Kenyataan ini juga diperparah oleh tuntutan ekonomi. Banyak orang bekerja lebih keras, bukan hanya untuk kebutuhan dasar, melainkan demi menjaga status sosial. Hidup yang tidak pernah berhenti berlari menciptakan ruang kosong dalam batin. Ketika ruang itu tidak pernah diisi dengan jeda, cemas tumbuh seperti gulma yang tidak bisa dicegah.
Cemas Lahir dari Pikiran yang Tidak Pernah Diam
Salah satu akar kecemasan yang jarang dibicarakan adalah ketidakmampuan kita untuk berhenti. Otak modern dipaksa untuk terus memproses, terus membandingkan, terus menilai. Akibatnya, kita jarang benar-benar hadir pada satu momen.
Pernahkah kamu duduk santai tanpa ponsel, lalu tiba-tiba merasa gelisah? Seolah ada yang salah jika tidak ada aktivitas. Rasa gelisah itu bukan karena ada bahaya, melainkan karena otak sudah terbiasa berisik. Saat keheningan muncul, cemas datang mengisi ruang kosong.
Inilah ironi terbesar zaman kita: kesibukan dianggap sebagai tanda produktivitas, padahal justru mematikan ruang untuk hening. Hening dipandang aneh, sementara sibuk dipuji. Padahal, justru di dalam keheningan itulah kita bisa mengurai akar kecemasan.
Lebih jauh lagi, cemas juga sering tumbuh dari pola pikir "bagaimana kalau". Pikiran ini menciptakan skenario buruk di masa depan yang bahkan belum tentu terjadi. Ketika kita terus mengulang-ulang kemungkinan buruk, tubuh bereaksi seakan-akan hal itu nyata. Itulah mengapa kecemasan begitu melelahkan, karena kita berperang dengan musuh yang tidak ada.
Berdamai dengan Cemas Bukan Mustahil
Salah kaprah terbesar dalam menghadapi cemas adalah keinginan untuk menghapusnya sepenuhnya. Padahal, cemas adalah bagian dari sistem tubuh. Ia tidak bisa hilang, yang bisa dilakukan hanyalah mengelolanya. Sama seperti rasa lapar, cemas akan selalu ada. Bedanya, kita bisa memilih cara menanggapinya.
Berdamai dengan cemas berarti belajar mengenali kapan ia datang, apa pemicunya, dan bagaimana cara menanggapi tanpa larut berlebihan. Misalnya, ketika jantung berdebar karena menunggu hasil wawancara kerja, kita bisa melihatnya sebagai tanda bahwa diri sedang peduli dan ingin melakukan yang terbaik, bukan sebagai ancaman hidup.
Ada banyak cara untuk menuntun cemas agar kembali ke tempat yang wajar. Sebagian orang menemukan ketenangan lewat olahraga, meditasi, atau doa. Ada yang memilih menulis sebagai cara menyalurkan kekhawatiran. Bahkan berbicara dengan teman atau keluarga pun bisa menjadi jalan keluar. Intinya, berdamai dengan cemas bukan berarti melawan mati-matian, melainkan menaruhnya di ruang yang tepat.
Lebih penting lagi, berdamai dengan cemas berarti menerima bahwa manusia memang rapuh. Kerentanan bukan kelemahan, melainkan pengingat bahwa kita tidak harus selalu kuat. Justru dengan mengakui kelemahan, kita bisa membangun daya tahan yang lebih jujur dan sehat.