Kalau ada kalimat yang paling sering terdengar dalam politik, mungkin itu adalah kedaulatan ada di tangan rakyat. Kalimat ini terdengar agung, penuh harapan, dan menjadi alasan lahirnya demokrasi. Tapi mari jujur: seberapa sering rakyat benar-benar merasa bahwa dirinya pemilik kuasa? Bukankah sering kali justru pembuat kebijakan yang tampak lebih berdaulat atas hidup kita? Harga sembako naik karena aturan tertentu, ruang hidup rakyat kecil tergusur karena proyek raksasa, sementara rakyat hanya bisa mengeluh di media sosial.
Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan: kedaulatan itu hak alami rakyat. Ia tidak bisa dipindahkan, tidak bisa diwariskan, tidak bisa dibeli. Pembuat kebijakan hanyalah pengelola sementara, bukan pemilik. Jika rakyat apatis, kedaulatan itu bisa terlihat redup. Tapi jika rakyat sadar, ia kembali menyala dan mengguncang segala yang membatasi.
Demokrasi Tidak Berhenti di Bilik Suara
Sering kali orang menganggap demokrasi selesai begitu tinta di jari kering setelah pemilu. Seolah peran rakyat hanya lima menit di bilik suara lalu menyerahkan sisanya pada wakil terpilih. Padahal demokrasi yang sejati jauh lebih luas dari itu. Demokrasi hidup setiap hari, dalam kontrol rakyat, dalam kritik, dalam protes, bahkan dalam obrolan warung kopi yang mempertanyakan kenapa harga kebutuhan pokok tidak kunjung turun.
Jika demokrasi direduksi hanya pada pemilu, rakyat kehilangan separuh kekuatannya. Rakyat seolah dijadikan mesin legitimasi, hanya dipakai untuk mengesahkan kekuasaan lalu dilupakan. Itulah mengapa banyak orang merasa kecewa setelah pemilu usai. Janji tinggal janji, kebijakan lahir tanpa musyawarah, rakyat kembali dipinggirkan.
Di titik ini, kesadaran kolektif menjadi penting. Pemilu memang pintu masuk, tapi setelah itu rakyat tetap harus mengawasi. Bayangkan jika rakyat benar-benar berhenti bersuara setelah pemilu, maka pembuat kebijakan bisa dengan mudah berjalan di jalur kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, jika rakyat terus bersuara, demokrasi tetap hidup.
Kursi Kekuasaan Itu Mandat, Bukan Tahta
Salah satu masalah terbesar dalam politik Indonesia adalah banyak pejabat lupa bahwa jabatan mereka hanyalah mandat, bukan tahta. Mereka sering memperlakukan kursi kekuasaan seolah milik pribadi, bukan titipan dari rakyat. Padahal dalam sistem demokrasi, tidak ada satu kursi pun yang sakral kecuali karena kepercayaan rakyat.
Kebijakan yang mereka buat seharusnya lahir dari aspirasi rakyat. Tetapi faktanya, tidak jarang kebijakan lebih mewakili kepentingan investor, kelompok tertentu, atau bahkan kepentingan pribadi. Kita bisa melihatnya dari undang-undang yang dibentuk tergesa-gesa tanpa partisipasi publik. Atau dari proyek infrastruktur yang mengorbankan kampung warga demi jalan tol, sementara rakyat yang tergusur tidak pernah benar-benar diajak bicara.
Fenomena ini menunjukkan adanya distorsi dalam memahami mandat. Jabatan dipandang sebagai kekuasaan penuh, bukan amanah. Padahal, sejarah Indonesia mengajarkan bahwa mandat bisa dicabut kapan saja. Reformasi 1998 adalah contoh paling nyata bagaimana rakyat menarik kembali mandat yang telah disalahgunakan.