Demo selalu menjadi wajah lain dari demokrasi di jalanan. Setiap kali ribuan orang turun ke jalan, membawa poster dan suara lantang, kota seakan berubah menjadi panggung besar yang menyimpan cerita lebih dari sekadar tuntutan politik. Di balik teriakan massa dan spanduk berwarna-warni, ada denyut lain yang bergetar lebih halus: ekonomi. Pertanyaan yang jarang disadari banyak orang adalah apa yang benar-benar terjadi pada roda ekonomi ketika demo berlangsung? Apakah semua hanya berhenti, atau justru lahir sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerugian materi?
Fenomena ini menarik untuk dibicarakan, karena demo bukan hanya peristiwa politik, tapi juga bagian dari mekanisme sosial yang bisa menggerakkan atau menghambat ekonomi. Dari pasar tradisional yang tiba-tiba sepi, kantor yang terpaksa tutup lebih awal, sampai dunia usaha yang resah, semua tersambung pada satu realitas yang sama: demo punya dampak ekonomi yang nyata, baik yang langsung terasa maupun yang hanya bisa dipahami dalam jangka panjang.
Kota yang Lumpuh, Ekonomi yang Terguncang
Setiap demo besar hampir selalu membuat denyut kota tersendat. Jalan utama ditutup, lalu lintas macet parah, dan ribuan orang yang biasanya menggerakkan aktivitas ekonomi terjebak di jalan. Efek paling cepat dirasakan oleh sektor informal. Pedagang kaki lima yang biasanya laris manis di trotoar, justru merugi karena pembeli tak bisa mencapai lokasi mereka. Tukang ojek online kehilangan penumpang karena orang memilih diam di rumah ketimbang terjebak macet. Restoran di sekitar area demo pun bisa mengalami kerugian besar karena kursi-kursi kosong tidak terisi.
Kerugian ekonomi mikro ini seringkali dianggap sepele, padahal jika dihitung secara kumulatif, angkanya bisa mencapai miliaran rupiah hanya dalam satu hari. Ambil contoh Jakarta. Saat demo besar terjadi di kawasan Monas atau Senayan, aktivitas ratusan toko, pusat perbelanjaan, dan kantor terganggu. Dalam kondisi normal, ribuan transaksi terjadi setiap jam, tetapi semua itu seolah berhenti seketika. Bayangkan dampaknya jika demo berlangsung berhari-hari, atau bahkan berulang kali dalam sebulan.
Namun yang menarik, tidak semua sektor mati. Ada juga yang justru diuntungkan. Misalnya, penjual minuman di sekitar lokasi demo, percetakan spanduk, hingga tukang sound system. Bagi mereka, demo adalah ladang rezeki. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekonomi tidak pernah benar-benar berhenti, ia hanya bergeser arah. Sektor tertentu bisa lumpuh, sementara sektor lain justru tumbuh.
Psikologi Pasar dan Bayangan Ketidakpastian
Jika sektor mikro merasakan dampak langsung, pasar finansial justru bergetar dalam dimensi lain: psikologis. Investor, baik lokal maupun asing, sangat sensitif terhadap sinyal ketidakstabilan. Setiap kali demo besar terjadi, terutama jika menyangkut isu kebijakan ekonomi seperti kenaikan harga BBM, upah buruh, atau reformasi pajak, pasar saham dan nilai tukar rupiah bisa ikut bergejolak.
Pasar tidak selalu bereaksi terhadap kerusuhan fisik. Terkadang hanya dengan melihat berita ribuan orang berbondong-bondong menolak kebijakan tertentu, kepercayaan investor bisa menurun. Bagi mereka, yang menakutkan bukan sekadar kerugian sesaat, tetapi ketidakpastian jangka panjang. Modal asing cenderung mengalir ke negara yang stabil, dan setiap demo besar adalah pengingat bahwa stabilitas itu rapuh.
Namun ironisnya, ketidakpastian juga bisa membuka ruang bagi perubahan yang lebih positif. Jika demo memaksa pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang dianggap merugikan, maka dalam jangka panjang pasar bisa merespons lebih positif. Inilah paradoks yang jarang dibicarakan: demo bisa mengguncang ekonomi hari ini, tapi juga bisa menyelamatkan ekonomi esok hari.