Transjakarta membuka ruang untuk itu. Dengan satu kartu saya bisa menjangkau banyak wilayah. Dari Grogol ke Blok M lalu transit ke halte-halte lain menuju kantor. Bahkan saat saya harus ke Kampus, Transjakarta tetap menjadi pilihan utama saya pulang. Murah, aman dan cukup tepat waktu.
Bertahun-tahun kemudian setelah saya lulus Kuliah dan telah menjadi Advokat, kebiasaan ini tetap terbawa. Bukan lagi karena saya tidak mampu naik kendaraan pribadi, tapi karena saya tahu betul nilai di balik kebiasaan ini. Transportasi umum bukan hanya soal ongkos murah. Ia juga soal kedisiplinan, soal menepati waktu, soal kebiasaan hidup sederhana yang menenangkan.
Kini saya menyadari bahwa keputusan untuk memilih Transjakarta bukan sekadar keputusan praktis. Ia adalah simbol dari perjuangan panjang, dari tekad untuk bertahan di tengah keterbatasan dan dari harapan bahwa hidup hemat bukan berarti hidup menyedihkan. Saya bisa berangkat kerja tanpa waswas. Saya bisa pulang dengan damai. Saya bisa tidur dengan kepala ringan karena ongkos jalan tidak lagi menjadi beban harian.
Jakarta memang keras tapi bukan berarti tak bisa ditaklukkan. Dan saya percaya setiap orang punya cara masing-masing untuk bertahan. Bagi saya, bertahan berarti tidak gengsi naik bus kota. Bertahan berarti menghargai setiap rupiah yang keluar. Bertahan berarti tahu mana kebutuhan dan mana keinginan.
6 Tahun bersama Transjakarta bukan hanya cerita tentang perjalanan dari halte ke halte. Tapi juga perjalanan menuju kedewasaan dalam mengelola keuangan dan membangun hidup yang stabil. Kini saya bisa bilang dengan tenang, naik Transjakarta membuat gaji saya aman dan dompet saya tetap tenang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI