Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kedaulatan Masih di Tangan Rakyat, Bukan di Tangan Pembuat Kebijakan

4 September 2025   07:34 Diperbarui: 4 September 2025   07:34 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demo  (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Ketika rakyat sadar bahwa kekuasaan hanyalah titipan, maka mereka tidak akan segan menuntut pertanggungjawaban. Inilah alasan mengapa rakyat harus selalu diingatkan bahwa mereka pemilik panggung, bukan penonton.

Suara Rakyat Adalah Nafas Demokrasi

Banyak pejabat merasa risih dengan kritik. Mereka menganggap suara rakyat sebagai gangguan, bahkan ancaman. Padahal justru kritik itulah yang menjaga demokrasi tetap sehat. Tanpa kritik, kekuasaan akan membusuk. Tanpa kontrol, kebijakan akan melenceng jauh dari kebutuhan nyata rakyat.

Di Indonesia, sejarah membuktikan suara rakyat mampu mengubah arah bangsa. Dari perlawanan rakyat terhadap penjajahan, hingga reformasi yang menjatuhkan rezim otoriter, semuanya lahir dari keberanian rakyat bersuara. Namun belakangan, ada gejala kelelahan politik. Banyak rakyat merasa suaranya tidak lagi didengar, sehingga memilih diam.

Diam ini berbahaya. Diam bisa ditafsirkan sebagai persetujuan. Diam bisa dianggap sebagai tanda rakyat rela menerima keadaan. Inilah yang sering dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan: semakin rakyat diam, semakin leluasa mereka bergerak.

Karena itu, suara rakyat harus terus dijaga. Bukan hanya lewat demonstrasi besar-besaran, tapi juga lewat cara sederhana: menulis opini, berbicara di forum komunitas, menyuarakan kritik di media sosial, atau melaporkan penyimpangan ke lembaga hukum. Semua itu bagian dari menjaga kedaulatan agar tetap hidup.

Kritik rakyat bukanlah ancaman bagi negara, melainkan nafas demokrasi. Tanpa rakyat yang kritis, negara akan berubah menjadi panggung oligarki, di mana kekuasaan hanya berputar di antara segelintir orang.

Kedaulatan Itu Energi Kolektif

Kedaulatan rakyat tidak bisa dipersonalisasi. Ia adalah energi kolektif. Seorang individu mungkin bisa diabaikan, tapi ketika rakyat bersatu, kekuatan itu tidak bisa ditahan. Inilah yang membuat demokrasi sejati menjadi sistem yang paling adil: karena ia memberi ruang bagi energi kolektif rakyat untuk menentukan arah bangsa.

Sayangnya, energi kolektif ini sering kali dipadamkan dengan cara halus. Salah satunya melalui politik identitas yang memecah belah rakyat. Ketika rakyat sibuk bertengkar karena perbedaan, energi kolektif itu pecah dan mudah dikendalikan. Selain itu, arus informasi yang simpang siur juga membuat rakyat bingung membedakan mana kepentingan sejati, mana sekadar permainan politik.

Di sinilah pentingnya literasi politik. Rakyat perlu sadar bahwa mereka punya kekuatan besar jika bersatu. Ketika suara rakyat bergema serentak, kebijakan apa pun bisa diguncang. Bahkan kebijakan yang sudah diketok palu pun bisa dibatalkan jika rakyat benar-benar bersatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun