Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Negara Seolah Menutup Mata terhadap Tunawisma?

23 Mei 2025   05:41 Diperbarui: 23 Mei 2025   05:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tunawisma. pixabay.com/Vien_beos 

Lebih menyedihkan lagi, banyak kota besar yang mengedepankan estetika ruang publik dengan memusuhi keberadaan tunawisma. Pembangunan kursi taman dibuat dengan pembatas agar tidak bisa dipakai tidur. Ruang terbuka hijau dijaga agar steril dari keberadaan "gelandangan". Pendekatan ini mencerminkan filosofi perkotaan yang lebih mengutamakan pemandangan dibanding kemanusiaan.

Masalahnya Lebih Dalam dari yang Kita Bayangkan

Ada satu kesalahpahaman besar yang selama ini membentuk cara masyarakat dan negara melihat tunawisma: anggapan bahwa mereka ada karena kegagalan pribadi, bukan kegagalan sistemik. Seolah-olah semua tunawisma itu malas, bodoh, atau tidak mau berusaha. Padahal, realitanya jauh lebih rumit.

Banyak dari mereka adalah korban dari peristiwa besar yang menghancurkan kehidupan mereka penggusuran paksa, kekerasan dalam rumah tangga, masalah kesehatan mental, PHK massal, hingga bencana alam. Mereka bukan tidak berusaha, tetapi tersingkir oleh sistem yang tidak memberi ruang kedua.

Kamu juga harus tahu bahwa tunawisma bukan hanya pria paruh baya yang tidur di pinggir jalan. Di Jakarta, ada perempuan, anak-anak, bahkan lansia yang hidup tanpa tempat tinggal. Data dari Dinas Sosial DKI Jakarta tahun 2024 menyebutkan bahwa 43% tunawisma di ibu kota adalah perempuan, dan lebih dari 30% adalah anak-anak. Namun isu ini nyaris tak pernah menjadi headline berita.

Jika pemerintah selama ini hanya melihat tunawisma sebagai masalah kebersihan kota, maka jelas sekali bahwa kita sedang mengalami krisis kemanusiaan yang tidak dikenali.

Membangun Solusi yang Manusiawi: Bukan Sekadar Menyapu Bersih

Menangani masalah tunawisma bukan hal yang bisa diselesaikan dalam satu malam. Tapi langkah pertama adalah mengubah cara pandang. Pemerintah perlu berhenti memperlakukan tunawisma sebagai "sampah visual" dan mulai memperlakukan mereka sebagai manusia yang punya hak dasar.

Yang dibutuhkan bukan hanya rumah singgah darurat, tapi strategi nasional untuk hunian terjangkau. Pemerintah bisa mengambil contoh dan belajar dari kebijakan "Housing First" yang dilakukan oleh negara di Finlandia, di mana negara menjadi penjamin dengan memberikan rumah tetap bagi kaum tunawisma sebelum menuntut mereka untuk memenuhi syarat administrasi sebagai warga negara . Hasilnya, angkat tunawisma di Finlandia bisa diturunkan secara signifikan hanya dalam satu dekade.

Selain itu, sangat penting untuk terus melakukan memperbaiki sistem melakukan pendataan dan benar-benar memastikan pendaftaran kependudukan untuk semua orang tanpa terkecuali. Warga negara yang tidak punya tempat tinggal tetap tetap harus bisa memiliki KTP, akses BPJS, dan pendidikan untuk anak-anaknya. Jangan lagi berbicara sistem, tapi soal hak dasar warga negara.

Dan yang terpenting adalah kita sebagai masyarakat tidak langsung cepat menghakimi dan menggunjing. Perubahan tidak akan terjadi jika publik terus menganggap keberadaan tunawisma sebagai "pilihan hidup". Banyak dari mereka justru butuh pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, dan akses ke pekerjaan yang layak. Tapi semua itu tidak akan berjalan jika stigma terus dibiarkan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun