Dunia tengah bersiap menyambut sebuah keputusan yang hanya terjadi sekali dalam beberapa dekade, pemilihan seorang Paus. Bukan sekadar soal siapa yang akan menggantikan Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025, melainkan tentang siapa yang sanggup menggembalakan Gereja Katolik dalam dunia yang sedang gersang oleh harapan, luka oleh konflik, dan letih oleh ketidakpastian.
Tanggal 7 Mei, konklaf akan dimulai di Kapel Sistina, tempat di mana 135 kardinal dari berbagai penjuru dunia akan berkumpul dalam doa dan pertimbangan mendalam. Di ruang yang dibanjiri sejarah, para pangeran Gereja akan memilih bukan hanya seorang pemimpin spiritual, tetapi juga seorang nabi bagi zaman yang kehilangan arah.
Lebih dari Sekadar Nama
Pemilihan Paus adalah momen ketika sejarah dan harapan bertemu. Setiap nama yang disebut sebagai calon Paus menyimpan bukan hanya potensi, tetapi juga simbol. Dalam pekatnya realitas modern, kita tidak lagi butuh seorang Paus yang hanya menjaga tembok-tembok tradisi. Kita butuh gembala yang membuka pintu, berjalan di antara kawanan, dan menyembuhkan luka umat manusia.
Beberapa nama mencuat sebagai kandidat kuat:Â
- Luis Antonio Tagle, kardinal asal Filipina, menjadi wajah Asia yang penuh kasih, murah senyum, dan dekat dengan umat miskin. Ia dianggap sebagai penerus roh Paus Fransiskus, penuh semangat inklusif dan pelayanan.
- Pietro Parolin, orang kedua di Vatikan sebagai Sekretaris Negara, dikenal sebagai sosok diplomat yang tenang. Tapi justru ketenangan inilah yang menuai tanya: apakah ia cukup berani membawa Gereja pada jalan reformasi?
- Fridolin Ambongo, kardinal dari Kongo yang vokal menyuarakan keadilan sosial dan kepedulian ekologis. Ia mengingatkan bahwa Afrika bukan hanya penerima misi, tapi bagian dari masa depan Gereja.
- Matteo Zuppi, gembala dari Italia yang progresif. Ia mendekati kaum marginal, termasuk komunitas LGBTQ+, dan aktif dalam isu perdamaian global. Zuppi adalah gambaran Gereja yang mendengar lebih dulu, baru kemudian mengajar.
- Peter Erd, kardinal asal Hungaria, dikenal konservatif dan teologis. Namun kedekatannya dengan penguasa nasionalis menimbulkan kekhawatiran: apakah ia mampu menjaga jarak dari kekuasaan politik?
Suara dari Asia Tenggara
Kardinal Ignatius Suharyo dari Indonesia mungkin tak masuk daftar kandidat utama. Tapi kehadirannya dalam konklaf adalah pesan kuat, bahwa Gereja Katolik ada juga di tanah yang plural, yang hidup berdampingan dalam keberagaman, yang tahu rasanya minoritas, namun tetap penuh damai.
Ia membawa wajah Asia Tenggara ke ruang sakral di Roma. Diamnya, barangkali, lebih lantang dari seribu suara.
Lebih dari Gereja, Ini Tentang Dunia
Menjadi Paus hari ini berarti menjadi juru bicara bagi nurani dunia. Dunia yang diterpa perang, kemiskinan, krisis lingkungan, dan kegersangan spiritual. Gereja Katolik dituntut tidak hanya hadir, tapi relevan. Tidak hanya suci, tapi juga berpihak.
Apakah pemimpin baru ini akan tetap bersama kaum papa seperti Paus Fransiskus? Apakah ia akan menjaga pintu Gereja tetap terbuka, atau menutupnya atas nama dogma?