Ribet muncul karena kita tidak bisa lepas dari ketergantungan. Hidup yang mestinya lebih tenang jadi terasa riuh oleh notifikasi, pesan masuk, dan aplikasi yang terus meminta perhatian. Ribet ini sifatnya halus, tidak langsung terasa, tapi efeknya bisa besar. Kita kehilangan fokus, sulit menikmati momen, dan sering merasa sibuk tanpa hasil nyata.
Produktivitas atau Sekadar Ilusi?
Salah satu alasan orang membela smartphone adalah karena perangkat ini dianggap meningkatkan produktivitas. Ada aplikasi kalender, pengingat, catatan, email, sampai platform kerja jarak jauh. Di atas kertas, semua ini memang membuat pekerjaan lebih mudah. Tetapi kenyataannya, smartphone justru sering menciptakan ilusi produktivitas.
Kamu mungkin merasa sibuk karena seharian membalas chat kerja, mengikuti rapat daring, atau membaca artikel online. Namun tidak semua aktivitas itu benar-benar produktif. Sebagian hanya membuat kita merasa sibuk tanpa menghasilkan nilai yang jelas. Smartphone seakan membentuk budaya multitasking, di mana kita mengerjakan banyak hal sekaligus tapi tidak ada yang benar-benar selesai dengan baik.
Lebih jauh lagi, smartphone juga membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Dulu pekerjaan selesai di kantor, sekarang kantor ikut pulang ke rumah. Email bisa masuk tengah malam, rapat bisa diadakan dari mana saja, dan atasan bisa meminta laporan kapan pun. Hal ini menciptakan kondisi di mana banyak orang merasa bekerja sepanjang waktu. Hidup yang mestinya lebih fleksibel malah terasa lebih sempit.
Ilusi produktivitas ini berbahaya karena membuat kita terus merasa harus sibuk. Kita mengecek notifikasi bukan karena penting, melainkan karena kebiasaan. Kita membaca berita bukan karena butuh, melainkan karena takut tertinggal. Semua ini menguras energi mental, hingga akhirnya membuat hidup terasa ribet meski smartphone seolah hadir untuk menyederhanakan.
Kebebasan Semu yang Ditawarkan Smartphone
Smartphone sering disebut sebagai simbol kebebasan. Kamu bisa bekerja dari mana saja, berkomunikasi dengan siapa saja, dan mengakses hiburan tanpa batas. Namun kebebasan ini sebenarnya penuh paradoks.
Benar, smartphone memberimu kebebasan bekerja di luar kantor. Tapi konsekuensinya, pekerjaan bisa mengikutimu ke mana saja, bahkan ke ruang tidur. Smartphone juga memberi kebebasan bersuara di media sosial, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh algoritma. Apa yang kamu lihat atau baca tidak sepenuhnya ditentukan olehmu, melainkan oleh sistem yang memprioritaskan konten tertentu agar kamu betah berlama-lama.
Di sinilah letak jebakan kebebasan semu. Kamu merasa bebas memilih, padahal pilihan itu sudah diarahkan oleh desain aplikasi dan logika bisnis di baliknya. Kebebasan yang ditawarkan smartphone sebenarnya hanya sebagian, sementara sisanya membuatmu terjebak dalam lingkaran tanpa sadar.
Paradoks kebebasan ini menimbulkan keribetan baru. Kita merasa punya kendali, padahal kendali itu perlahan bergeser ke layar. Smartphone yang mestinya jadi alat bantu justru berubah menjadi pengendali halus atas cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan menentukan prioritas hidup.