Di jalanan kota besar, kamu mungkin pernah melihat sosok-sosok yang duduk menyendiri, menggenggam plastik lusuh mengais sampah hanya untuk makan atau menunggu orang yang mau memberi sedikit kepada mereka. Mereka tidur di bawah jembatan, di sudut halte, di pinggir sungai, atau bahkan di depan emperan toko. Mereka yang kita sebut tunawisma mereka juga termasuk warga negara namun tidak memiliki tempat bernaung atau rumah layaknya orang lain. Sayangnya, keberadaan mereka justru menjadi sesuatu yang dianggap mengganggu "pemandangan kota". Sering kali, mereka tidak dilihat sebagai manusia yang perlu dibantu, melainkan sebagai masalah yang harus disingkirkan.
Namun, apakah benar negara tak tahu mereka ada? Atau, lebih tepatnya: apakah negara memilih tidak peduli?
Tulisan ini bukan sekadar kritik. Ini adalah ajakan untuk membuka mata terhadap sebuah masalah sosial yang terlalu lama diabaikan. Dengan menggali lebih dalam, kamu akan melihat bahwa persoalan tunawisma bukan hanya soal kemiskinan atau "malas bekerja", tapi tentang kegagalan kolektif terutama kegagalan negara sebagai pelindung warganya.
Realita Tunawisma yang Terlupakan dalam Narasi Pembangunan
Saat media dan pemerintah sibuk mengangkat keberhasilan pembangunan infrastruktur, dan keberhasilan lain tapi hampir tak pernah ada ruang untuk membahas orang-orang yang kehilangan tempat tinggal mereka yang seharusnya mendapat sorotan besar namun luput dari perhatian. Dalam narasi besar tentang kemajuan ekonomi, tunawisma sepertinya memang tidak mendapat tempat. Bahkan data resmi pun nyaris tidak mampu menangkap kompleksitas kondisi mereka.
Berdasarkan laporan BPS tahun 2023, jumlah tunawisma di Indonesia memang tidak tercatat secara sistematis dan masih bergantung pada pendekatan perkiraan. Tidak ada satu pun basis data nasional yang benar-benar memperhitungkan jumlah tunawisma secara akurat. Padahal, seharusnya kebijakan yang dibuat dan di terapkan harus dari data yang tepat dan juga harus tepat sasaran kepada yang membutuhkan.
Lebih jauh lagi, banyak tunawisma yang bahkan tidak tercatat sebagai warga negara karena kehilangan dokumen kependudukan. Akibatnya, mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, bahkan pekerjaan legal yang layak untuk memberikan jaminan untuk hidup dan memiliki tempat tinggal. Miris ini seperti menciptakan paradoks yang kejam dimana negara mengatur bantuan sosial berdasarkan data kependudukan, tapi mereka yang paling membutuhkan justru tidak masuk ke dalam sistem data tersebut.
Mengapa Negara Seolah Tak Melihat Mereka?
Negara tidak buta. Tapi negara dalam praktiknya memilih apa yang ingin dilihat. Tunawisma, sayangnya, bukan bagian dari prioritas politik yang menarik untuk mendapatkan tempat itu. Dalam logika kekuasaan, suara tunawisma tidak cukup kuat untuk jadi penentu kekuasaan suara mereka tidak diperhitungkan. Mereka tidak ikut pemilu. Mereka tidak punya koneksi. Bahkan dalam wacana sosial, mereka lebih sering disalahkan daripada dimengerti.
Pendekatan negara terhadap tunawisma selama ini bersifat kosmetik dan sesaat. Ketika ada acara besar atau kunjungan pejabat tinggi, petugas Satpol PP akan "membersihkan" jalan dari keberadaan mereka. Tapi setelah itu? Mereka kembali ke sudut gelap kota. Bukan ke rumah, karena memang tak punya rumah. Ini bukan solusi, ini penghapusan visual.