Biaya Sosial dan Manfaat yang Tak Kasatmata
Dampak demo tidak berhenti pada kerugian finansial semata. Ada biaya sosial yang lebih sulit dihitung. Misalnya, hilangnya rasa aman warga kota, trauma akibat bentrokan, atau kerusakan fasilitas umum. Semua ini menambah beban ekonomi yang tidak tercatat dalam angka statistik.
Tetapi di balik biaya sosial tersebut, ada pula manfaat yang sering terlewatkan. Demo adalah bentuk koreksi sosial yang bisa mencegah kerugian lebih besar. Ketika masyarakat menolak kebijakan yang dirasa tidak adil, itu adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki. Jika pemerintah mau mendengar, maka demo bisa menjadi rem yang menyelamatkan ekonomi dari kebijakan salah arah.
Ambil contoh perjuangan buruh untuk mendapatkan upah layak. Dalam jangka pendek, demo buruh memang membuat perusahaan dan investor resah. Namun jika tuntutan mereka dipenuhi, daya beli meningkat. Dan daya beli adalah bahan bakar utama pertumbuhan ekonomi nasional. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa demo bukan sekadar pengganggu ekonomi, tetapi juga bisa menjadi pendorong perubahan struktural yang lebih sehat.
Antara Hak Demokrasi dan Aliran Ekonomi
Pertanyaan penting muncul: bagaimana menjaga keseimbangan antara hak demokrasi untuk berdemonstrasi dengan kebutuhan ekonomi untuk tetap bergerak? Demo adalah hak warga negara, tetapi ekonomi juga adalah denyut kehidupan yang tidak bisa dihentikan begitu saja.
Negara-negara maju sudah mencoba menjawab dilema ini dengan menyediakan ruang khusus untuk demo, jauh dari pusat ekonomi. Di Indonesia, hal ini masih menjadi perdebatan. Budaya demo kita cenderung memilih pusat kota sebagai panggung utama, karena di situlah suara bisa didengar lebih keras. Namun dampaknya juga lebih besar terhadap ekonomi.
Barangkali sudah saatnya mencari pola baru. Misalnya, dengan memanfaatkan ruang digital sebagai sarana unjuk rasa. Petisi online, kampanye media sosial, hingga aksi virtual bisa menjadi bentuk protes yang tetap lantang tanpa harus melumpuhkan jalanan. Memang, atmosfer demo fisik sulit tergantikan, tetapi inovasi dalam menyuarakan aspirasi bisa menjadi jalan tengah agar demokrasi dan ekonomi berjalan seimbang.
Membaca Demo sebagai Cermin Ekonomi Kita
Demo bukan hanya cermin dari ketidakpuasan politik, tetapi juga refleksi dari masalah ekonomi yang lebih dalam. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, ketika ketimpangan sosial makin tajam, atau ketika kebijakan dianggap hanya menguntungkan segelintir elit, demo menjadi saluran terakhir untuk meluapkan keresahan. Dengan kata lain, setiap demo adalah indikator bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan baik dalam tubuh ekonomi kita.
Dari perspektif ini, demo bisa dibaca sebagai indikator kesehatan sosial-ekonomi. Negara yang warganya sering turun ke jalan menandakan adanya ketegangan antara kebijakan dengan kebutuhan rakyat. Sebaliknya, jika demo jarang terjadi bukan berarti semua baik-baik saja, bisa jadi masyarakat hanya kehilangan kepercayaan bahwa suaranya akan didengar.