Kamu mungkin sering mengalami situasi ini. Membuka ponsel hanya untuk mengecek notifikasi sebentar, lalu tanpa terasa waktu sudah melompat berjam-jam. Rasanya seperti masuk ke lorong tanpa ujung. Begitu sadar, mata pegal, kepala berat, dan jam menunjukkan sudah larut malam. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan kecil. Ia adalah gejala besar dari cara hidup manusia modern yang perlahan membentuk pola pikir, gaya interaksi, hingga cara kita memandang dunia.
Scrolling yang seakan tidak ada habisnya memberi rasa seru dan ringan di awal, tetapi punya dampak yang jauh lebih dalam jika diamati dari sisi psikologi, teknologi, bahkan budaya. Pertanyaan utamanya bukan lagi kenapa kita melakukannya, melainkan mengapa kita rela melakukannya, padahal kita tahu waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.
Godaan Dopamin yang Tak Pernah Kenyang
Otak manusia pada dasarnya menyukai kejutan kecil. Setiap kali kita menemukan konten yang membuat tertawa, merasa penasaran, atau bahkan sekadar membuat kita mengangguk setuju, otak melepaskan dopamin. Sensasi ini sederhana, tetapi sangat adiktif. Bedanya dengan kebiasaan lain, scrolling media sosial menghadirkan ribuan peluang untuk mendapatkan kejutan itu hanya dengan gerakan jari.
Jika dulu dopamin datang dari aktivitas nyata seperti bertemu teman, memenangkan permainan, atau menikmati makanan favorit, sekarang ia hadir lewat layar yang selalu siap menyajikan sesuatu. Dan yang membuatnya lebih rumit, otak tidak pernah merasa kenyang dengan dosis kecil itu. Begitu satu konten selesai, muncul keinginan instan untuk mencari konten berikutnya. Inilah alasan kenapa waktu terasa menguap begitu cepat.
Ada sisi yang jarang dibicarakan. Rasa candu dari dopamin digital ini membuat kita menilai kepuasan instan lebih berharga daripada pengalaman nyata. Seolah-olah dunia di layar menawarkan lebih banyak warna, padahal sering kali itu hanya potongan-potongan kecil yang dipoles untuk terlihat menarik. Inilah jebakan yang membuat kita rela menukar jam berharga dalam hidup hanya untuk sensasi sesaat.
Algoritma yang Lebih Paham Daripada Diri Sendiri
Banyak orang berpikir bahwa scrolling adalah kebiasaan pribadi, padahal sesungguhnya ada mesin besar yang mengatur arah jari kita. Algoritma media sosial bukan sekadar alat yang menampilkan konten acak. Ia adalah sistem canggih yang menganalisis perilaku kita: apa yang kita sukai, berapa lama kita berhenti di sebuah video, topik apa yang membuat kita tertarik, bahkan jam-jam tertentu ketika kita paling aktif.
Dengan bekal data itu, algoritma merancang pengalaman seolah-olah kita sedang melihat dunia sesuai selera pribadi. Konten yang muncul terasa begitu relevan, begitu tepat, seakan platform benar-benar mengerti siapa diri kita. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah proses manipulasi halus. Kita bukan lagi pengguna bebas, tetapi target dari strategi retensi yang dirancang agar tidak beranjak dari layar.
Ada hal menarik di balik fenomena ini. Algoritma membuat kita merasa sedang mengendalikan pilihan, padahal justru sebaliknya. Kita percaya sedang menjelajah sesuai minat, padahal kita diarahkan untuk tetap berada di jalur yang menguntungkan platform. Ilusi kebebasan inilah yang paling berbahaya, karena membuat kita sulit menyadari bahwa waktu sudah tergerus begitu jauh.
Budaya Sibuk yang Membentuk Pelarian Baru
Scrolling berjam-jam tidak bisa dilepaskan dari pola hidup modern yang serba sibuk. Ketika tubuh lelah dan pikiran penat, ponsel menjadi pelarian instan. Tidak butuh tenaga, tidak perlu komitmen besar, hanya butuh gerakan jari untuk merasa sedikit terhibur. Inilah alasan mengapa scrolling sering muncul sebagai ritual sebelum tidur, saat menunggu, atau ketika bosan di tengah aktivitas.
