Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Kita Sangat Suka Melakukan Demo?

22 Agustus 2025   13:00 Diperbarui: 22 Agustus 2025   12:29 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo .(Pandawa Borniat/kompas.com)

Demo sudah menjadi bagian dari wajah kehidupan sosial di negeri ini. Hampir setiap kali ada kebijakan pemerintah yang menimbulkan keresahan, harga kebutuhan pokok naik, atau isu keadilan yang dianggap melukai nurani publik, ribuan orang turun ke jalan dengan membawa spanduk, poster, dan suara lantang. Fenomena ini membuat kita bertanya, kenapa masyarakat begitu gemar melakukan demo? Apakah sekadar luapan emosi, atau ada sesuatu yang lebih mendasar dan melekat dalam budaya politik kita?

Demo bukanlah sekadar kerumunan yang berteriak-teriak di jalanan. Ia punya makna, sejarah, dan dampak yang jauh lebih luas. Di balik suara toa dan lautan manusia, ada narasi tentang siapa kita sebagai bangsa, bagaimana kita bernegara, serta sejauh mana rakyat merasa didengar atau justru diabaikan.

Untuk memahami kenapa kita suka demo, kita perlu menggali dari berbagai sisi: sosial, politik, psikologi, hingga budaya. Dengan begitu, kita bisa melihat demo bukan hanya sebagai aksi protes, melainkan juga sebagai cermin dari kondisi masyarakat.

Suara yang Tidak Didengar

Salah satu alasan paling mendasar kenapa demo begitu populer di Indonesia adalah karena banyak orang merasa suara mereka tidak pernah benar-benar didengar. Demokrasi memang menjanjikan kebebasan berpendapat, tetapi dalam praktiknya, jalur formal seperti forum musyawarah, perwakilan legislatif, atau saluran aspirasi resmi sering dianggap tidak efektif. Banyak warga yang sudah berulang kali menyampaikan keluhan lewat jalur administratif, tapi hasilnya nihil.

Dalam kondisi seperti itu, demo menjadi pilihan terakhir. Ketika suara individu terasa kecil, orang memilih untuk menyatukan diri dalam jumlah besar. Dengan begitu, pesan yang tadinya tenggelam bisa terdengar lebih nyaring. Demonstrasi adalah cara rakyat memberi tanda bahwa mereka tidak bisa terus-menerus diabaikan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar. Di daerah pun, masyarakat sering mengorganisasi demo ketika merasa kepentingannya disingkirkan. Misalnya, petani yang tanahnya terancam proyek besar, nelayan yang protes soal regulasi laut, atau buruh yang menolak upah rendah. Mereka sadar, tanpa aksi massa, suara mereka akan hilang begitu saja di tengah riuh kepentingan politik.

Ada rasa frustrasi yang menjadi bahan bakar demo. Frustrasi itu lahir dari jurang besar antara janji dan kenyataan, antara kata-kata manis kampanye dengan praktik kekuasaan sehari-hari. Demo, pada titik ini, adalah simbol dari kekecewaan yang menumpuk.

Warisan Sejarah yang Mengakar

Demo di Indonesia bukan fenomena baru. Sejarah politik kita dipenuhi dengan momen-momen besar yang lahir dari jalanan. Generasi 1966 menorehkan sejarah lewat aksi mahasiswa menuntut perubahan rezim. Reformasi 1998 pun menjadi puncak gerakan rakyat yang mengguncang fondasi kekuasaan Orde Baru. Dari situlah muncul kesadaran kolektif bahwa demo bisa benar-benar mengubah arah bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun