Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Kita Mengejar Diskon Meski Tidak Membutuhkan Barangnya?

25 Agustus 2025   08:10 Diperbarui: 24 Agustus 2025   21:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diskon belanja(Shutterstock/Have a Nice Day Photo)

Hari ini banyak orang berbondong-bondong berburu diskon seakan menjadi pemandangan yang selalu berulang. Dari pusat perbelanjaan, toko online, hingga lapak musiman, momen diskon selalu disambut bak perayaan kecil. Padahal, jika dipikirkan secara logis, banyak dari barang-barang itu sebenarnya tidak dibutuhkan. Namun, tetap saja keranjang belanja penuh, dompet terkuras, dan sesudahnya muncul penyesalan kecil yang sering kali ditutupi dengan alasan klasik, yaitu kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa orang rela mengejar diskon meski barangnya tidak benar-benar penting?

Fenomena ini tidak sekadar soal uang atau potongan harga, melainkan tentang cara manusia merespons godaan, rasa takut kehilangan momen, serta dorongan sosial yang sering kali lebih kuat daripada kebutuhan nyata. Diskon bukan sekadar strategi pemasaran, tetapi juga cermin bagaimana manusia memaknai kepuasan, kemenangan, dan bahkan identitas diri.

Diskon Sebagai Bentuk Ilusi Kemenangan

Bayangkan seseorang masuk ke mal tanpa niat membeli apapun. Namun, begitu melihat papan besar bertuliskan cuci gudang hingga 70 persen, langkahnya berhenti. Ada sensasi yang muncul begitu tiba-tiba, seolah-olah dunia sedang memberikan hadiah. Saat akhirnya barang itu berhasil dibeli, ada rasa puas yang menyerupai kemenangan. Padahal, jika diurai lebih dalam, tidak ada lawan yang dikalahkan. Lawannya justru dirinya sendiri yang kalah oleh godaan.

Diskon menciptakan ilusi bahwa konsumen lebih pintar daripada penjual. Dengan membawa pulang barang lebih murah, muncul kebanggaan yang tidak terlihat namun dirasakan. Seakan-akan ada cerita yang bisa dibagikan kepada orang lain, bahwa dia berhasil mendapatkan sesuatu dengan harga yang jauh lebih rendah. Perasaan menang ini begitu kuat, bahkan mampu menutupi kenyataan bahwa barang tersebut mungkin hanya akan disimpan di lemari tanpa pernah dipakai.

Yang lebih menarik, kemenangan semu ini terus diulang. Diskon berikutnya akan kembali dikejar dengan semangat yang sama, walaupun pengalaman sebelumnya sebenarnya tidak benar-benar menguntungkan. Fenomena ini membuktikan bahwa manusia sering kali lebih mencari sensasi emosional daripada fungsi praktis barang yang dibelinya.

Psikologi Rasa Takut Kehilangan

Salah satu alasan kuat mengapa orang sulit menahan diri saat melihat diskon adalah rasa takut ketinggalan kesempatan. Istilah populernya adalah fear of missing out atau FOMO. Label diskon biasanya selalu dibalut dengan batas waktu atau stok terbatas. Kalimat seperti hanya hari ini atau tinggal 2 barang lagi membuat otak segera bereaksi, mendorong seseorang untuk bertindak cepat.

Ketergesaan ini membuat orang jarang berpikir panjang. Logika bahwa barang tersebut tidak dibutuhkan seketika dikesampingkan. Yang lebih penting adalah tidak kehilangan kesempatan. Diskon membuat kebutuhan palsu tercipta dalam hitungan detik, seolah jika tidak segera bertindak, kerugian besar akan datang menghantui. Padahal, kerugian itu sebenarnya tidak nyata, karena tidak ada kerugian dalam tidak membeli barang yang memang tidak dibutuhkan.

Rasa takut kehilangan ini bukan hanya persoalan psikologis individu, melainkan juga fenomena sosial. Orang takut dianggap ketinggalan tren jika tidak ikut berburu diskon. Melihat teman atau kerabat memamerkan barang hasil belanja diskon sering kali memicu rasa iri atau penyesalan karena tidak ikut serta. Diskon, dalam hal ini, berhasil menciptakan tekanan sosial yang halus namun nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun