Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Maraknya Bullying di Sekolah Cermin Retak Sistem Pendidikan Kita

19 Juni 2025   08:10 Diperbarui: 19 Juni 2025   06:17 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying, (Shutterstock/Rawpixel.com)

Bayangkan seorang anak berangkat ke sekolah dengan rasa cemas, bukan karena ujian, tapi karena takut menjadi korban olok-olok, dijambak di lorong, atau dijadikan bahan tertawaan di depan teman-temannya. Sayangnya, ini bukan imajinasi. Ini kenyataan yang dialami jutaan siswa setiap hari di seluruh Indonesia. Bullying di sekolah bukan sekadar masalah etika individu, tapi cerminan dari sistem pendidikan yang gagal membangun ruang aman bagi tumbuhnya manusia yang utuh.

Kamu mungkin berpikir bullying adalah persoalan lama. Benar. Tapi yang membuatnya tetap hidup hingga kini adalah karena kita selalu mengobatinya di permukaan, bukan pada akar. Sekolah hanya menjadi panggung tempat kekerasan kecil berlangsung, sementara sumber masalahnya tertanam dalam cara kita merancang pendidikan. D

Pendidikan yang Sibuk Mengejar Nilai, Tapi Lupa Membentuk Nilai

Kurikulum pendidikan di Indonesia masih menjadikan nilai akademik sebagai segalanya. Ranking, rapor, dan ujian nasional menjadi tolok ukur keberhasilan siswa. Sekolah pun berorientasi pada pencapaian angka, bukan pengembangan karakter. Akibatnya, nilai-nilai seperti empati, toleransi, keberanian moral, atau kemampuan berkomunikasi dengan sehat semua itu nyaris tidak tersentuh.

Dalam sistem seperti ini, anak-anak belajar bahwa yang dihargai adalah yang pintar dan berprestasi. Mereka yang tertinggal, berbeda, atau tidak menonjol secara akademik menjadi kelompok yang mudah dikucilkan. Lingkungan sekolah secara tidak langsung menciptakan hirarki sosial: siapa yang pantas dipuji, siapa yang layak diejek. Ini bukan disebabkan oleh sifat jahat anak-anak semata, tapi juga oleh struktur pendidikan yang terlalu kaku dan kompetitif.

Studi dari UNESCO tahun 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 30% siswa di Asia Tenggara mengalami bullying di sekolah, sebagian besar karena perbedaan baik secara fisik, ekonomi, orientasi, hingga gaya belajar. Artinya, sistem tidak hanya tidak melindungi, tapi justru memperparah eksklusi sosial di ruang belajar.

Guru yang Terjebak Sistem, Murid yang Kehilangan Arah

Peran guru dalam mencegah bullying sangat penting, tapi mari jujur: berapa banyak guru yang memiliki waktu untuk benar-benar mengenal muridnya satu per satu? Dengan beban administratif, target kurikulum, dan jumlah murid yang besar per kelas, guru terjebak dalam rutinitas mengajar, bukan membimbing.

Padahal, banyak kasus bullying terjadi secara halus: lewat tatapan menghina, gumaman saat jam pelajaran, atau interaksi di luar pantauan ruang kelas. Guru sering kali baru tahu ketika situasinya sudah kronis---korban trauma, pelaku sudah merasa kebal, dan lingkungan sudah terbiasa membiarkan.

Selain itu, tidak semua guru dibekali pelatihan khusus tentang psikologi anak dan manajemen konflik sosial. Pendidikan guru di Indonesia masih terlalu akademik dan jarang menyentuh realitas sosial yang kompleks. Sementara itu, murid butuh sosok dewasa yang peka, bisa dipercaya, dan hadir bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga pelindung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun