Pernikahan selalu menjadi bagian penting dalam peradaban manusia. Dari masa ke masa, ia dianggap sebagai jalan utama menuju kedewasaan, stabilitas, dan kebahagiaan. Namun dunia terus berubah, begitu pula dengan cara kita memandang makna hidup. Generasi hari ini tumbuh dalam kondisi sosial yang berbeda, di mana teknologi, kebebasan individu, dan pandangan baru soal kebahagiaan membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah pernikahan masih relevan?
Pernikahan yang Dulu Dianggap Suci Kini Dipertanyakan
Bayangkan hidup di masa lalu, ketika menikah bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban sosial. Hampir semua orang menjalani pola hidup serupa: sekolah, bekerja, menikah, lalu membangun keluarga. Pernikahan bukan hanya dianggap sakral, tetapi juga menjadi tolok ukur keberhasilan hidup.
Kini paradigma itu mulai bergeser. Generasi muda lebih berani mempertanyakan: mengapa pernikahan harus menjadi tujuan hidup utama? Mengapa orang yang tidak menikah sering dianggap gagal atau tidak lengkap? Pertanyaan ini muncul karena kehidupan modern membuka banyak kemungkinan lain. Orang bisa sukses tanpa menikah, bisa bahagia tanpa pasangan, bahkan bisa merasakan keintiman tanpa formalitas.
Di Indonesia sendiri, tekanan menikah masih kuat. Pertanyaan kapan nikah terus menghantui banyak anak muda, seolah kebahagiaan mereka tidak sah sebelum ada cincin di jari. Padahal realitas menunjukkan, menikah tidak selalu menjamin kebahagiaan. Angka perceraian terus meningkat, konflik rumah tangga kian sering terdengar, dan banyak pasangan muda kewalahan menghadapi beban ekonomi. Fakta-fakta ini membuat orang semakin kritis: jika menikah justru menambah masalah, apa masih relevan dipertahankan sebagai norma wajib?
Di titik inilah relevansi pernikahan mulai bergeser. Dari sesuatu yang dianggap sakral dan wajib, kini ia mulai diperlakukan sebagai pilihan personal.
Generasi Muda dan Eksperimen Kebahagiaan
Generasi milenial dan Gen Z memiliki cara pandang yang berbeda tentang hidup. Bagi mereka, kebahagiaan tidak bisa diseragamkan. Ada yang bahagia dengan menikah muda, ada yang bahagia dengan fokus karier, ada pula yang merasa tenang hidup sendiri. Media sosial memperlihatkan berbagai macam gaya hidup, dan dari situlah tumbuh kesadaran bahwa tidak ada satu resep kebahagiaan untuk semua orang.
Di kota-kota besar, misalnya, banyak anak muda menunda menikah karena alasan finansial. Biaya hidup semakin mahal, sementara gaji stagnan. Membeli rumah atau sekadar menyewa apartemen sudah menjadi perjuangan. Dalam kondisi seperti ini, menikah terasa seperti beban baru. Tak jarang pasangan akhirnya memilih hidup bersama tanpa menikah, atau menjalin hubungan tanpa rencana jangka panjang.
Selain itu, kesadaran akan kesehatan mental juga berpengaruh. Banyak orang kini lebih selektif dalam memilih pasangan, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak menikah demi menjaga kestabilan emosional. Bagi mereka, lebih baik sendiri daripada terjebak dalam pernikahan yang penuh konflik.