Namun ada lapisan lain yang jarang disorot. Kegiatan ini bukan sekadar hiburan ringan, melainkan cermin dari cara kita menghadapi tekanan sosial. Dalam budaya yang terus mendorong produktivitas dan kecepatan, scrolling hadir sebagai ruang untuk berhenti sejenak. Masalahnya, jeda itu sering kali tidak memberi kesegaran, melainkan hanya menunda rasa lelah yang semakin menumpuk.
Di sinilah muncul paradoks. Kita mencari ketenangan lewat layar, tetapi justru kehilangan energi karena waktu tidur berkurang dan otak terus dipenuhi informasi acak. Lebih jauh lagi, budaya ini membentuk generasi yang terbiasa menghindari kesunyian. Rasa sepi yang dulu bisa dimaknai sebagai ruang refleksi, kini diisi dengan guliran konten tanpa henti.
Waktu yang Hilang dan Ilusi Produktivitas
Salah satu alasan kenapa scrolling begitu sulit dihentikan adalah karena kita jarang benar-benar merasakan kerugiannya. Tidak ada alarm yang berbunyi ketika satu jam terlewat. Tidak ada tanda bahaya ketika kita melewatkan momen penting di dunia nyata. Semua berjalan diam-diam.
Namun jika diamati lebih dalam, kerugian itu nyata. Waktu tidur berkurang, konsentrasi menurun, bahkan kualitas interaksi dengan orang sekitar jadi dangkal. Lebih dari itu, muncul ilusi produktivitas. Kita merasa sedang "mengikuti informasi terkini" atau "menambah wawasan", padahal sebagian besar konten yang kita konsumsi hanyalah fragmen singkat tanpa kedalaman. Informasi cepat tidak selalu berarti pengetahuan.
Kebiasaan ini juga membuat kita kehilangan kemampuan untuk fokus dalam jangka panjang. Ketika otak terbiasa menerima potongan informasi singkat, ia jadi sulit bertahan membaca teks panjang atau memikirkan sesuatu secara mendalam. Inilah harga mahal yang sering tidak disadari: waktu yang hilang bukan hanya jam di kalender, tetapi juga kapasitas kognitif yang perlahan terkikis.
Menemukan Kembali Kendali atas Waktu
Pertanyaan yang paling tajam bukanlah bagaimana teknologi membuat kita ketagihan, melainkan apakah kita masih bisa menemukan cara untuk mengendalikan diri. Kabar baiknya, jawabannya adalah ya, meskipun tidak mudah.
Langkah awal adalah menyadari bahwa scrolling bukan sekadar aktivitas kecil, melainkan pola hidup yang memengaruhi banyak aspek. Kesadaran ini penting agar kita berhenti menganggapnya sepele. Setelah itu, perlu ada niat untuk menciptakan batas. Misalnya dengan menonaktifkan notifikasi tertentu, menetapkan waktu offline, atau mengganti kebiasaan scrolling dengan aktivitas sederhana seperti membaca buku, berjalan sebentar, atau berbicara dengan orang terdekat.
Namun yang lebih penting adalah mengubah cara pandang. Kita harus berani menempatkan nilai waktu di atas kesenangan instan. Waktu bukan hanya angka di jam, melainkan ruang hidup yang menentukan kualitas hari esok. Jika kita mampu menempatkan kesadaran itu di depan, scrolling tidak lagi menjadi penguasa, melainkan sekadar hiburan kecil yang tidak mengambil alih hidup.
Penutup
Pada akhirnya, scrolling berjam-jam hanyalah simbol dari bagaimana manusia modern bernegosiasi dengan teknologi. Kita tahu waktu berharga, tetapi kita sering rela menukarnya untuk sensasi singkat yang ditawarkan layar. Menyadari jebakan ini bukan berarti menolak teknologi, melainkan belajar untuk menggunakannya tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri. Waktu memang tidak bisa kembali, tetapi kita masih bisa memilih untuk tidak terus-menerus kehilangannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI