Setiap kali kita bicara tentang Indonesia, ada dua wajah yang muncul. Di satu sisi, negeri ini dikenal dunia karena kekayaan alamnya. Lautnya luas, hutannya lebat, tanahnya subur, tambangnya melimpah, dan manusianya banyak. Namun di sisi lain, ada wajah muram yang tak bisa kita abaikan. Rakyatnya masih banyak yang hidup miskin, gajinya rendah, akses pendidikan terbatas, dan lapangan kerja layak terasa sempit.
Pertanyaan yang menggantung dari generasi ke generasi adalah kenapa kita bisa tetap miskin padahal punya segalanya. Apakah kita memang tidak ditakdirkan sejahtera? Atau ada sesuatu yang salah dalam cara kita mengelola negeri ini?Â
Sumber Daya Alam yang Jadi Kutukan
Kekayaan alam selalu kita sebut sebagai anugerah. Tapi dalam perjalanan sejarah, anugerah itu sering berubah menjadi kutukan. Banyak negara kaya tambang justru terjebak dalam kemiskinan, ketimpangan, bahkan konflik. Fenomena ini dikenal dengan istilah resource curse. Sayangnya, Indonesia termasuk yang sering disebut dalam daftar itu.
Kita punya minyak, gas, batubara, emas, tembaga, nikel, hingga hutan tropis. Tetapi sebagian besar hasilnya tidak pernah benar-benar dirasakan oleh rakyat banyak. Kenapa? Karena sejak awal pengelolaan sumber daya alam lebih sering dikuasai oleh segelintir elit politik dan perusahaan besar, termasuk asing. Kontrak jangka panjang, sistem bagi hasil yang timpang, hingga praktik rente menjadi cerita sehari-hari.
Ambil contoh minyak dan gas. Pada masa awal kemerdekaan, kita masih punya kendali terbatas. Tetapi sejak Orde Baru, kontrak dengan perusahaan multinasional membuat sebagian besar keuntungan mengalir ke luar negeri. Begitu juga dengan tambang emas raksasa di Papua. Emas diangkut keluar, sementara masyarakat di sekitar tambang masih banyak yang hidup dalam kemiskinan.
Hutan kita yang seharusnya menjadi paru-paru dunia malah ditebang habis untuk kayu dan sawit. Ironinya, rakyat sekitar hutan tidak ikut sejahtera. Mereka justru kehilangan tanah adat, kehilangan akses pada sumber makanan, bahkan terjebak dalam bencana ekologis akibat banjir dan kebakaran hutan.
Di sini terlihat jelas bahwa sumber daya alam kita ibarat ladang emas, tapi pintu ladang itu dijaga oleh orang lain. Kita hanya jadi penonton yang diberi serpihan kecil. Kekayaan yang seharusnya jadi jalan menuju kemakmuran justru jadi jebakan.
Sumber Daya Manusia yang Terjebak Sistem
Banyak orang bilang, Indonesia kaya manusia. Penduduk kita besar, mayoritas usia produktif. Tetapi mari kita jujur: jumlah besar tidak otomatis berarti kualitas besar. Pertanyaannya, apakah sumber daya manusia kita benar-benar sudah jadi modal manusia?