Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Smartphone Mempermudah Hidup atau Justru Membuat Kita Ribet?

24 Agustus 2025   11:21 Diperbarui: 24 Agustus 2025   11:21 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengguna HP(Freepik)

Ribet muncul karena kita tidak bisa lepas dari ketergantungan. Hidup yang mestinya lebih tenang jadi terasa riuh oleh notifikasi, pesan masuk, dan aplikasi yang terus meminta perhatian. Ribet ini sifatnya halus, tidak langsung terasa, tapi efeknya bisa besar. Kita kehilangan fokus, sulit menikmati momen, dan sering merasa sibuk tanpa hasil nyata.

Produktivitas atau Sekadar Ilusi?

Salah satu alasan orang membela smartphone adalah karena perangkat ini dianggap meningkatkan produktivitas. Ada aplikasi kalender, pengingat, catatan, email, sampai platform kerja jarak jauh. Di atas kertas, semua ini memang membuat pekerjaan lebih mudah. Tetapi kenyataannya, smartphone justru sering menciptakan ilusi produktivitas.

Kamu mungkin merasa sibuk karena seharian membalas chat kerja, mengikuti rapat daring, atau membaca artikel online. Namun tidak semua aktivitas itu benar-benar produktif. Sebagian hanya membuat kita merasa sibuk tanpa menghasilkan nilai yang jelas. Smartphone seakan membentuk budaya multitasking, di mana kita mengerjakan banyak hal sekaligus tapi tidak ada yang benar-benar selesai dengan baik.

Lebih jauh lagi, smartphone juga membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Dulu pekerjaan selesai di kantor, sekarang kantor ikut pulang ke rumah. Email bisa masuk tengah malam, rapat bisa diadakan dari mana saja, dan atasan bisa meminta laporan kapan pun. Hal ini menciptakan kondisi di mana banyak orang merasa bekerja sepanjang waktu. Hidup yang mestinya lebih fleksibel malah terasa lebih sempit.

Ilusi produktivitas ini berbahaya karena membuat kita terus merasa harus sibuk. Kita mengecek notifikasi bukan karena penting, melainkan karena kebiasaan. Kita membaca berita bukan karena butuh, melainkan karena takut tertinggal. Semua ini menguras energi mental, hingga akhirnya membuat hidup terasa ribet meski smartphone seolah hadir untuk menyederhanakan.

Kebebasan Semu yang Ditawarkan Smartphone

Smartphone sering disebut sebagai simbol kebebasan. Kamu bisa bekerja dari mana saja, berkomunikasi dengan siapa saja, dan mengakses hiburan tanpa batas. Namun kebebasan ini sebenarnya penuh paradoks.

Benar, smartphone memberimu kebebasan bekerja di luar kantor. Tapi konsekuensinya, pekerjaan bisa mengikutimu ke mana saja, bahkan ke ruang tidur. Smartphone juga memberi kebebasan bersuara di media sosial, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh algoritma. Apa yang kamu lihat atau baca tidak sepenuhnya ditentukan olehmu, melainkan oleh sistem yang memprioritaskan konten tertentu agar kamu betah berlama-lama.

Di sinilah letak jebakan kebebasan semu. Kamu merasa bebas memilih, padahal pilihan itu sudah diarahkan oleh desain aplikasi dan logika bisnis di baliknya. Kebebasan yang ditawarkan smartphone sebenarnya hanya sebagian, sementara sisanya membuatmu terjebak dalam lingkaran tanpa sadar.

Paradoks kebebasan ini menimbulkan keribetan baru. Kita merasa punya kendali, padahal kendali itu perlahan bergeser ke layar. Smartphone yang mestinya jadi alat bantu justru berubah menjadi pengendali halus atas cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan menentukan prioritas hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun