Lebih menyedihkan lagi, banyak kota besar yang mengedepankan estetika ruang publik dengan memusuhi keberadaan tunawisma. Pembangunan kursi taman dibuat dengan pembatas agar tidak bisa dipakai tidur. Ruang terbuka hijau dijaga agar steril dari keberadaan "gelandangan". Pendekatan ini mencerminkan filosofi perkotaan yang lebih mengutamakan pemandangan dibanding kemanusiaan.
Masalahnya Lebih Dalam dari yang Kita Bayangkan
Ada satu kesalahpahaman besar yang selama ini membentuk cara masyarakat dan negara melihat tunawisma: anggapan bahwa mereka ada karena kegagalan pribadi, bukan kegagalan sistemik. Seolah-olah semua tunawisma itu malas, bodoh, atau tidak mau berusaha. Padahal, realitanya jauh lebih rumit.
Banyak dari mereka adalah korban dari peristiwa besar yang menghancurkan kehidupan mereka penggusuran paksa, kekerasan dalam rumah tangga, masalah kesehatan mental, PHK massal, hingga bencana alam. Mereka bukan tidak berusaha, tetapi tersingkir oleh sistem yang tidak memberi ruang kedua.
Kamu juga harus tahu bahwa tunawisma bukan hanya pria paruh baya yang tidur di pinggir jalan. Di Jakarta, ada perempuan, anak-anak, bahkan lansia yang hidup tanpa tempat tinggal. Data dari Dinas Sosial DKI Jakarta tahun 2024 menyebutkan bahwa 43% tunawisma di ibu kota adalah perempuan, dan lebih dari 30% adalah anak-anak. Namun isu ini nyaris tak pernah menjadi headline berita.
Jika pemerintah selama ini hanya melihat tunawisma sebagai masalah kebersihan kota, maka jelas sekali bahwa kita sedang mengalami krisis kemanusiaan yang tidak dikenali.
Membangun Solusi yang Manusiawi: Bukan Sekadar Menyapu Bersih
Menangani masalah tunawisma bukan hal yang bisa diselesaikan dalam satu malam. Tapi langkah pertama adalah mengubah cara pandang. Pemerintah perlu berhenti memperlakukan tunawisma sebagai "sampah visual" dan mulai memperlakukan mereka sebagai manusia yang punya hak dasar.
Yang dibutuhkan bukan hanya rumah singgah darurat, tapi strategi nasional untuk hunian terjangkau. Pemerintah bisa mengambil contoh dan belajar dari kebijakan "Housing First" yang dilakukan oleh negara di Finlandia, di mana negara menjadi penjamin dengan memberikan rumah tetap bagi kaum tunawisma sebelum menuntut mereka untuk memenuhi syarat administrasi sebagai warga negara . Hasilnya, angkat tunawisma di Finlandia bisa diturunkan secara signifikan hanya dalam satu dekade.
Selain itu, sangat penting untuk terus melakukan memperbaiki sistem melakukan pendataan dan benar-benar memastikan pendaftaran kependudukan untuk semua orang tanpa terkecuali. Warga negara yang tidak punya tempat tinggal tetap tetap harus bisa memiliki KTP, akses BPJS, dan pendidikan untuk anak-anaknya. Jangan lagi berbicara sistem, tapi soal hak dasar warga negara.
Dan yang terpenting adalah kita sebagai masyarakat tidak langsung cepat menghakimi dan menggunjing. Perubahan tidak akan terjadi jika publik terus menganggap keberadaan tunawisma sebagai "pilihan hidup". Banyak dari mereka justru butuh pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, dan akses ke pekerjaan yang layak. Tapi semua itu tidak akan berjalan jika stigma terus dibiarkan hidup.