Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Kita Sering Merasa Cemas?

31 Agustus 2025   14:56 Diperbarui: 31 Agustus 2025   14:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cemas tidak pernah benar-benar asing bagi siapa pun. Ia muncul seperti tamu yang tak diundang, datang pada saat-saat rawan: ketika bangun tidur, saat menunggu kabar, atau bahkan ketika sedang tidak terjadi apa-apa. Pertanyaan yang sering menggantung di kepala kita adalah, mengapa perasaan ini begitu sering menghampiri? Apakah kita terlalu lemah menghadapi hidup, atau memang ada sesuatu yang lebih mendasar di balik rasa cemas yang terus mengintai?

Kecemasan hari ini bukan lagi sekadar gangguan emosional. Ia sudah menjadi fenomena sosial, budaya, bahkan politik. Dari anak sekolah hingga pekerja kantoran, dari ibu rumah tangga hingga pengusaha besar, semua mengenal rasa cemas dengan kadar berbeda. Inilah yang membuat pembahasan soal cemas selalu relevan, karena ia bukan penyakit segelintir orang, melainkan cermin dari cara kita menjalani zaman yang semakin kompleks.

Cemas Itu Warisan Lama yang Berubah Bentuk

Rasa cemas sesungguhnya adalah warisan evolusi. Nenek moyang manusia hidup dalam kondisi liar, di mana kewaspadaan menentukan apakah mereka bisa bertahan hidup atau mati dimangsa. Tubuh mereka bereaksi terhadap ancaman dengan jantung berdebar, napas cepat, dan kewaspadaan tinggi. Itu semua bagian dari mekanisme bertahan hidup.

Namun, dunia modern sudah jauh berbeda. Singa dan harimau tidak lagi mengintai kita di hutan. Bahaya besar yang kita hadapi bukan predator, melainkan target kerja, persaingan ekonomi, atau komentar pedas di media sosial. Sistem tubuh kita masih sama dengan nenek moyang, hanya saja ancamannya berubah. Maka lahirlah ketidakcocokan: otak kita memperlakukan email yang terlambat dibalas seolah-olah itu serangan dari binatang buas.

Inilah mengapa cemas kerap terasa berlebihan. Otak tidak bisa membedakan dengan tepat mana ancaman nyata dan mana ancaman imajiner. Akibatnya, tubuh bereaksi dengan cara yang sama. Bayangkan, sebuah notifikasi bisa memicu detak jantung lebih cepat, seolah kamu sedang berlari dikejar anjing. Fenomena ini jarang disadari, padahal menjadi kunci kenapa cemas begitu akrab dengan kehidupan modern.

Kehidupan Modern yang Memproduksi Kecemasan

Kita sering mendengar klaim bahwa hidup sekarang jauh lebih nyaman daripada masa lalu. Teknologi memberi kita atap, transportasi, makanan berlimpah, dan hiburan tanpa batas. Tetapi di balik kenyamanan itu tersembunyi jebakan yang membuat otak kita kewalahan.

Setiap hari, kita dibanjiri informasi dari berbagai arah. Media sosial membuat kita bisa tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Sayangnya, arus informasi ini tidak datang dengan saringan. Otak kita menerima berita buruk, gosip, drama selebritas, hingga krisis politik secara bersamaan. Kondisi ini membuat otak tak punya waktu mencerna secara sehat, sehingga cemas pun berkembang biak.

Selain itu, budaya membandingkan diri di media sosial menambah beban. Kita melihat pencapaian orang lain lalu merasa tertinggal. Rasa tidak cukup itu berakar di kepala, menimbulkan tekanan yang sulit dijelaskan. Inilah kecemasan versi modern: bukan lagi takut mati, tapi takut gagal, takut tidak dianggap, dan takut tidak sesuai standar yang entah siapa yang membuatnya.

Kenyataan ini juga diperparah oleh tuntutan ekonomi. Banyak orang bekerja lebih keras, bukan hanya untuk kebutuhan dasar, melainkan demi menjaga status sosial. Hidup yang tidak pernah berhenti berlari menciptakan ruang kosong dalam batin. Ketika ruang itu tidak pernah diisi dengan jeda, cemas tumbuh seperti gulma yang tidak bisa dicegah.

Cemas Lahir dari Pikiran yang Tidak Pernah Diam

Salah satu akar kecemasan yang jarang dibicarakan adalah ketidakmampuan kita untuk berhenti. Otak modern dipaksa untuk terus memproses, terus membandingkan, terus menilai. Akibatnya, kita jarang benar-benar hadir pada satu momen.

