Cemas sebagai Cermin Kemanusiaan
Kalau dipikir-pikir, rasa cemas bukan hanya beban, tetapi juga penanda bahwa kita masih hidup. Orang yang cemas berarti masih punya harapan, masih peduli pada hasil, masih takut kehilangan sesuatu yang dianggap penting. Bayangkan jika tidak ada rasa cemas sama sekali, mungkin kita akan mati rasa, berjalan tanpa peduli apa pun yang terjadi.
Cemas mengajarkan kita untuk lebih mengenali diri. Ia menunjukkan titik lemah, menyoroti nilai-nilai yang kita anggap penting, sekaligus memberi ruang untuk bertumbuh. Meski melelahkan, cemas bisa menjadi kompas yang membantu kita pulang ke arah yang lebih jernih.
Karena itu, alih-alih terus membenci rasa cemas, mungkin yang lebih bijak adalah melihatnya sebagai bagian dari perjalanan manusia. Cemas bukan musuh yang harus dihabisi, melainkan guru yang perlu dipahami. Dari sana, kita bisa menemukan cara hidup yang lebih selaras, bukan dengan menolak rasa cemas, tetapi dengan menuntunnya agar tidak mendikte seluruh hidup kita.
Penutup
Kita sering merasa cemas karena otak manusia modern terus dibombardir oleh informasi, tuntutan, dan perbandingan sosial. Rasa cemas bukanlah kutukan, melainkan bahasa tubuh dan pikiran yang kehilangan tempatnya. Dari warisan evolusi hingga jebakan kehidupan modern, dari pikiran yang tidak pernah diam hingga obsesi untuk selalu sibuk, semua itu membuat cemas tumbuh subur. Namun, justru di dalam cemas tersimpan peluang untuk belajar mengenali diri, berdamai dengan kelemahan, dan menata ulang arah hidup. Cemas bukan akhir, melainkan bagian dari jalan manusia untuk memahami bahwa hidup bukan soal bebas dari rasa takut, tetapi tentang bagaimana kita berdiri meski rasa itu ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI