Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Anak Nakal, Apa Barak Militer Jadi Solusi Instan?

10 Mei 2025   19:15 Diperbarui: 10 Mei 2025   18:12 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak di Bawa Ke Barak Militer (KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN)

Ada yang menarik dari diskusi belakangan ini soal anak-anak yang dianggap "nakal" dan tidak bisa dibina oleh orang tua maupun sekolah. Banyak suara yang terdengar nyaring menyarankan satu solusi ekstrem: kirim saja mereka ke barak militer. Alasannya? Supaya anak-anak itu belajar disiplin, tanggung jawab, dan punya mental baja. Tapi pertanyaannya, benarkah barak militer adalah solusi terbaik? Atau justru itu cerminan bahwa kita sudah menyerah sebagai masyarakat dalam mendidik generasi muda?

Ketika Rumah dan Sekolah Kehilangan Fungsinya

Kalau kita bicara soal kenakalan remaja, kita nggak bisa langsung lompat ke solusi tanpa memahami dulu kenapa mereka "nakal". Dalam banyak kasus, perilaku menyimpang pada anak bukan muncul begitu saja. Itu adalah hasil dari proses yang lama, akumulasi dari pengabaian, kesalahan pola asuh, dan sistem pendidikan yang tidak relevan.

Di rumah, banyak orang tua tidak punya waktu, pengetahuan, atau bahkan keinginan untuk mendidik anak secara emosional. Mereka terlalu sibuk bekerja atau terlalu larut dalam urusan pribadi. Akibatnya, anak tumbuh tanpa fondasi moral dan empati yang cukup. Ketika anak mulai menunjukkan perilaku menyimpang, reaksi yang muncul bukan mendampingi, tapi memarahi, menghakimi, atau malah menyerah.

Di sisi lain, sekolah lebih fokus pada angka daripada karakter. Kurikulum padat, guru kelelahan, dan tidak ada waktu untuk memahami satu per satu murid. Padahal, banyak anak yang nakalnya justru berawal dari merasa tidak didengar atau tidak dianggap. Mereka mencari perhatian, eksistensi, dan terkadang pelarian. Lalu, ketika dua institusi utama dalam hidup anak  rumah dan sekolah sama-sama gagal memahami, kita menyalahkan mereka sebagai anak nakal. Ironis, bukan?

Solusi atau Simbol Putus Asa?

Belakangan, kita sering mendengar usulan untuk memasukkan anak-anak nakal ke barak militer. Di mata sebagian orang, ini adalah solusi cepat. Barak militer dianggap mampu "meluruskan" anak yang bandel, lewat latihan fisik yang keras, aturan yang tegas, dan kedisiplinan militer. Tapi, mari kita jujur sejenak benarkah barak militer adalah tempat yang tepat untuk anak-anak yang sedang bermasalah?

Barak militer bukan pusat rehabilitasi, apalagi tempat untuk menyembuhkan luka psikologis. Anak-anak yang nakal sering kali membawa beban emosi yang berat. Mereka mungkin tumbuh dalam kekerasan, trauma, atau minim kasih sayang. Ketika mereka dimasukkan ke lingkungan yang keras tanpa pendekatan psikologis yang tepat, bukan mustahil mereka justru makin tertekan, bahkan rusak secara mental.

Di sisi lain, pendekatan ala militer berisiko menciptakan generasi yang patuh tanpa memahami. Disiplin dan ketegasan memang penting, tapi kalau tidak dibarengi dengan empati dan kesadaran, anak hanya akan taat karena takut bukan karena mengerti kenapa mereka harus bertanggung jawab.

Kamu mungkin bertanya, "Tapi ada kok yang berhasil berubah setelah masuk barak." Ya, memang ada. Tapi berapa persen dari mereka yang benar-benar pulih secara emosional? Berapa banyak yang justru menyimpan luka baru? Di titik ini, kita perlu sadar: usulan anak nakal masuk barak bisa jadi bukan solusi, melainkan jalan pintas dari masyarakat yang tidak siap menghadapi kompleksitas persoalan anak muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun