Menjadi wakil rakyat di negeri ini ternyata jauh lebih mudah daripada menjadi pegawai biasa di sebuah perusahaan swasta. Untuk melamar sebagai staf administrasi, kamu harus mengajukan CV, melampirkan ijazah, mengikuti psikotes, bahkan wawancara berlapis. Sedangkan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, syarat yang diminta begitu sederhana. Cukup usia minimal, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah dipenjara karena kasus berat, serta mendapatkan kendaraan politik lewat partai. Tidak ada ujian kompetensi, tidak ada tes pemahaman konstitusi, bahkan tidak ada syarat minimal pendidikan yang betul-betul ketat.
Aneh rasanya jika kursi wakil rakyat yang mengatur hukum, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menentukan arah kebijakan negara justru diisi tanpa proses seleksi yang menuntut kualitas. Mengapa bangsa ini seolah tidak pernah serius menetapkan standar yang layak bagi mereka yang disebut wakil rakyat? Apakah karena alasan demokrasi, atau justru ada kepentingan lain yang sengaja membuat posisi ini mudah dimasuki siapa saja?
Demokrasi yang Terlalu Longgar
Sejak reformasi, demokrasi di Indonesia dipuja sebagai pintu kebebasan. Semua orang boleh ikut serta dalam politik, semua orang berhak mencalonkan diri, semua orang bisa dipilih. Di satu sisi, ini membawa angin segar karena rakyat tidak lagi dibatasi oleh rezim otoriter. Tetapi di sisi lain, kebebasan yang terlalu longgar justru melahirkan masalah baru: siapa saja bisa duduk di kursi DPR, bahkan mereka yang sama sekali tidak punya kapasitas legislasi.
Kamu tentu masih ingat maraknya fenomena artis dadakan jadi politisi. Nama besar lebih penting ketimbang isi kepala. Popularitas di layar kaca menjadi tiket emas menuju parlemen. Lalu bagaimana dengan substansi? Bagaimana dengan tanggung jawab besar menyusun undang-undang? Apakah cukup dengan wajah terkenal, lantas otomatis mampu memahami pasal demi pasal yang mengikat hajat hidup orang banyak?
Inilah ilusi demokrasi yang terlalu murah. Kita merasa sudah membuka ruang partisipasi, padahal ruang itu justru dipenuhi oleh orang yang sekadar punya modal atau tenar. Demokrasi akhirnya jatuh pada jebakan populisme, di mana isi lebih sering dikalahkan oleh bungkus. Tidak adanya kualifikasi yang ketat membuat parlemen kita rawan menjadi panggung hiburan, bukan ruang serius untuk menata bangsa.
Standar Profesi dan Kontras yang Mengganggu
Kalau kamu pikirkan sejenak, untuk jadi dokter orang harus kuliah bertahun-tahun, menghafal anatomi, praktik klinik, dan melewati sumpah profesi. Untuk jadi pilot, ada lisensi, jam terbang, dan sertifikasi ketat. Untuk jadi guru TK pun ada kualifikasi akademik minimal. Bahkan untuk sekadar bekerja sebagai staf di kantor pemerintahan, kamu harus melalui tes CPNS yang panjang dan rumit.
Namun untuk menjadi anggota DPR yang kerjanya membuat hukum bagi seluruh rakyat, syaratnya begitu sederhana. Tidak ada uji kemampuan legislasi, tidak ada pembuktian rekam jejak, tidak ada filter integritas yang jelas. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa negara ini lebih serius menetapkan standar bagi profesi teknis, tapi begitu longgar untuk profesi politik?
Kenyataan ini menyisakan rasa janggal. Jika kualitas undang-undang sering kali buruk, tidak heran, karena mereka yang menyusunnya tidak selalu punya kapasitas memadai. Inilah ironi: seorang sopir bus diwajibkan memiliki SIM khusus, sementara seorang legislator yang mengendalikan arah bangsa bisa melenggang masuk tanpa tes khusus apa pun.