Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Medan Selalu Lengah Saat Hujan Tiba

24 Agustus 2025   09:16 Diperbarui: 24 Agustus 2025   09:16 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berkendara saat hujan.(Pexels)

Hujan adalah hal paling alami di dunia.  Hujan turun mengikuti siklus bumi, memberi kehidupan pada tanah, tanaman, dan udara yang kita hirup. Namun di Medan, hujan justru identik dengan masalah. Begitu langit menumpahkan air lebih dari satu jam, wajah kota berubah. Jalan-jalan besar yang sehari-hari dipenuhi kendaraan mendadak jadi kolam luas. 

Padahal, Medan punya modal besar untuk menata diri. Sebagai kota perdagangan, pusat industri, sekaligus pintu gerbang Sumatra, Medan memiliki sumber daya, pengetahuan, dan tenaga. Tetapi masalahnya bukan terletak pada ketiadaan kemampuan, melainkan pada cara berpikir yang selalu pendek dan reaktif. Banjir diperlakukan seperti tamu musiman yang harus ditunggu dengan pasrah, bukan masalah serius yang bisa dicegah dengan perencanaan jangka panjang.

Lalu, apa yang sebenarnya membuat Medan selalu kalah setiap kali hujan datang?

Hujan Sebagai Cermin Kelemahan Kota

Banjir di Medan bukanlah peristiwa baru. Sejak era kolonial, catatan tentang meluapnya Sungai Deli dan Sungai Babura sudah ada. Sungai yang dulunya lebar dan jernih kini berubah menjadi saluran keruh penuh sampah. Seiring perkembangan kota, fungsi sungai sebagai jalur utama air hujan semakin terganggu. Bantaran yang dulunya luas kini dipenuhi permukiman padat, ruko, bahkan bangunan permanen.

Inilah masalah mendasar ketika sungai tidak lagi punya ruang. Debit air yang meningkat saat hujan deras akhirnya mencari jalan lain, termasuk ke rumah warga. Ditambah lagi, drainase kota yang ada sekarang sebagian besar peninggalan lama, tidak pernah diperluas sesuai pertumbuhan penduduk. Bahkan banyak parit kecil yang sudah tertutup bangunan atau berubah fungsi jadi jalan.

Kelemahan lain ada pada manajemen kota. Medan tumbuh cepat sebagai kota metropolitan, tetapi pertumbuhan ini tidak diiringi infrastruktur dasar yang memadai. Gedung-gedung baru menjulang, pusat perbelanjaan bertambah, jalan raya dilebarkan. Namun, sistem drainase dan ruang resapan nyaris tidak disentuh. Bayangkan sebuah ember yang terus diisi air tanpa pernah diperbesar kapasitasnya. Cepat atau lambat, air itu pasti meluap.

Kebiasaan Lama yang Tak Pernah Putus

Ada satu hal yang sering diabaikan yaitu banjir di Medan bukan hanya kesalahan pemerintah, tetapi juga cermin kebiasaan warganya. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan ke parit, ke sungai, bahkan ke jalan. Mereka tahu risiko itu bisa kembali menghantam, tapi kesadaran jangka panjang kalah oleh kepraktisan sesaat.

Sampah plastik, botol minuman, dan sisa makanan menumpuk di saluran air. Sekali hujan deras, semua itu menyumbat aliran. Air yang seharusnya mengalir ke sungai malah meluap ke permukiman. Ironisnya, warga yang membuang sampah itu sering juga yang pertama mengeluh ketika rumahnya kebanjiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun