Dalam banyak hubungan, terutama yang sudah berjalan lama, silent treatment sering jadi senjata yang katanya bisa menghukum pasangan dan jadi solusi supaya dia sadar. Kamu merasa kecewa, tapi nggak mau ribut. Kamu marah, tapi terlalu lelah untuk menjelaskan. Lalu kamu memilih satu hal yang paling sederhana tapi paling menusuk: kamu berhenti bicara. Kamu menutup komunikasi, tak memberi akses apa pun, dan membiarkan pasanganmu menebak-nebak di dalam senyap.
Tanpa sadar, diam menjadi alat untuk mengontrol. Ketika kamu memilih untuk tak menjawab, tak menjelaskan, dan tak memberi kesempatan pasangan mengerti kamu, itu bukan lagi soal mencari kedamaian. Itu sudah masuk wilayah kekuasaan. Kamu memegang kendali penuh atas kapan konflik selesai, kapan pasanganmu 'dimaafkan', bahkan kapan ia bisa bicara lagi. Dan sayangnya, bentuk kekuasaan ini nyaris tak terlihat karena dibungkus oleh dalih "aku butuh waktu sendiri".
Padahal, menurut banyak psikolog hubungan, pola ini adalah bentuk emotional neglect pengabaian emosional. Dan efeknya bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran verbal. Diam tak cuma memutus dialog, tapi juga memutus rasa aman. Dan rasa aman adalah fondasi dari segala jenis hubungan, bukan?
Ada Bukti Ilmiah di Balik Rasa Sakit Saat Diabaikan
Mungkin kamu bertanya-tanya, "Masa iya diam doang bisa bikin segitunya?" Sayangnya, iya. Diam bukan cuma menyakitkan secara emosional, tapi juga berdampak nyata pada otak manusia.
Penelitian dari University of California, Los Angeles (UCLA) menemukan bahwa ketika seseorang mengalami penolakan sosial atau diabaikan, bagian otaknya yang aktif adalah bagian yang sama yang memproses rasa sakit fisik anterior cingulate cortex. Artinya, otak kita tidak bisa membedakan antara dipukul atau diabaikan. Keduanya terasa menyakitkan. Secara harfiah.
Efek ini diperkuat oleh sebuah studi dalam Journal of Neurophysiology, yang menyatakan bahwa individu yang mengalami ostracism (pengucilan sosial) mengalami tekanan psikologis yang tinggi, termasuk kecemasan, kebingungan, bahkan depresi ringan jika itu terjadi berulang.
Dan dalam konteks hubungan, rasa diabaikan ini bisa memicu mekanisme pertahanan diri yang kompleks. Pasangan bisa mulai menarik diri, merasa bosan, merasa tidak dicintai dan dihargai, yang lebih parah kehilangan rasa percaya diri, bahkan mempertanyakan eksistensinya di mata kamu. Inilah awal dari apa yang disebut "kematian emosional" fase di mana seseorang masih ada secara fisik dalam hubungan, tapi jiwanya sudah menyerah.
Ketika Diam Jadi Budaya tapi Mengapa Kita Sulit Bicara?
Kalau kamu berpikir, "Tapi aku diajari dari kecil buat nggak ngomel-ngomel kalau marah," kamu nggak sendiri. Budaya kita cenderung tidak mengajarkan bagaimana caranya mengungkapkan perasaan dengan sehat. Kita besar dalam pola pikir bahwa menyuarakan kekecewaan itu artinya tidak bersyukur karena rasa kecewa itu salah dan tak perlu diungkapkan dan  Bahwa mengungkapkan amarah itu tidak sopan. Akhirnya, kita tumbuh dewasa dengan kemampuan komunikasi yang mini bahkan tumpul, dan diam jadi pilihan paling "aman".