena saya tidak boros untuk urusan transportasi.
Saya ingat betul saat pertama kali pindah ke Jakarta. Saya tidak punya banyak pilihan. Uang saya pas-pasan dan saya harus pandai-pandai mengatur semuanya agar tidak kelaparan di akhir bulan.Â
Transjakarta membuka ruang untuk itu. Dengan satu kartu saya bisa menjangkau banyak wilayah. Dari Grogol ke Blok M lalu transit ke halte-halte lain menuju kantor. Bahkan saat saya harus ke Kampus, Transjakarta tetap menjadi pilihan utama saya pulang. Murah, aman dan cukup tepat waktu.
Bertahun-tahun kemudian setelah saya lulus Kuliah dan telah menjadi Advokat, kebiasaan ini tetap terbawa. Bukan lagi karena saya tidak mampu naik kendaraan pribadi, tapi karena saya tahu betul nilai di balik kebiasaan ini. Transportasi umum bukan hanya soal ongkos murah. Ia juga soal kedisiplinan, soal menepati waktu, soal kebiasaan hidup sederhana yang menenangkan.
Kini saya menyadari bahwa keputusan untuk memilih Transjakarta bukan sekadar keputusan praktis. Ia adalah simbol dari perjuangan panjang, dari tekad untuk bertahan di tengah keterbatasan dan dari harapan bahwa hidup hemat bukan berarti hidup menyedihkan. Saya bisa berangkat kerja tanpa waswas. Saya bisa pulang dengan damai. Saya bisa tidur dengan kepala ringan karena ongkos jalan tidak lagi menjadi beban harian.
Jakarta memang keras tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Dan saya percaya setiap orang punya cara masing-masing untuk bertahan. Bagi saya, bertahan berarti tidak gengsi naik bus kota. Bertahan berarti menghargai setiap rupiah yang keluar. Bertahan berarti tahu mana kebutuhan dan mana keinginan.
6 Tahun bersama Transjakarta bukan hanya cerita tentang perjalanan dari halte ke halte. Tapi juga perjalanan menuju kedewasaan dalam mengelola keuangan dan membangun hidup yang stabil. Kini saya bisa bilang dengan tenang, naik Transjakarta membuat gaji saya aman dan dompet saya tetap tenang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI