Kamu mungkin bertanya-tanya, "Bukankah pandemi sudah selesai? Kenapa sekarang tiba-tiba ramai lagi soal COVID-19?" Pertanyaan itu bukan cuma muncul di kepalamu. Di pertengahan tahun 2025 ini, berbagai negara dari Jepang, Korea Selatan, Inggris, bahkan Indonesia melaporkan lonjakan kasus COVID-19 yang cukup mengkhawatirkan. Banyak orang yang mulai kembali memakai masker, rumah sakit mulai terasa penuh, dan berita-berita soal varian baru mulai ramai di media sosial.
Fenomena ini terasa seperti "deja vu", tapi lebih kompleks. Bukan karena kita belum belajar dari pandemi sebelumnya, melainkan karena kita mengira kita sudah selesai belajar. Di balik grafik lonjakan kasus yang makin naik, tersembunyi cerita besar tentang bagaimana dunia berhadapan dengan virus yang tak kunjung hilang dan ternyata masih menyimpan kejutan.
Varian Baru Bukan Cuma Lebih Menular, Tapi Juga Lebih Cerdas
Satu hal yang paling mencolok di 2025 ini adalah kemunculan varian COVID-19 baru yang disebut sebagai Pi.2 dan Rho.1. Kedua varian ini bukan sekadar versi lama yang sedikit bermutasi. Mereka menunjukkan kemampuan yang benar-benar berbeda dalam hal penyebaran dan cara mereka mengelabui sistem imun manusia.
Berbeda dengan varian Omicron yang sempat mendominasi dua tahun lalu, varian baru ini tidak hanya menyebar lebih cepat, tapi juga lebih sulit dideteksi. Tes antigen yang sebelumnya cukup bisa diandalkan, kini seringkali memberikan hasil negatif palsu pada hari-hari awal infeksi. Ini membuat banyak orang mengira mereka sehat, padahal sudah menulari orang lain.
Yang lebih mengejutkan, varian ini juga bisa menembus imunitas yang dibentuk dari vaksin generasi awal. Dalam laporan dari Institut Virologi Eropa, disebutkan bahwa antibodi dari vaksin mRNA batch 2022 hanya mampu mengenali 45% dari struktur protein spike varian Pi.2. Artinya, efektivitas vaksin terhadap infeksi bisa turun drastis, meskipun masih cukup melindungi dari gejala parah.
Lebih jauh lagi, muncul indikasi bahwa virus kini mampu bertahan lebih lama di udara dalam kondisi ruang tertutup. Sebuah riset baru dari Seoul menemukan bahwa partikel virus bisa hidup aktif di ruang tertutup hingga 4 jam, jauh lebih lama dari estimasi sebelumnya yang hanya 1--2 jam. Hal ini bisa menjelaskan kenapa kantor dan transportasi publik kembali menjadi klaster utama penularan.
Ilusi Kekebalan Massal?
Setelah dunia melalui program vaksinasi besar-besaran selama 2021--2023, banyak orang merasa "kebal". Vaksinasi jadi seperti tiket keluar dari pandemi. Tapi kenyataannya, kekebalan tubuh terhadap virus corona ternyata tidak bertahan selamanya dan ini jarang dibahas secara serius di ruang publik.
Berdasarkan laporan Global Immunity Research 2024, kekebalan terhadap SARS-CoV-2 dari vaksin generasi awal mulai turun drastis setelah 12--18 bulan. Sementara itu, tingkat vaksinasi ulang atau booster di banyak negara sangat rendah. Di Indonesia misalnya, cakupan booster kedua bahkan tidak mencapai 20% dari total penduduk pada awal 2025.