Pernahkah kamu duduk santai tanpa ponsel, lalu tiba-tiba merasa gelisah? Seolah ada yang salah jika tidak ada aktivitas. Rasa gelisah itu bukan karena ada bahaya, melainkan karena otak sudah terbiasa berisik. Saat keheningan muncul, cemas datang mengisi ruang kosong.

Inilah ironi terbesar zaman kita: kesibukan dianggap sebagai tanda produktivitas, padahal justru mematikan ruang untuk hening. Hening dipandang aneh, sementara sibuk dipuji. Padahal, justru di dalam keheningan itulah kita bisa mengurai akar kecemasan.

Lebih jauh lagi, cemas juga sering tumbuh dari pola pikir "bagaimana kalau". Pikiran ini menciptakan skenario buruk di masa depan yang bahkan belum tentu terjadi. Ketika kita terus mengulang-ulang kemungkinan buruk, tubuh bereaksi seakan-akan hal itu nyata. Itulah mengapa kecemasan begitu melelahkan, karena kita berperang dengan musuh yang tidak ada.

Berdamai dengan Cemas Bukan Mustahil

Salah kaprah terbesar dalam menghadapi cemas adalah keinginan untuk menghapusnya sepenuhnya. Padahal, cemas adalah bagian dari sistem tubuh. Ia tidak bisa hilang, yang bisa dilakukan hanyalah mengelolanya. Sama seperti rasa lapar, cemas akan selalu ada. Bedanya, kita bisa memilih cara menanggapinya.

Berdamai dengan cemas berarti belajar mengenali kapan ia datang, apa pemicunya, dan bagaimana cara menanggapi tanpa larut berlebihan. Misalnya, ketika jantung berdebar karena menunggu hasil wawancara kerja, kita bisa melihatnya sebagai tanda bahwa diri sedang peduli dan ingin melakukan yang terbaik, bukan sebagai ancaman hidup.

Ada banyak cara untuk menuntun cemas agar kembali ke tempat yang wajar. Sebagian orang menemukan ketenangan lewat olahraga, meditasi, atau doa. Ada yang memilih menulis sebagai cara menyalurkan kekhawatiran. Bahkan berbicara dengan teman atau keluarga pun bisa menjadi jalan keluar. Intinya, berdamai dengan cemas bukan berarti melawan mati-matian, melainkan menaruhnya di ruang yang tepat.

Lebih penting lagi, berdamai dengan cemas berarti menerima bahwa manusia memang rapuh. Kerentanan bukan kelemahan, melainkan pengingat bahwa kita tidak harus selalu kuat. Justru dengan mengakui kelemahan, kita bisa membangun daya tahan yang lebih jujur dan sehat.

Cemas sebagai Cermin Kemanusiaan

Kalau dipikir-pikir, rasa cemas bukan hanya beban, tetapi juga penanda bahwa kita masih hidup. Orang yang cemas berarti masih punya harapan, masih peduli pada hasil, masih takut kehilangan sesuatu yang dianggap penting. Bayangkan jika tidak ada rasa cemas sama sekali, mungkin kita akan mati rasa, berjalan tanpa peduli apa pun yang terjadi.

Cemas mengajarkan kita untuk lebih mengenali diri. Ia menunjukkan titik lemah, menyoroti nilai-nilai yang kita anggap penting, sekaligus memberi ruang untuk bertumbuh. Meski melelahkan, cemas bisa menjadi kompas yang membantu kita pulang ke arah yang lebih jernih.

Karena itu, alih-alih terus membenci rasa cemas, mungkin yang lebih bijak adalah melihatnya sebagai bagian dari perjalanan manusia. Cemas bukan musuh yang harus dihabisi, melainkan guru yang perlu dipahami. Dari sana, kita bisa menemukan cara hidup yang lebih selaras, bukan dengan menolak rasa cemas, tetapi dengan menuntunnya agar tidak mendikte seluruh hidup kita.

Penutup

Kita sering merasa cemas karena otak manusia modern terus dibombardir oleh informasi, tuntutan, dan perbandingan sosial. Rasa cemas bukanlah kutukan, melainkan bahasa tubuh dan pikiran yang kehilangan tempatnya. Dari warisan evolusi hingga jebakan kehidupan modern, dari pikiran yang tidak pernah diam hingga obsesi untuk selalu sibuk, semua itu membuat cemas tumbuh subur. Namun, justru di dalam cemas tersimpan peluang untuk belajar mengenali diri, berdamai dengan kelemahan, dan menata ulang arah hidup. Cemas bukan akhir, melainkan bagian dari jalan manusia untuk memahami bahwa hidup bukan soal bebas dari rasa takut, tetapi tentang bagaimana kita berdiri meski rasa itu ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun